Friday, August 26, 2005

Marco Polo : Dali Is The Geneve of Orient.





Pesawat B737-400 China Eastern -
seperti biasanya penerbangan di China, penuh penumpang,
termasuk puluhan turis barat.
Dan dalam penerbangan selama 50 menit dari kota Kunming mengarah
ke kota yang terletak northwest propinsi Yunnan itu kami hanya dikasih
minum doang.


Kota Dali ( dibaca : Tali), adalah kota kuno sejak jaman dynasti Tang.
Penggemar cerita silat Sia Tiauw Eng Hiong tentu ingat nama beken
Tjioe Pek Thong - si nakal yang bikin skandal dengan istri kakaknya,
yaitu permasuri-nya Toan Hong Ya - raja Dali.

Kota berpenduduk 3 juta jiwa ini (1-2 % Muslim) berada diketinggian
1974 meter dan terletak ditepi danau Erhai yang luas sekali.
Mr.Su, local guide Dali yang menjemput kami bilang Singapura muat
kalau dimasukkan kedalam danau dengan panjang 40 km dan luas
250 Km2 itu.
Air dari Lake Erhai ini akan mengalir masuk ke sungai Mekong.

Dibelakang kota Dali ada Mt.CangShan, gunung setinggi 3500 meter -
puncaknya yang diselimuti salju abadi itu menambah indah kota Dali.

Paduan warna putih puncak bersalju Mt.Cangshan dengan warna hijau
clear crystal water Lake Erhai yang laksana emerald jade,
dan langit biru laksana sapphirine sky -
membuat Dali sangat indah.
Sampai-sampai Marco Polo mengatakan : Dali is the Geneve of Orient.

Pesawat mendarat di landasan yang terletak di punggung bukit gersang
dan tampak dikejauhan danau Erhai.
Sesampai diujung landasan pesawat berputar U-turn, lalu ber-taxi melalui
landasan tempat tadi mendarat.
Rupanya landasan pacu itu sekaligus berfungsi sebagai jalan menuju ke terminal airport dan pesawat berhenti persis dimuka gedung airport.

Udara mendung berkabut, dingin sekitar 13 derajat, dan melalui highway
kami menuju bagian baru kota Dali yang berjarak 15 kilometer.
Kami makan pagi dibagian baru kota yang memang didominasi gedung2
bertingkat, tapi Mr.Su memberitahu bahwa hotel kami - Asia Star Hotel
yang berbintang empat berada dibagian kota lama.

Ternyata hari itu cuaca kurang bersahabat, udara tidak saja dingin juga
turun hujan sehingga kami harus berpayung ria saat mengunjungi landmark
kota Dali yaitu Three Pagoda's Temple, pagoda kuno yang dibangun
dijaman dynasti Tang , berwarna kuning dan bentuknya unik karena
seakan-akan bersirip banyak.

Kami makan siang di March Market dan disuguhi makanan khas daerah
Yunnan yaitu bihun besar-besar yang mirip laksa beras Tangerang dengan
kuah kaldu yang terasa pas sekali dengan cuaca Dali yang diguyur hujan.

Acara dilanjutkan dengan kunjungan ke pusat kebudayaan suku Bai -
(dibaca : pai) suku terbesar di Dali.
Sesampainya disana kami langsung diantar masuk ke sebuah ruangan
dengan bangku2 dan meja2 mungil, sebuah panggung ada di depannya.

Acara yang disuguhkan berupa "three courses of tea", yaitu suguhan teh
yang khas dari suku Bai untuk menyambut tamu2 mereka, yang terdiri
dari 3 cangkir teh, yang pertama teh terasa pahit (bitter taste), yang ke-
dua dan paling enak karena terasa manis (sweet taste) dan terakhir
terasa tawar (after taste).
Acara minum teh tersebut disertai dengan pertunjukan tari-tarian khas
suku Bai dan acara wedding ceremony suku Bai yang cukup menarik
karena calon pengantin perempuan harus memakai kacamata hitam
sebelum resmi menjadi suami istri dan pakai acara dicubiti oleh sanak
saudara dan tetangga dari pihak pengantin laki-laki.

