Friday, May 6, 2005

Cerita Perjalanan : Srilanka, part 1 : menuju Colombo


 

Cerita perjalanan : Srilangka, 19 - 24 juni 2002

Perjalanan ke Srilangka sebenarnya tidak terpikirkan sebelumnya
karena selain tidak pernah ada tour agent yang menawarkan
perjalanan kesana, juga karena di Srilangka sejak sekian tahun ini
berkecamuk perang saudara, antara suku Sinhala dengan suku Tamil.

Orang Sinhala (beragama Budha) mendominasi pemerintahan disana,
sehingga Tamil (beragama Hindu) yang minoritas dan sebagian besar
berada dibagian utara pulau Srilangka (dekat dengan India) ingin
bebas dari Sinhala, maka terjadilah perang saudara yang selama ber-
tahun2 ini dengan banyak korban dikedua belah fihak.

Peperangan itu memang sebagian besar terjadinya didaerah semenan-
jung Jaffna yg berada dibagian utara itu pulau, tapi pernah terjadi
juga serangan bom di kota Colombo yang berada dibagian tengah/barat;
dan malahan tahun lalu airport Colombo juga kena serangan yang
mengakibatkan 4 pesawat terbang rusak.

Akibat kejadian itu, tentu pariwisata Srilangka (yang terkenal
dengan kota Kandy-nya dll) tidak lagi menjadi sumber devisa
karena turis tentu takut datang kesana.

Tapi rupanya beberapa bulan lalu telah terjadi perdamaian disana,
sehingga pariwisata mulai ditawarkan lagi, dan di Jakarta ini
perwakilan Srilanka Air menawarkan paket wisata yang murah meriah,
yaitu :

Buy One Get One, dengan membayar biaya yang normalnya untuk satu
orang tapi bisa berangkat berdua, sudah termasuk biaya pesawat
Srilangka Air Jakarta - Colombo pulang pergi, pesawatnya katanya
masih baru dan sangat modern (ternyata benar), dan juga sudah
termasuk biaya menginap selama 5 malam di hotel bintang 4 atau 5,
dan transportasi ke berbagai tempat wisata.

Ditawarkan 3 macam paket tour; ada yang Golf Tour, Leisure, dan
Buddhism and Beyond.
Paket promosi ini hanya berlangsung singkat, sampai akhir Juni 2002.

Setelah tanya2, tertarik juga dan bisa terkumpul 12 orang
(kedua orang tua, ibu mertua, adik, 2 orang ipar, dan 4 teman).
Karena lebih dari 10 orang maka kami akan mendapat satu bus yang
khusus hanya untuk rombongan kami ini saja.
(tidak digabung dengan peserta lain).

Kami pilih Package tour Leisure dan agar tidak berabe maka kami
tambah biaya untuk lunch + dinner, dan juga entrance fee ke ber-
bagai tempat2 wisata - sudah kami bayar di Jakarta.

Pesawat Airbus A 330, yang seat-nya 2-4-2 itu memang modern sekali,
pada kursi penumpang tidak hanya ada tombol untuk menyetel kemiringan
sandaran kursi, tapi juga ada satu tombol lainnya yang kalau  dipencet
akan membuat sandaran kursi itu menonjol dibagian  lengkung pinggang
kita, jadi bisa sebagai ganjal pinggang.

Yang sangat menyenangkan adalah lewat layar tv kecil yang berada
dibagian belakang kursi setiap penumpang; kita tidak saja bisa
memilih menonton berbagai film, tapi juga bisa memilih untuk
melihat airshow moving map (status perjalanan : sampai dimana,
berapa lama lagi tiba, ketinggian, speed dll); atau downward
camera (melihat apa yang berada dibawah perut pesawat).

Dan paling asyik kalau saat take off/landing  adalah memilih forward
facing camera sehingga kita mempunyai pandangan kedepan layaknya
pandangan si pilot pesawat.

