Saturday, September 24, 2005

Disneysea - Tokyo Japan




" Dikerjain Kevin Kostner" di Waterworld - Osaka Japan.


 


"Dikerjain Kevin Kostner" di Waterworld - Osaka Japan.



Perjalanan dari Airport Kansai ke kota Osaka, banyak melalui
jembatan yang lumayan panjang dan tinggi diatas air laut.
Rupanya Airport dibangun diatas tanah reklamasi.
Kalau kita lihat peta Jepang maka heran juga kenapa kota-kota
besar dan utama di kepulauan Jepang ini berada dipantai timur
yang menghadap ke Samudra Pasifik yang luas itu,
mengapa bukan di pantai barat menghadap ke Laut Jepang
sehingga dekat dan mudah berhubungan dengan negara Rusia
dan Korea.


Didalam bus, tour leader kami seorang wanita yang fasih berbahasa
Jepang (kuliahnya di Sastra Jepang), memberitahu kami bahwa
semua Handphone dari Indonesia tidak akan bisa dipakai karena
sistem disini bukan GSM.
Kecuali handphone yang dibawanya, yang walau tetap memakai
SIM Card Telkomsel (0811) bisa ber-halo2 karena memakai
handset khusus.
Rupanya sewaktu masih di Jakarta, dia ke Wisma Staco Casablanca,
dengan menaruh deposit sebesar 500 ribu rupiah bisa meminjam
handset khusus system CDMA yang digunakan di Jepang itu.
Karena dia bisa berbahasa Jepang, maka tidak mempergunakan
local guide (lumayan menghemat tip local guide yang sebesar
400 yen/peserta/hari, untuk pak sopir tipnya 200 yen/peserta/hari).
Tapi si sopir kaga bisa berbahasa  selain bahasa ibunya, dan pak
sopir ini tertawa geli karena rombongan kami ini mempunyai code :
Japan Neko-Neko,
maksudnya dalam bahasa Indonesia sih : macam-macam,
tapi ternyata Neko dalam bahasa Jepang artinya : Kucing.


Obyek wisata Universal Studios, letaknya dipinggir kota Osaka,
dan ternyata kami datang pada saat yang kurang pas,
selain gerimis terus ( Nuke ngomel2 - kok summer di Jepang
kayak gini sih) yang mengharuskan kami terus berpayung ria,
juga hari itu hari Sabtu sehingga banyak sekali pengunjung lokal
yang berakibat antrian masuk keberbagai atraksi itu menjadi
panjang dan lama.


Di atraksi pertama yang kami datangi : Sesame Street yang 4 D,
kami bengong melihat petunjuk bahwa antrian lamanya 80 menit --
mana tahan harus berdiri segitu lama ditengah hujan rintik rintik.
Tidak jadi masuk, dan langsung menuju tempat pertunjukan yang
lainnya : Terminator 2 -
di pintu masuk terpampang 40 menit lama antriannya,
Nuke dan istri saya langsung ikut antri, saya ogah ikutan sengsara
begitu dan memilih duduk duduk santai saja menunggu diluar.
Dan memang sejam kemudian barulah mereka keluar,
saya tanya Nuke : bagaimana bagus engga tontonannya,
dijawabnya  : Ah, Garing !


Makin siang makin ramai, dan dibeberapa tempat kami gunakan
fasilitas Fast Pass, yang boleh digunakan maksimal masuk ke
tiga tempat yang berbeda.
Kalau kita melihat satu atraksi antriannya panjang, maka kita
jangan antri disitu tapi minta tiket Fast Pass-nya saja , yang
nantinya bisa kita gunakan untuk langsung masuk tanpa antri lagi
(jalur masuk antrian biasa dengan jalur masuk pembawa
Fast Pass berbeda, sebenarnya bersebelahan hanya dibatasi tali -
kalau disini sih udah dilangkahi orang).
Penggunaannya tentu tidak bisa langsung saat kita ambil Fast Pass
itu, melainkan sekian puluh menit kemudian sesuai dengan waktu
yang tertera di tiket Fast Pass itu.
Tiket Fast Pass itu hanya berlaku untuk pertunjukan ditempat kita
ambil tiketnya, tidak bisa untuk nonton pertunjukan ditempat lain.


