Monday, September 27, 2010

XinJiang - a fabolous place to visit, part 1 - menuju Beijing.




Sekian lama tidak ke China (terakhir 2005), dan mendengar bahwa kini
sudah banyak kemajuan disana, istri saya kutak-katik rute lagi, selama
ini memang selalu dia yang merancang rute perjalanan kami.

Pilihannya, apakah ke China bagian timur yang serba maju misal nonton
Shanghai Expo, atau sebaliknya masuk daerah pelosok yang unik/eksotis.
Mendengar antrian masuk Expo yang bisa dua jam, tentu mending ambil
pilihan yang kedua, apalagi ada kabar bahwa kini sudah terbuka wisata
masuk sampai pedalaman XinJiang, propinsi China yang paling barat.
Dalam satu brosur wisata XinJiang, ada tulisan :
XinJiang - a fabolous place to visit, membuat makin mantap niat kesana.

Sebetulnya tahun 1999 kami pernah ke Xinjiang ini, tapi hanya ke Urumqi
(baca wu-lu-mu-qi) - kota terbesar di bagian barat Tiongkok ini terdaftar
dalam Guinness Book of Records sebagai kota terjauh dari laut, sekitar
2.648 km dari garis pantai terdekat, dan ke kota Turpan (baca tu-lu-fan).

Waktu itu kami terkesan sekali dengan ke-eksotisan wilayah Turpan, di
wilayah tepian gurun yang sekitar 150 meter dibawah permukaan laut itu
suhu udara bisa diatas 40 derajat, malah di satu pegunungan saat suhu
mencapai 70 derajat C, lerengnya tampak membara sehingga dijuluki
Flaming Mountain !
Tapi kotanya bisa begitu hijau dengan perkebunan anggur yang luas sekali.
Rupanya sistim irigasi kuno bawah-tanah yang disebut Karez, yang konon
jaringannya sampai 5,000 km sehingga dijuluki "The Underground Great Wall"
bisa mengubah tanah gurun menjadi lahan yang sangat subur.

Propinsi XinJiang (=SinKiang) luas sekali, kira-kira setara Iran/West Europe,
seperenam wilayah Tiongkok ada disana, dan berbatasan dengan begitu
banyak negara : Russia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan,
Afghanistan, Pakistan dan India.

Wilayah ini seakan dibelah dua oleh pegunungan TianShan yang membujur
barat-timur, kalau diutaranya terdapat Gorbantongut Desert, maka diselatan
terdapat Taklimakan Desert yang luas sekali dan ganas.
Inilah wilayah tempat lewatnya Silk Road - rute perdagangan kuno yang
membentang dari kota Xian di Tiongkok tengah sampai ke Mediterrania.

Untuk kali ini kami pilih mengunjungi bagian utara XinJiang, dengan rute
mengelilingi tepian Gorbantongut Desert dalam arah counter clockwise,
disitu sudah dekat-dekat dengan border Mongolia-Russia-Kazakhstan.
Diwilayah tepi gurun - pegunungan tinggi berselimutkan salju abadi inilah
banyak scenic spot yang unik dan cantik.

Karena ada teman yang ingin sekalian mengunjungi kota YinChuan di
propinsi Xining dan juga naik bullet train pulang pergi dari Beijing ke kota
TianJin, maka total perjalanan molor menjadi dua minggu.

Tapi ada satu hal yang mengganjal, seperti diketahui 5 Juli tahun lalu
terjadi kerusuhan etnis di dalam kota Urumqi yang cukup hebat dengan
korban jiwa sampai 200 orang, yang luka 1500 orang (versi pemerintah,
konon angkanya jauh diatas itu).

Untunglah berkat bantuan Agustinus Wibowo (anggota Jalansutra yang
tinggal di Beijing), bisa kontak e-mail dengan LamLi, cewek backpacker
Malaysia sobatnya Agustinus ini kebetulan sedang berada di Turpan.
Info dari LamLi sangat melegakan, sudah aman katanya hanya suhu
udara di Turpan sedang mencapai 40 der C.

Kamis pagi 9 September 2010, tepat waktu kami sudah masuk pesawat
China Southern yang akan membawa kami dari Jakarta ke GuangZhou,
nantinya lanjut terbang lagi ke Beijing.
Tapi duduk sekian lama sampai lewat 40 menit dari jam take-off , koq
pesawat masih nongkrong saja, wah bisa berabe nih karena transit time
di GuangZhou cuma 2 jam.
Persoalannya nantinya di GuangZhou itu, selain kami harus antri imigrasi,
juga harus ambil bagasi dan geret ke airport domestik untuk check-in lagi.
Boarding pass tujuan Beijing sih sudah pegang tapi cilakanya bagasi nggak
otomatis pindah pesawat, tapi harus diambil dan di check-in kan lagi gitu.
Kami semua ngedumel, koq aneh-aneh saja, soalnya kan sama-sama
China Southern kenapa mesti pindahin sendiri koper gitu, apalagi airport
GuangZhou kan gede banget - bakalan ribet nih.

Benar saja, jam 16 kami baru mendarat padahal take-off ke Beijing jam 17.
Turun pesawat masih aja ada hambatan - ada nenek2 tua yang jalan harus
dipapah menghalangi arus penumpang dibelakangnya, terpaksa kami
ikut jalan beringsut, apalagi turun tangga karena tidak pakai aerobridge.

Setelah lari-lari sana sini, akhirnya bagasi beres, dan kini mencari gate
keberangkatan, alamak ternyata diujung dunia, sempat rombongan kami
yang 28 orang dinaikkan mobil listrik, tentu lega sekali karena bisa cepat
dan tidak capai lari-lari.
Tidak lama kami sudah diturunkan si pengemudi, kirain sudah sampai,
setelah tanya-tanya, astaga lokasi tujuan bukan disitu, lari-lari lagi jauh
banget - kayaknya nyebrangi lapangan Monas masih lebih deket.

Setiba di gate keberangkatan pas banget jam 17, lega sekali karena
terlihat calon penumpang masih nunggu - ternyata penerbangan delay.
Pesawat B 777 China Southern itu malah jam 18.10 baru lepas landas.
Penerbangan sejauh 1200 miles itu ditempuh 2 jam 15 menit, dan sekitar
jam 20.30 pesawat landing di Beijing dalam suhu 22 derajat.

Segera menilpon Agustinus Wibowo, kami memang janjian dinner bareng
disebuah restoran didalam kota Beijing bersama pasangan JSer Henry
dan XTin yang kebetulan berada di Beijing.
Tapi sampai semua selesai makan, mereka bertiga barulah tiba, rupanya
lokasi mereka terlalu jauh dan sempat kesulitan cari lokasi restoran itu.

Akhirnya kami ngobrol didalam bus saja dalam perjalanan menuju hotel,
Agus sempat diminta bercerita pakai mikropon tentang petualangannya
di Afganistan, dan rencana penerbitan buku keduanya akhir tahun ini.

Sayang sekali esoknya Agus ada janji dan pasangan Henry + Xtin mau
siap2 packing perjalanan ke JiuZhaiGuo, maka di lobby hotel setelah
"trafficking" pesanan Agus yaitu Bumbu Pecel ditambah Arem-arem,
menjelang tengah malam pertemuan super singkat itu usai.

Bersambung :
Nyoba Bullet-train Beijing - TianJin pp.