Melalui layar monitor yang programnya bisa kita ganti2 dengan cara
touch screen itu, saya mendapat jawaban atas satu hal yang selalu
timbul di kepala saya setiap saat take-off,  yaitu berapa kecepatan
pesawat saat rodanya lepas dari beton landasan.
Saat take off kemarin itu, lewat program airshow moving map itu
saya bisa melihat bahwa saat kapal terasa lepas dari beton landasan,
di layar monitor terlihat speed-nya adalah 300 km/jam.

Perjalanan sejauh 3300 km itu ditempuh sekitar 4 jam, dan selepas
pulau Nias maka kapal terbang diatas samudra Hindia.
Makan siang bisa pilih dari 3 macam menu; yang disajikan oleh pramu-
gari yang memakai pakaian mirip Sari yang biasa dipakai orang India.

Sewaktu mendarat terlihat di sekitar landasan banyak digali lubang2
perlindungan dengan dikelilingi kantong2 pasir, rupanya untuk tempat
tentara penjaga landasan ini ber-jaga2.
Agak kecut juga melihat pemandangan yang mengesankan suasana
kurang aman itu.
Pesawat mendarat dengan mulus, tapi ternyata tidak memakai aero-
bridge sehingga merepotkan orang tua yang harus menuruni tangga
yang lumayan curam, lalu naik bus ke gedung airport itu.

Pemeriksaan imigrasi oleh petugas yang tidak berseragam !! , lancar,
masuk Srilangka tidak diperlukan visa.

Gedung airport sederhana saja, banyak sekali counter Bank se-
hingga memudahkan menukar uang : 1 USD = 94 SLR (Srilanka Rupee).
Kami juga mencocokkan jam karena beda 1 jam.

Di Airport itu terlihat tidak terlalu banyak kesibukan, dan kami dijemput
oleh Tour Guide yang bernama Chandra,
seorang pria Sinhala usia 38 tahun.

Kami harus mendorong trolley model kuno, menuju tempat parkir bus,
dan terlihat di-mana2 tentara ber-jaga2 dg senapan, wah jadi mikir
juga katanya sudah aman kok masih siaga berat begitu.

Bus Toyota ukuran sedang (20 seat) pas sekali untuk rombongan kami,
yang ditambah 2 pria asal Pontianak, yaitu Benny dan Aseng.
Mereka ini rupanya nekat juga karena sama sekali tidak bisa bahasa
Inggris, kalau engga ikut kami entah bagaimana mereka sekian hari disana.
Mereka kemarinnya baru ambil voucher tour di Golden Rama juga, dan
tanpa sepengetahuan kami dimasukkan ke rombongan kami, untung masih
ada tempat untuk menaruh koper2 yang rupanya ditempatkan di kursi
paling belakang.

Udara cukup panas sekitar 29 derajat, dan diperjalanan saya sempat
terkejut karena Chandra memberitahu bahwa kami akan menginap di
Negombo, dan sama sekali tidak akan ke Colombo, padahal di
itinerary yang saya bawa kami seharusnya malah sampai 2 kali
menginap di Colombo (hari pertama dan terakhir).
Setelah di protes bahwa masa iya kami datang kesuatu negara tidak
sampai melihat ibukota-nya maka Chandra menilpon boss-nya dan
bus kemudian berganti arah menuju Colombo.

Perjalanan ke Colombo sekitar 1,5 jam, melalui jalan cukup lebar
( masing2 dua jalur ), dan cukup ramai, kami terkesan bahwa rasanya
seperti di Indonesia saja, karena selain stir kanan seperti disini
juga saling seruduknya sama dg pengemudi disini, jarang yang mau
mengalah, kadang2 tampak lebih kelewatan dibanding di Indonesia
karena orang nyebrang juga diseruduk saja.

Kota Colombo sedikit bangunan tinggi, hanya didaerah dekat pantai
terlihat ada beberapa bangunan tinggi, banyak juga bangunan kuno
peninggalan Inggris yang masih terawat bagus.