Waktu menunggu kami gunakan untuk makan siang,
aduhai mahalnya - nasi goreng saja dengan sedikit salad dan
daging goreng sudah 1000 yen ( = 70 ribu rupiah),
atau memasuki atraksi lain yang waktu antriannya singkat saja.


Seperti di tempat induknya di Amrik sana, disini pun banyak
tersedia drinking fountain (lumayan menghemat beli aqua botol
yang 200 yen),dan toilet - satu2nya tempat yang diperbolehkan 
untuk merokok.
Terlihat banyak wanita Jepang yang merokok, dan saya bilang
sama Nuke : Ke, kayaknya hampir separuh orang Jepang -
rambutnya dicat coklat tuh.
Dijawab: Ah - lebih dari separuh Pap !!
Memang banyak laki perempuan, tua muda, rambutnya tidak lagi
hitam, tapi menjadi coklat, malahan saya lihat ada seorang nenek
yang rambutnya berwarna  .. ... biru !!


Kami "salah" masuk ke Jurassic park, semula dikira hanya atraksi
ringan saja sehingga istri saya ikut, ternyata pakai terjun2-an segala
dan diakhir atraksi perahu yang kami tumpangi itu terjun lumayan
tinggi kedalam kolam sehingga rambut kami-pun sampai  basah,
untung saja jantung istri saya engga kumat.


Setelah memasuki Back Draft (antri 30 menit) , Jaws (antri 20 menit)
yang mirip sekali dengan yang kami lihat di Anaheim dan Orlando
dulu,  kami tertarik ingin nonton Waterworld yang belum pernah
kami lihat sebelumnya.


Antriannya lumayan sengsara, panjang banget dan dibawah hujan
yang lumayan lebat lagi.
Setelah berdiri sekitar 20 menit, pintu masuk dibuka dan kami masuk
ke ruang pertunjukan yang luas - beratap sehingga tidak kehujanan.
Settingnya menarik karena sesuai dengan filmnya - kita lihat didepan
ada "laut" dengan bangunan metal rombeng khas Waterworld.


Sebelum acara mulai seperti biasa, sambil menunggu penonton penuh,
ada 3 pemuda Jepang berpakaian ala Kevin Kostner mengisi waktu
dengan bergaya pura2 berkelahi, menyiramkan air ke pengunjung
yang duduk dibaris paling depan
(rupanya sudah siap disiram karena semua memakai jas hujan).


Mereka memakai bahasa Jepang, kami hanya bisa me-nebak2 saja -
kalau diajak mengangkat kedua jempol atau menunjukkan kedua
jempol kearah bawah dengan berteriak wuuu.
Yah sudah ikutan saja walau engga ngerti apa yang diomongin.


Sesudah sekitar sepuluh menit menunggu sambil melihat penonton
yang ramai memenuhi bangku bergairah tertawa dan teriak mengikuti
apa yang diomongin ke 3 orang itu, lalu muncul seorang jagoan bule
diatas bangunan rombeng itu dalam hujan yang masih gerimis.


Nah, kami pikir mulai deh nih atraksinya.


Lalu si bule itu merosot turun lewat tiang besi, menghilang , kemudian
ada suara wanita melalui speaker dalam bahasa Jepang , dan kami
merasa aneh sekali -
kok semua penonton pada berdiri dan menuju pintu keluar,
lho ada apa ini ?,  apa pindah tempat nontonnya ??


Dalam kebingungan itu, ada seorang wanita dibelakang kami
memberitahu bahwa karena cuaca tidak bagus maka -
pertunjukan dibatalkan  -----  Astaga !!

Ketemu Nenek 93 tahun Penghuni Rumah Gua - LuoYang.




Ketemu Nenek 93 tahun Penghuni Rumah Gua - LuoYang.


Setelah penerbangan panjang yang melelahkan : Seoul - Pusan -
Shanghai - ZhengZhou, tibalah kami di kota tua yang pernah
menjadi ibukota dari tujuh dinasti yang berbeda.

Lokal guide yang menjemput : Winnie (nick-name, sebab nama
aslinya biasanya susah diingat) - langsung membawa kami
ke sebuah gedung tua yang ternyata museum sungai HuangHo !!.
Sempat juga heran, ngapain datang ke Museum Sungai segala.
Rupanya sungai raksasa ini (panjangnya 5400 km) dimasa lampau
menyimpan begitu banyak kisah sedih penduduk ZengZhou.
Memang dipropinsi inilah sungai HuangHo bisa mempunyai lebar
sampai dua kilometer dan dalamnya 100 meter, padahal jaraknya
ke muara masih 700 kilometer lagi !.