Selanjutnya kami menuju ke stasiun cable car yang akan membawa
kami naik ke lereng Mt.Cangshan.
Semula kami ragu-ragu karena walau memang hujan sudah reda tapi
hari sudah sore, tapi akhirnya kami sepakat jadi naik juga walau tetap
was-was karena kota Dali mempunyai julukan Kota Angin -
sering ada angin besar disini.

Saat itu sudah tak ada pengunjung lainnya, saat mau naik kami diberikan
jas hujan yang terbuat dari plastik tipis - lho koq pake jas hujan segala ? -
waduh ! ternyata cable car-nya bukan model tertutup.
Kami duduk berdua-dua seakan naik beca - tanpa atap dan kaki juga
cuma bertumpu pada sebatang besi saja.
Kami kembali dipesan untuk jangan sampai menjatuhkan barang-barang
berharga seperti tas atau kamera karena kalau jatuh akan susah dicari.

Sudah kepalang, kami naik saja dan ternyata kereta itu jalannya macam
nenek-nenek - pelan banget, mana udara dingin dan khawatir hujan lagi.
Waduh, udah jalannya lambat ternyata lereng gunung dibawah kaki kami
penuh batu nisan - rupanya komplek kuburan yang luas sekali.

Letak memunggungi gunung dengan menghadap sungai/danau dipercaya
sebagai letak HongSui yang paling bagus untuk rumah orang hidup maupun
bagi orang yang sudah mati - tapi buat kami yang sedang numpang lewat
lambat-lambat tergantung-gantung diatasnya tentu sungguh tidak nyaman.

Betul saja, naik dari ketinggian 1974 meter ke ketinggian 2500 meter itu
memang makan waktu lama sekali : 25 menit !
Di stasiun atas kami turun, lalu mengunjungi komplek temple yang tampak
sudah kuno sekali, dan memasuki anjungan untuk menikmati pemandangan
kearah kota Dali dan danau Erhai yang terlihat indah sekali.
Karena sudah sore maka kami tentu tidak berlama-lama disana, segera
turun lagi dan kembali numpang lewat diatas "pemukiman" abadi itu.

Kami masih sempat mengunjungi sisa kota tua Dali yang masih utuh yaitu
gerbang masuk ke kota lama yang disebut South Gate, yang memang
masih megah berdiri.
Memasuki gate itu kami kemudian melewati deretan rumah kuno yang
sekarang beralih fungsi jadi toko-toko souvenir yang begitu banyak dan
ramai dipenuhi turis.

Malam hari menginap di lantai enam/teratas Star Asia Hotel, lokasinya
dibagian kota lama yang dekat dengan South Gate.
Karena berada di ketinggian/lereng gunung maka view dari kamar hotel
kearah kota dan danau Erhai bagus sekali.
Lobby hotel luas sekali, spacenya 1680 square meter, tinggi sampai ke
lantai enam, dan reiling tangga/balkon-nya dibuat dari Dali woodcarving
yang penuh ukiran bagus sekali.
Tapi yang paling menarik adalah lukisan Guanyin-Buddha (the Goddess
of Mercy) yang dilukis di satu dinding lobby - besar sekali mulai dari
dinding lantai dua atrium lobby itu sampai mencapai lantai enam.

Makan malam berupa Chinese buffet di restoran yang luas dengan
pemandangan kearah puncak gunung Cangshan yang putih bersalju.
Dan saya bengong melihat makanan buffet yang berderet tersaji :
banyak macam sekali beraneka ragam, saya hitung roti ada 11 macam,
bapao ada 4 macam.
Malah masakan utama berupa nasi/sop/sayur/daging ada : 57 macam !!
Saya sampai tiga kali menghitung jumlah masakan itu, penasaran
apakah saya engga salah hitung saking banyaknya yang disajikan itu.
Masakannya juga banyak yang unik :
- crisp young cucumber
- sea weed
- deep fried local ginseng.

Melengkapi makan malam unik itu, terdengar suara musik tradisional
Dali yang dimainkan sekelompok pemain musik,
sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi kami semua.


.

Tuesday, August 9, 2005

WuLingYuan Scenic Area - ZhangJiaJie




Huangshi Village - WuLingYuan Scenic Area :

Inilah kawasan wisata ternama yang merupakan highlight tour
kami di propinsi Hunan.
Dengan kota Zhang Jia Jie sebagai kota terbesar, kawasan wisata
WuLingYuan ini yang mempunyai 12 scenic area - di tahun 2002.
mampu menyedot 7 juta turis !!.