Kotanya terdiri dari 14 postal district, yang uniknya adalah setiap
district itu usahanya sama, misalnya ada district yang khusus tempat
jual spare parts, buah2an, bahan2 aluminium, sampai tempat industri;
jadi kelihatannya kegiatan setiap jenis perdagangan dikelompokkan
disatu daerah saja.

Saya tertarik akan papan petunjuk toko2 disana, karena memakai
bahasa Inggris (rupanya bahasa Komersial disana : Inggris), bayangkan
saja kalau seperti di Thailand yang pakai bahasa setempat yang sulit
dimengerti.
Tulisan Sinhala juga bikin sakit kepala melihatnya; tulisannya
semuanya memakai basis seperti lingkaran.

Makan siang di satu gedung besar dipinggir pantai, lokal food yang
menyajikan berbagai masakan kari; lumayan apalagi memang sudah ter-
lambat makan siang karena sudah lewat jam 3 waktu itu.

Kami kemudian diajak city tour, kotanya cukup besar dan hijau banyak
pepohonan, tapi tidak terlalu modern; di-mana2 ada pos penjagaan tentara
yang memakai barikade dengan pengaman kantung2 pasir.

Agak kecewa sewaktu diajak ke toko souvenir, karena barang2 kerajinan
tangan yang ditawarkan kurang halus buatannya.
Apalagi sewaktu diajak ke toko pakaian yang katanya termasuk cukup
besar disana; ternyata kaga ada barang2 bagus; kalau dibandingkan dengan
factory outlet di Bandung juga kalah bagus.

Akhirnya kami kembali menuju Negombo, melalui jalan yang sama kearah
airport; tidak jauh dari airport bus membelok memasuki jalan kecil
yang mengarah ke pantai, rupanya Negombo itu satu tempat dipinggir
pantai, mirip dengan Kuta di Bali.

Mendekati hotel si Chandra kasih warning, kalau sudah malam jangan
jalan2 keluar hotel - tidak dijamin aman, lalu kalau dihotel jangan belanja
di toko hotel karena barangnya banyak barang palsu;
kok jadi begini ?, baru sampai sudah dengar hal yg bikin was2.

Hotelnya memang cukup bagus dan besar, bintang 4, tetapi kami harus
naik tangga ke lantai 3  karena tak ada lift.
Kami jadi agak mangkel karena melihat kamar tak ada TV, yang ada malah
barang2 yang engga biasa ada dikamar hotel :
- obat nyamuk elektrik  ( wah rupanya banyak nyamuk nih !! )
- lilin dan korek api ( wah, jangan2 sering mati lampu nih !!)
- kipas angin.
Ternyata hal2 yang serupa itu kami nanti temukan juga dihotel lainnya.

Hotel sepi karena saat itu katanya belum peak season bagi turis2 dari Eropa.
Pemandangan kamar memang bagus ke laut, tapi lautnya sendiri tidak bagus
karena hanya laut lepas saja, tidak ada pulau2.
Makan malam disediakan di hotel, terasa kurang nyaman karena yang makan
hanya rombongan kami saja ditambah beberapa turis lain, apalagi tempat
makannya penerangannya kurang bagus.

Malam itu kami cepat tidur karena tidak ada acara, mau lihat2 hotel juga
tidak ada apa2, selain itu besok pagi morning call-nya jam 5 pagi yang
berarti jam 4 pagi waktu Indonesia Barat.
Harus bangun sepagi itu agar bisa sempat melihat acara pemberian minum
susu bagi baby elephant di Pinnawella yang berjarak 2,5 jam perjalanan.
Untungnya kamar tidur AC-nya bagus dan juga suara gelegar ombak tidak
terlalu terdengar masuk kamar, sehingga cepat bisa tidur.


bersambung part 2 :
Pinnawella

No comments:

Post a Comment