HuangHo merupakan sungai yang paling banyak membawa
sedimen pasir didunia.
Dia membuang 4 milyar ton pasir kelaut setiap tahun-nya, atau
membuat daratan baru di muara sungai seluas 25 km2
(seluas Macao) setiap tahunnya.

Memang saat ini sungai Huangho sudah bisa dikendalikan
dengan dibuatnya banyak bendungan.
Untuk dijalur utama saja ada 15 bendungan,
kalau di anak/cabang sungai ada sampai ribuan katanya.

Tapi jaman dahulu sungai ini sering membuat kesengsaraan
yang luar biasa, tidak saja bisa membuat banjir hebat tapi juga
bisa membuat kekeringan yang ganas seperti di tahun 1942
yang mengakibatkan tiga juta orang tewas mengenaskan.

Ada satu proyek hebat yang akan selesai ditahun 2010, yaitu
sungai HuangHo ini akan dihubungkan dengan sungai YangTze.
Sodetan ini akan membuat kedua sungai ini berubah dari
pembawa kesengsaraan menjadi pembawa kemakmuran,
karena akan saling mengisi kalau terjadi kelebihan atau
kekurangan air disepanjang aliran kedua sungai ini.

Kemudian Winnie (yang baru pertama kali membawa turis
Indonesia), membawa kami menuju hotel WeiLai Conifer,
bintang 4, masih baru dan bagus.
Kota Zhengzhou sendiri, banyak gedung-gedung lama dan
baru yang mempunyai arsitektur cukup bagus, banyak yang
belasan tingkat.
Jalan raya lebar sampai 6 - 8 jalur, dipagari tanaman yang
terawat baik,
dan seperti kota-kota lainnya di China : bersih sekali.
Udara berkabut dengan temperatur 20 derajat.

Kami semua cepat beristirahat karena hari ini capai sekali,
take-off nya saja sampai tiga kali, dan besok jam 6 pagi
sudah di morning call lagi.

Esoknya tanggal 23 April 2002, setelah makan pagi ala
American breakfast, kami naik bus menuju kota Luo Yang,
sejauh 142 km melalui highway yang mulus.
Diperjalanan pemandangan monoton hanya terlihat ladang-
ladang, dan pebukitan saja.
Waktu itu kami sempat heran kenapa sepertinya di pebukitan
ada gua-gua buatan manusia yang dipakai untuk tempat tinggal -
ternyata dugaan kami benar - aneh sekali dijaman gini masih
ada orang tinggal di gua-gua seperti itu.

Sebenarnya yang khas dari LouYang adalah bunga MUTAN
(= Peony) yang saat itu seharusnya sedang mekar2-nya.
Bunga itu cantik sekali karena besar, warnanya ada merah,
ungu sampai kuning.
Kami sengaja mengunjungi satu taman khusus bunga Mutan itu,
tapi sesampai disana kami kecewa berat karena si penjaga
taman bilang bahwa beberapa hari lalu bunga2 itu sudah pada
rontok sebelum waktunya.
Kejadian ini karena beberapa hari lalu itu suhu udara tiba-tiba
naik menjadi 28 derajat, ini membuat bunga itu rontok -
padahal saat kami datang udara sudah kembali agak dingin.

Sudah kepalang datang kami tetap masuk dan agak terobati
kekecewaan kami karena ternyata ditaman bunga yang luas itu
masih ada sisa-sisa bunga yang rupanya kasihan sama kami
kalau engga ketemu sama sekali.
(foto pertama dan kedua).

Setelah itu kami ditawari si Winnie apakah mau optional
tour mengunjungi rumah gua yang seperti kami lihat
diperjalanan tadi.
Ada satu komplek rumah gua yang sangat terawat karena
dilindungi pemerintah katanya,
dan masih ditinggali pemiliknya yaitu nenek usia 93 tahun
bersama turunannya.
Tentu perlu extra bayaran untuk bensin + tip sopir, dan
tentu pula ini kami setujui - sayang sekali kalau melewatkan
melihat tempat unik seperti itu.