Di wilayah ini ada 400 hotel (20 berbintang) dengan 30.000 bed,
restoran dan ada 50 travel agencies - membuktikan tingginya daya
tarik dari wilayah yang juga masuk Unesco's World Heritage .

Sekitar jam 20.30 kami baru mendarat di airport Zhang Jia Jie,
karena sebelumnya pesawat delay lebih satu jam di airport Changsa -
tapi fihak airline cukup bertanggung jawab dengan memberikan
makanan dan minuman dalam kotak.
Setiba di dalam kota Zhang Jia Jie, langsung menuju restoran untuk
makan malam, lalu ramai2 menyebrang jalan masuk ke hotel.
Kami juga diberitahu untuk hati-hati kalau berjalan di pertokoan
dekat hotel - banyak pencopet katanya.
Wuah, katanya tempat wisata terkenal , koq kayak gini.

Hotel International tempat kami menginap - bintang 4 dan besar,
dan tampak lobbynya penuh tamu.
Tapi kami menjadi bengong karena diberitahu bahwa dari rencana
tiga malam menginap disitu ternyata jadinya hanya semalam saja,
karena esoknya kamar hotel akan dipergunakan pejabat RRC,
jadi kita esok pagi harus angkat koper pindah ke hotel lainnya.

Waduh !, tadinya udah terfikir bakal bisa relax ternyata kembali
harus repot bongkar pasang koper lagi.

Esok pagi kami sudah menuju bus dengan bersemangat karena hari
itu akan melihat pemandangan alam pegunungan yang dalam VCD
terlihat sangat indah seperti halnya di HuangShan.
Setelah berkendara sekitar satu jam sampailah di satu scenic area :
Huangshi Village.

Turun dari bus, berjalan kaki santai sekitar 15 menit untuk mencapai
terminal shuttle bus yang akan membawa kami ke stasiun cable car.
Pemandangan sekitar sudah menarik karena suasana pegunungan
yang bentuk gunungnya unik - tinggi langsing, asri hijau dimana mana.

Pengunjung juga kelihatan lumayan banyak, tapi saat antri masuk ke
stasiun cable car kami bisa langsung naik karena kebetulan sekali
saat itu rombongan turis lainnya belum datang.

Cable car-nya unik karena tidak saja tiap gondolanya bisa memuat
sekitar delapan orang berdiri, juga tiga buah gondola-nya sekaligus
disatukan nempel berjejer sama lain sehingga sekali jalan banyak
yang bisa diangkut.

Cable car naik dengan kecepatan 9 meter/detik, dan segera saja
tampak pemandangan yang aduhai - kami melayang didekat gunung -
gunung yang tinggi langsing dengan aneka bentuk yang indah.

Puncak gunung-gunung itu diberi nama yang cantik2 pula :
- Flying Cloud Cavern.
- Five Finger Peak.
- Goddess Scattering Flowers.
- Jade vase Peak.

Selintas mirip pemandangan di HuangShan, disana sini tampak
gunung batu curam dengan sedikit pohon tumbuh dari sela-sela
dinding gunung.
Hanya disini lebih banyak pohon besar,sedangkan di Huangshan
lebih banyak pohon ukuran bonsai.

Setelah tiba di stasiun atas pada ketinggian sekitar 1300 meter,
maka kami kini berada di scenery area seluas 16,5 Ha yang bisa
dijalani dengan menapaki 3878 steps, berkeliling sejauh 3000 meter.

Tentu kami tidak sanggup sejauh itu, bukan saja makan banyak
waktu juga sangat berat jalan harus turun naik gunung.
Melihat undakan tangganya saja sebagian besar peserta sudah
pada angkat tangan.
Kami cukupkan saja menuju ke satu menara pemandangan yang
dibangun diatas sebuah gunung - dari atas menara kami bisa melihat
keliling gunung dimana tampak berbagai puncak gunung yang unik
dan indah itu.

Monday, August 8, 2005

Awas Kesenggol Topi Judge Bao !!


 


Awas Kesenggol Topi Judge Bao !!


Kai Feng adalah kota tua yang menyimpan banyak cerita kuno,
selain pernah menjadi ibukota Dynasti Sung selama 168 tahun -
juga menjadi ibukota pemerintahan dari 7 dynasti lainnya.