Maka setelah mengunjungi taman bunga Mutan,
bus membawa kami kembali kearah luar kota Lou Yang.
Bus berhenti di pinggir jalan raya, dan kami mulai berjalan
kaki sekitar 300 meter menjauhi jalan raya.
Sesekali ada rumah penduduk, dan sempat heran juga koq
engga ada pebukitan didekat situ.

Ternyata rumah gua unik itu dibuat bukan dengan cara
menggali dinding sebuah bukit seperti kami perkirakan,
tapi seakan menggali dinding sebuah kolam renang yang
telah dikeringkan.

Kami mula-mula melihat satu lubang besar ukuran sekitar
25 X 15 meter, dengan kedalaman 10 meter. (foto)
Kami lalu menuruni anak tangga berupa jalan tanah untuk
sampai kedasar lubang itu dan bertemu dengan si nenek
yang konon berusia 93 tahun itu. (foto)

Dia masih sehat sekali - bisa memperagakan lari-lari kecil
untuk menunjukkan kondisi fisiknya yang masih bagus.
Kami tertarik akan kakinya yang ukurannya mini -
saya bandingkan panjangnya dengan panjang kaki saya
paling hanya separuhnya saja.
Pada dinding lubang itulah banyak di-gali gua yang dalamnya
kira-kira 5 meter, yang dipergunakan untuk tempat tinggal.
Terlihat ada lubang untuk tempat tidur, dapur, dan lain-lain.
Sedangkan dihalaman komplek itu, ada sebuah sumur yang
tidak ada airnya, rupanya sumur resapan untuk menampung
air hujan.

Setelah mengunjungi rumah gua itu, tujuan berikutnya:
Long Men Grottoes atau One Hundred Thousand Buddha
Caves, suatu tempat dimana dikedua bukit yang mengapit
sebuah sungai diukir begitu banyaknya patung Budha,
dari ukuran tinggi 17 meter sampai 2 cm saja !!

Dikisahkan bahwa pada tahun 490 ada raja yang melihat
disatu tempat yang terletak 28 km diselatan kota LuoYang ,
sungai Yi diapit oleh dua gunung yang indah.
Maka dia menetapkan bahwa dikedua gunung itu rakyat
boleh memahat patung-patung Buddha.

Ternyata pekerjaan itu berlanjut sampai 6 dinasti - sekitar
400 tahun, sehingga sekarang terdapat hasil karya berupa
2300 gua/lubang, yang didalamnya ada patung Buddha
maupun pahatan didinding.
Patung maupun pahatan itu begitu banyaknya sehingga
disebut One Hundred Thousand Buddhist Images.

Bus harus parkir agak jauh, kami rame2 naik Golf Car
menyusuri sungai itu, dan berikutnya jalan kaki naik turun
bukit untuk melihat ceruk/gua/lubang2 tempat dimana ada
banyak sekali patung Buddha dan pahatan didinding gua.
Cuma sayang sekali banyak yang sudah rusak akibat
bagian kepalanya dipotong atau dicungkil. (foto).

Sebelum masuk hotel dikota LuoYang kami dibawa ke
restoran yang menyajikan menu makanan istimewa :
Makanan Raja ! - karena makanan akan disajikan
bergelombang sampai 24 macam !!.
(kalau di restoran biasa makanan yang disajikan
8 - 10 macam.)

Menu istimewa ini tidak disajikan sekaligus tapi satu-satu,
diawali 8 macam makanan dingin dulu, dilanjutkan dengan
16 macam makanan kuah panas.

Saya sih sejak masakan dingin yang pertama datang
sudah saya makan seperti biasa karena saya yakin
saya pasti engga kuat sampai final.
Benar saja baru masuk quarter final saja saya sudah WO,
harus gantung sumpit !

Saya lihat sebagian besar peserta sudah meninggalkan
gelanggang di ronde diatas 15 -
malahan 5 porsi makanan yang datang terakhir -
cuma diliatin saja rame-rame - kaga disentuh.

Friday, September 9, 2005

Wisata seputar Bukittinggi.




Wisata seputar Bukittinggi.


Kota Bukittinggi strategis karena tidak saja berada di lintasan jalan utama
yang menghubungkan Sumatra Barat dengan Sumatra Utara maupun Riau,
tapi juga menjadi "home base" dalam mengunjungi berbagai obyek wisata
di tanah Minang ini.

Letaknya yang sentral memudahkan menjangkau berbagai obyek wisata
yang lokasinya hanya beberapa puluh kilometer saja dari kota Bukittinggi.
Untuk itulah kami menginap sampai dua malam di Novotel Bukittinggi.

Lembah Harau hanya 48 kilometer arah ke timur, Istana Pagarruyung arah
ke tenggara, sedangkan Danau Maninjau sekitar 38 kilometer arah ke barat,
semuanya dapat dijangkau dengan nyaman karena melalui jalan yang mulus.

Dari Novotel, hotel tempat kami menginap, hanya beberapa menit berjalan
kaki sudah sampai ke Jam Gadang karena letak hotel yang bersebelahan
dengan Istana Hatta yang menghadap ke Jam Gadang.
Dimalam hari, apalagi malam minggu lapangan banyak dikunjungi orang,
tapi walau suasana malam disana aman - toko sudah tutup pada jam 21,
maka esok sorenya kami datang lagi ke Jam Gadang yang kali ini kami
memasuki Pasar Atas yang berada ditepi lapangan itu.

Tentu seperti biasa saya tidak mengikuti istri saya dan teman lainnya, mereka
menuju ke toko-toko kain bordiran yang memenuhi lantai dua, sedangkan
saya sendirian menelusuri pasar yang lumayan besar itu.
Pasar Atas yang berlantai dua itu walau penuh kios-kios pedagang, tapi
terkesan rapih, bersih dan aman.
Dibangun memanjang kebelakang, dimana ada lapangan parkir yang tidak
terlalu luas dan disitu ada jalan berupa tangga cukup lebar yang disebut
Jenjang 40, memang saya hitung anak tangga yang lumayan curam itu ada
40 buah,
tapi ternyata masih ada tangga berikutnya lagi yang kali ini tidak terlalu curam
menuju ketepi sebuah jalan dimana diseberang jalan itulah terletak Pasar
Bawah. Saya tidak memasuki Pasar Bawah karena kelihatannya pasar tempat
berdagang bahan makanan itu agak becek.


Perjalanan menuju Lembah Harau terasa menyegarkan mata - di kiri kanan jalan
diapit oleh pebukitan Bukit Barisan yang sesekali bentuknya indah menyerupai
bukit bukit di Guilin China.
Begitu keluar kota Bukittinggi, seperti biasa handphone byar-pet lagi , hanya
didalam kota saya byar-nya, geser dikit keluar kota di SumBar ini sudah pet lagi.

Didesa Bonjo, sekitar 10 kilometer keluar Bukittinggi, kami keluar jalan raya,
belok kiri memasuki jalan kecil untuk mampir di Kerajinan Sulaman/Bordiran
H.Rosma. Dirumah yang cukup besar itu kami melihat ada sekitar 60-an anak
gadis sedang asyik bekerja membuat sulaman, mereka anak yatim yang ditam-
pung H.Rosma dari berbagai daerah, mereka diberikan ketrampilan membuat
sulaman itu.
H.Rosma yang sudah berusia sekitar 65 tahun menemui langsung tamu di toko,
tapi tetap tidak memberikan diskon karena dijual fixed price.
Tapi memang harga-nya pantas/sesuai dengan kwalitas sulamannya yang halus.

Perhentian berikutnya adalah ibukota Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu kota
Payakumbuh, sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota Gelamai (dodol).
Sewaktu teman teman memasuki sebuah Pasar yang berada di pusat kota untuk
membeli gelamai, saya lihat ditengah persimpangan jalan juga ada sebuah "jam-
gadang" yang ukurannya tentu tidak sebesar Jam Gadang yang asli.

Tidak jauh meninggalkan Payakumbuh, sudah memasuki kawasan Lembah
Harau - pebukitan yang berdinding curam, yang dilindungi sebagai cagar alam.
Jadi sebenarnya sih bukan Lembah karena kami tidak menuruni bukit, kami
hanya berjalan diantara pebukitan yang dindingnya hampir tegak lurus itu.
Disatu tempat kami berhenti, dimana ada air terjun yang persis dipinggir jalan,
sayang sekali saat itu hujan gerimis sehingga menyulitkan membuat foto.