Saat paling makmur bagi rakyat adalah semasa Dynasti Sung itu,
penduduk kota ini sampai 1,5 juta orang -
sekarang penduduk Kai Feng malah tinggal separuhnya saja.


Sampai tahun 1954 kota ini menjadi ibukota propinsi Henan,
setelah itu ibukota pindah ke kota Zhengzhou.


Sekian tahun yang lalu di televisi Indonesia pernah ditayangkan
serial yang menarik yaitu kisah tentang Judge Bao - hakim yang
hebat, terkenal cerdik dan adil dijaman dulu itu.


Rupanya dia adalah salah satu walikota Kai Feng, yang karena
posturnya pendek  yaitu hanya 162 cm maka raja mengeluarkan
maklumat bahwa siapapun tidak boleh tersentuh/tersenggol
bagian topi Judge Bao yang berupa semacam pita kaku menjulur
setengah meter kekiri kanan. (foto pertama).
Siapa yang melanggar - kesenggol pita itu tak ampun akan
dihukum potong leher.


Perjalanan ke kota tua ini hanya setengah jam saja dari
Zhengzhou karena kami melalui highway yang mulus sekali.
Saat memasuki kota ini terlihat selain banyak sepeda juga
bangunan2 tua - antara lain gerbang kota kuno.
Cuma sayangnya bangunan2 modern juga banyak sehingga
agak mengganggu keindahan kota kuno ini.


Kebetulan sekali bus kami bisa parkir dekat gerbang masuk
Judge Bao's Temple, sehingga kami dapat jalan cepat2 untuk
segera berlindung didalam temple itu dari udara berangin yang
dingin sekitar 10 derajat.


Temple itu mempunyai taman dengan pohon2 dan bunga2 yang
indah (foto kedua) apalagi terletak ditepi danau yang bersih sekali.


Sayang sekali pemandangan diseberang danau adalah gedung2
bertingkat/modern yang mengganggu ke-kunoan kota lama ini.


Didalam komplek ada dua hal yang menarik, salah satu-nya
adalah sebuah diorama dengan patung-patung lilin yang sangat
terlihat begitu hidup.
Luar biasa - bagus sekali memakai kostum kuno, mukanya
sangat hidup sekali - saya pikir buatannya tidak kalah dari
patung lilin Madamme Tussaud.


Belasan patung ini memperlihatkan Judge Bao sedang mengadili
seorang laki-laki yang menelantarkan anak istrinya karena diam-
diam kawin lagi dengan putri raja yang sangat cantik.


Yang lainnya adalah satu papan batu hitam, dimana terukir nama-
nama para walikota yang pernah memerintah di KaiFeng, termasuk
nama Judge Bao yang lahir di tahun 999.
Judge Bao meninggal pada usia 64 tahun.


Para pengunjung menggosokkan jari ke nama Judge Bao yang
terukir di batu hitam itu.
Konon kalau jarinya menjadi hitam maka berarti punya kesalahan
berat dalam hidupnya.
Saking banyaknya yang menggosokkan jari ke bagian nama
Judge Bao itu, maka bagian nama Judge Bao tidak saja terkikis
hilang, tapi juga bagian dinding batu itu sampai "ceglok" kedalam.
(foto ketiga).


 


 

Monday, August 1, 2005

Kisah Nyata : Bujugbuneng .............

 


Kisah nyata yang sangat menarik dari teman yang tinggal di Perth :
 
 
Pak Sindhi,
 
Seperti anda tahu, aku kembali ke Perth hari Minggu malam Senin
tgl. 25 /07/05 yang lalu.
Ternyata penerbangan dengan QANTAS ini membawa pengalaman
baru bagi kami ( istri & cucu 7 thn ).
 
Begini ceritanya :
Kami bertiga berangkat ke Cengkareng hari Minggu jam 10 malam,
seperti biasa check-in dll
 
Masuk ke kapal jam 00.35 (pagi) dan kapal take-off tepat jam 01.05
pagi.(jam 02.05 waktu Perth/WA).
Perjalanan akan menempuh jarak 4 jam terbang.
Dicabin kita ‘tidur2-ayam’ dan jam 03 kita dibagikan makanan
(makan sahur kali ya?),
dan apesnya kita berdua tidak dapat jatah makanan,
- entah pramugarinya lupa atau sengaja - aku dan istri jadi bengong aja.
 