Air terjun setinggi 60 meter itu, awalnya muncul dengan lebar sekitar 1 meter
tapi sesampainya dibawah bisa sampai selebar 10 meter, dikarenakan airnya
tidak "ngegerojok" terjun bebas langsung ke dasar tapi seperti setengah
mengalir didinding tebingnya.
Dan kebetulan sekali saat itu yang baru beberapa hari mulai hujan, debit airnya
tidak besar , maka air yang mengalir sepanjang dinding memercik menjadi
seperti kabut - indah sekali.

Kami menikmati pemandangan sambil berteduh di warung kopi yang ada
diseberang jalan, menurut pemilik warung - kalau air terjun sedang besar2nya
maka mereka engga bisa berjualan karena percikan air terjun begitu hebat
sampai menyebrangi jalan dan membasahi warung warung tersebut.

Perjalanan dilanjutkan menuju Istana Pagarruyung, untuk itu kami kembali
mengarah ke dalam kota Payakumbuh, setelah itu barulah mengarah keselatan
menuju kota Batusangkar.
Istana Pagarruyung terletak dipinggiran kota Batusangkar, berbeda dengan
banyak rumah bagonjong yang sering terlihat sepanjang jalan maka istana ini
jauh lebih besar.
Dan tidak disangka kalau berlantai tiga, lantai pertama dari rumah kayu itu
merupakan ruangan besar empat segi panjang, pada dinding belakangnya
dibuat sekat-sekat untuk dijadikan kamar-kamar.

Pengunjung harus membuka alas kaki agar tidak merusak lantai papan itu,
dan bisa menyewa pakaian adat untuk berfoto diberbagai sudut dalam istana.
Kami juga diperbolehkan naik ke lantai dua sampai tiga, disana hanya ada
beberapa barang pameran, tapi dari jendela atas itu bisa melihat pemandangan
keberbagai arah - seperti biasa kita melihat pemandangan bukit-bukit yang
mengapit wilayah itu.

Untuk menuju Danau Maninjau, yang berjarak sekitar 38 kilometer -
perjalanan masih melalui jalan yang mulus, cuma kali ini jalan tidak lagi
selebar/seramai jalan disekitar Payakumbuh.
Perjalanan naik turun berliku melingkari Gunung Singgalang, dan sampai
kesatu tempat yang disebut Ambun Pagi, yang merupakan awal dari
Kelok 44 yang terkenal itu.
Dari Ambun Pagi yang mempunyai ketinggian 1300 meter itu kami akan
"terjun" melalui 44 buah kelokan ke pinggir danau Maninjau yang berada
diketinggian 500 meter .

Semua penumpang hilang kantuknya dan di kelokan didepan terlihat papan
dengan tulisan 44 yang berarti inilah kelokan yang pertama, dan memang
disetiap kelokan berikutnya ada papan-papan petunjuk bertuliskan angka
sesuai urutan kelokan itu.

Pak sopir mulailah berkonsentrasi menuruni gunung dan terlihat didepan
danau yang rupanya seperti kaldera terisi air - indah sekali.
Jalan menurun itu saya pikir tidak terlalu berbahaya , cuma memang semua
tikungannya asyik sekali - yaitu tikungan berbentuk peniti/hair pin .
Memasuki kelokan yang tajam itu ibaratnya kalau sedang latihan baris
berbaris melaksanakan aba-aba balik kanan.

Tikungan demi tikungan dilalap pak sopir dengan penuh konsentrasi,
dia sibuk sekali memutar-mutarkan lingkaran kemudi dengan sigapnya.
Bung Zam (lokal guide kami) memecah ketegangan kami dengan bilang ;
Para sopir yang biasa lewat sini, tidak perlu lagi mencukur bulu ketiak-nya !
(sudah abis kegesek sewaktu memutar-mutarkan stir itu).

Dibeberapa tempat kami berhenti untuk memberi makan buah kepada
monyet-monyet yang banyak berkeliaran, dan berfoto disatu kelokan yang
mempunyai view sangat indah ke sebuah rumah bagonjong berlatar belakang
danau.
Rumah itu dahulu sebuah restoran, yang sekarang sudah tutup karena sepi
pengunjung.
Di kelokan nomer 10 mulai terlihat jauh dibawah atap rumah rumah dari desa
Maninjau yang berada di tepi danau.

Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain yang dengan sabar saling
mengalah di kelokan memberikan prioritas bagi kendaraan yang naik.
Saya terkejut juga karena berpapasan dengan sebuah truk yang mengangkut
sebuah mesin giling ! , lho kok bisa kuat naik ?
Rupanya mesin giling itu bobotnya bisa diatur, kalau mau difungsikan roda
besinya yang rupanya berongga itu diisikan air - kalau mau diangkut ketempat
lain, airnya dibuang dulu sehingga ringan.

Danau Maninjau berukuran 8 kali 16 kilometer, sekeliling danau ada jalan
aspal, sehingga turis dapat bersepeda mengelilingi danau yang panjang
kelilingnya 70 km.
Kami berhenti untuk makan siang di Hotel Pasir Panjang Permai, cukup besar
dan di restoran yang dibangun persis dipinggir air danau itu, dipasang foto-foto
orang terkenal yang pernah kesana seperti :
Moerdiono, Hasan Basri, Yogi S Memet, Rae Sita.

Sayang sekali hotel itu kabarnya juga sekarang sepi pengunjung, saat kami
makan siang itu juga hanya kami saja yang datang, tapi dengan demikian kami
bisa mendapatkan meja yang sangat bagus - persis di pinggir air dengan view
ke danau yang berlatar belakang pebukitan diseberang danau.

Kami sangat menikmati pemandangan disana, air danau berwarna hijau itu
jernih dan yang penting masakan yang dihidangkan , walau menunya biasa biasa
saja seperti telor tahu, sate ayam tapi enak sekali.
Yang spesifik adalah Rinuak : perkedel teri dari danau Maninjau itu yang gurih
sekali , sampai kami minta tambah porsinya.




Sate Mak Syukur - PadangPanjang.




Sate Mak Syukur - PadangPanjang.


Dalam perjalanan dari kota Solok menuju Bukittinggi, saya ingatkan
bung Zam - tour leader kami agar nanti mampir di Sate Mak Syukur -
yang di-wanti2 oleh seorang rekan Jalansutra agar jangan sampai
terlewat makan sate yang kesohor itu.

Selepas Danau Singkarak dan mendekati kota Padang Panjang, saya
melihat deretan pedagang duren, dan teringat pesan teman untuk juga
jangan melewatkan mencoba duren disana.
Maka kami berhenti dan berniat asal coba saja karena tidak lama lagi
kami akan sampai di Padang Panjang untuk menikmati sate Padang
Mak Syukur itu.
Eh durennya ternyata enak sekali - kami sampai menghabiskan 3 buah
duren yang harga sebutirnya 10.000,- itu,
lupa deh bahwa sebentar lagi akan makan sate.
Cara pedagang duren menunjukkan kwalitas durennya cukup unik, yaitu
bukan membuka sedikit kulitnya tapi dengan menusukkan lidi dan mencium
bau isi buah duren yang menempel pada lidi itu.

Benar saja belasan menit kemudian sudah memasuki kota Padang Panjang
dan dipertigaan yang kekanan arah Bukittinggi - kekiri ke kota Padang,
kami belok kekiri dan tak jauh dari situ sudah sampai di Mak Syukur.
Restoran Mak Syukur berlantai dua, dilantai bawah bisa menerima sampai
100 orang, kebetulan saat itu masih ada kursi kosong dilantai bawah.

Saya sempat melihat dapurnya yang secara atraktif berada dibagian depan,
satenya dipanggang memakai arang dari batok kelapa, dan kuah kuningnya
juga dipanaskan diatas bara api itu dalam panci besar.

Kuah kuning disajikan dalam piring beralaskan daun pisang (boleh minta
pakai ketupat didalamnya), dan satenya dalam tusukan lidi panjang.

Wah, luar biasa - satenya empuk sekali enak dicolek ke kuah kuning sedap ,
setiap orang rata2 habis belasan tusuk, malah seorang teman ada yang habis
sampai 18 tusuk ( dengan catatan ada duren mengganjal di perut nih).

Karena "merasa terganggu" oleh duren itu , maka esok sore kami balik lagi !

Dan esoknya lagi "tidak sengaja" lewat dekat Padang Panjang sehingga
"terpaksa" mampir lagi !!

Belakangan sepulang dari perjalanan ini, istri saya ditertawakan temannya,
karena cuma makan sekian belas tusuk saja -
suaminya kalau makan sate Mak Syukur itu sampai 50 tusuk !! .