Untung cucu sudah lebih awal dikirimin kids mill,
kebetulan istri juga ogah makan sahur, cucu juga tidur nyenyak,
aku dah yang ngembat kids mill-nya cucu.
 
Dengan perut agak ngambek karena kurang supplies-nya,
aku nonton film humor QANTAS dan mencoba untuk tidur.
 
Mungkin aku tidur selama 1 sampai 1½  jam aku bangun ketoilet untuk
 ‘buang hajat kecil’ dan melihat jam tanganku waktu sudah jam 06.05
(waktu Perth/WA), tapi pesawat masih terbang dengan kecepatan tinggi,
tanpa ada tanda2 mau mendarat -
juga tidak ada announcement dari si Pilot.
Aku sudah mulai waswas kemana kita dibawa terbang?.
 
Jam 06.25 baru si Pilot bekoar : karena fog pesawat tidak bisa mendarat.
Dalam pikiranku masa International Airport seperti Perth tidak ada
peralatan untuk menanggulangi hal tsb.
 
Jam 06.35 si Pilot bilang : pesawat akan balik lagi keutara menuju kota
EXMOUTH dan akan landing di Pangkalan Udara Militer /
AUSTRALIAN AIR FORCE.  
 
Nah lu !!!  aku mikir lagi, ngapain kita dibawa keutara lagi dengan
jarak terbang 1½ jam dari Perth ? 


Aku mulai curiga ketika diumumkan, kita semua harus turun dari pesawat
dan masuk keruang tunggu sampai ada pengumuman lebih lanjut.
 
Sampai di EXMOUTH jam 07.30 yang ternyata jauh dari pusat kota
dan di Airportnya jangan kata ‘restaurant’, kantin aja kaga ada,  
(Aku rasa lebih besar airportnya kota Cirebon)
kami semua disuruh masuk diruang tunggu sebesar 10 M X  15 M.
 
Kami semua dilarang untuk keluar dari ruangan tersebut, dan didepan
pintu yang tertutup berdiri 2 orang polisi berseragam,
dan kami semua diberitahu harus menunggu 3 – 4 jam dengan alasan :
Mengisi ‘bensin’ pesawat yang sudah hampir habis.
Menunggu pilot baru yang akan datang dari Perth.
(pilot lama jam terbangnya habis)
 
Sesudah menunggu 2 jam minuman dingin mulai dibagikan, 2 jam
kemudian keluar jatah sandwich/roti bule untuk kita pangan rame-rame.
 
Sudah 4 jam tunggu punya tunggu belum ada tanda2 mau berangkat,
baru 2 jam kemudian (jam 13.30) baru kita disuruh masuk kepesawat
untuk take off. 
 
Jam 15.10 kami mendarat di Perth dengan perasaan lega meskipun
badan lelah dan otak dipenuhi segala macam pertanyaan.
 
Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan itu kami semua disuguhkan
‘pertunjukan’ berikut :
 
Biasanya setelah pesawat landing, dan pesawat menuju tempat
 ‘parkir’, dan tanda/sign seat-belt dipadamkan,.
Kita semua berdiri mau ambil tas/luggage yang diatas kepala kita,
lagi kejutan dari pilot yang tidak mengijinkan kita berdiri alias
harus duduk diam.
 
Dari luar, masuk 4 orang Police WA lengkap dengan senjatanya
dipinggang,  mengambil/menciduk seorang penumpang,
yang seatnya berjarak beberapa bangku dari tempat aku duduk.
 
Baru setelah 5 menit kami diijinkan untuk turun/keluar dari pesawat
dengan seribu-satu pertanyaan dibenakku.
 
Dengan demikian (jam terbang : 7 jam) +  (menunggu : 7 jam) +
(dari rumah-airport-rumah : 4 ½ ) ;
total jendral = 18 ½  jam (sampe dah ke LONDON)
 
Aku penasaran dan mencoba mencari informasi via teman di Perth,
jawaban dari teman yang bekerja di travel bureau :
ada issue dipesawat terbang kami ada TERRORIST.
Bujugbuneng………..
 
Pak Sindhi satu hal yang aku imani,
aku lupa sembahyang waktu berangkat dari Jakarta,  Amin.
 


J&N