Monday, May 2, 2005

Cerita perjalanan Silk Road, part 3 : Turfan.


 


 


Turfan :


Didalam bus, tour leader setempat yang menjemput memberitahukan
bahwa perjalanan kekota sekitar satu jam.
Selain itu dia memberitahukan suatu hal yang membuat kami jadi bengong :
bahwa walau waktu di Turfan sama dengan waktu Beijing tapi aktifitas
penduduk di Turfan ini mundur 2 jam !!.
(jarak Beijing - Turfan itu sama dengan jarak HongKong - Kathmandu,
atau Jakarta - Ambon).
Jadi misalnya jam tangan kami menunjukkan jam 8 (kami masih memakai
waktu Beijing),  di Turfan ini pun sama juga jam 8,
tapi bagi jam tubuh mereka saat itu baru jam 6.


Maka walau nanti kami akan tiba di hotel pada jam 7.30 ,
kami tidak bisa langsung mendapat breakfast karena bagi orang2
di Turfan sini "jam tubuh" mereka baru jam 5.30.
Jadi disini restoran baru akan buka pada "jam tubuh" 6.00 pagi
( = jam 8 pagi di erloji kami).
Tentu terdengar waduh lagi diantara peserta, karena bukan soal
menunggu setengah jam itu , tapi karena nanti makan siang yang
biasanya jam 2 siang beneran , menjadi makan siang waktu Turfan
yang jam 4 sore beneran kan perut bisa  masuk angin !.


Sewaktu bus menuju hotel itu, sebelum masuk kota Turfan,
bus sudah berbelok memasuki jalan kecil yang sekelilingnya aneh
sekali buat wilayah gurun karena hijau sekali banyak pepohonan.
Ini jalan menuju hotel  kata si guide, lihat nanti hotel kita ini unik
katanya karena mempunyai suasana pedesaan.
Hati jadi was2 juga karena koq hotelnya jauh sekali dari jalan raya
dan berjalan sepanjang sungai kecil yang deras.
Si guide mungkin merasa bahwa kami khawatir maka dia bilang
jangan khawatir hotelnya bagus, ada kolam renang dan dijamin
aman.
Setelah sekitar dua kilometer memasuki jalan desa itu terlihat hotel
berlantai empat , yang memang ada kolam renangnya tapi airnya
berwarna hijau berlumut !!


Lift memang ada, tapi tidak berhenti di lobby-nya, kami harus naik
tangga dulu satu lantai barulah menemui pintu lift.
Lobby hotel dan restorannya juga anehnya engga ada toilet-nya.
Kamar hotel pakai karpet yang mungkin engga pernah dibersihkan
sehingga kaki saya kena tertusuk potongan kayu kecil yang nyelip
di karpet..
Pesawat tilpon memang ada tapi diletakkan tidak disamping bed
seperti lazimnya -  malah terletak jauh disamping TV.
AC-nya memang AC split, tapi  remote control-nya dicari-cari
engga ada.


Yang paling antik adalah morning call-nya, bukan bunyi pada
pesawat tilpon seperti biasa, tapi suara gedoran di pintu kamar
dibarengi teriakan dalam bahasa Cina entah bilang apa.


Kota Turfan ini terletak di propinsi Xinjiang, berada ditengah gurun
Gobi, udaranya panas sekali sekitar 42 derajat.
Terletak jauh dari pegunungan tapi aneh sekali di kota ini terlihat
banyak sekali sungai kecil yang air-nya jernih dan mengalir deras sekali.
Rupanya ini adalah suatu keajaiban lagi dari China selain Great Wall !!
Aliran air yang begitu jernih dan deras itu adalah hasil karya penduduk
jaman kuno yang menggali terowongan sampai ke sumber air di
pegunungan yang kabarnya berjarak ratusan kilometer.


Mereka menggali terowongan air, karena percuma saja kalau dibuat
dalam bentuk kanal2 dimana airnya tidak akan sampai ke kota Turfan
(karena air akan habis menguap dijalan kena panasnya udara gurun).


Air yang dialirkan melalui terowongan itu, sesampainya dikota Turfan
barulah dialirkan ke berbagai kanal yang membuat wilayah ini sangat
hijau dengan perkebunan anggurnya.
Memang aneh sekali ditengah gurun ada aliran air yang begitu banyak
dan deras sekali.
Kami diajak melihat salah satu tempat yang disebut Kan Erl Ching
(sumur Kan Erl)  yang merupakan tempat dimana kita bisa melihat
sebagian dari terowongan air yang menakjubkan itu.


Terowongan air itu dibuat agak jauh dari permukaan tanah, lebarnya
sekitar 1,5 meter dan tingginya tidak lebih dari tinggi manusia.
Kami boleh menuruni tangga masuk kesatu tempat dimana kita bisa
melihat dari dekat terowongan gelap berisi air jernih yang mengalir
deras.



Kami juga diajak melihat Flaming Mountain yaitu satu gunung yang
sangat unik karena pada siang hari  puncaknya merah membara seperti
terbakar karena suhu disitu bisa mencapai 70 derajat Celcius.


Selain itu melihat perkampungan kuno yang berupa rumah2 tanah liat
dan gua2 yang sudah terlihat sudah banyak yang hancur saking tuanya.
Tempat yang disebut Jiaohe Ancient City ini dahulu adalah markas
tentara perang di jaman Dinasti Han, sekaligus pusat politik Turfan
masa dulu.
Tempat ini juga panas sekali, sulit membayangkan kalau dijaman
dahulu ada orang yang bisa tinggal disana.


Sayang sekali kami tidak berkesempatan mengunjungi satu lokasi
lain yang letaknya 155 meter dibawah permukaan laut, disana juga
kabarnya panasnya luar biasa.


Sebagian besar penduduk Turfan dari suku Uighur, beragama Islam,
wajahnya mirip orang Turki/Iran dan penghasilannya dari berkebun
anggur yang terlihat banyak disana.
Kita boleh memasuki kebun anggur yang dibuatkan jalan setapak
yang tampak rapih beratapkan buah anggur itu.
Tapi kita tidak boleh memetiknya (dendanya 50 yuan),
tempat ini disebut Grape Corridor.
Didalam kebun ada tempat membeli anggur itu dengan harga 5 yuan
per kilogramnya.


Shukung Pagoda :
satu mesjid yang bagian dalamnya sederhana sekali, tapi pagodanya
dibuat artistik sekali.


Udara memang panas sekali,dan kabarnya curah hujan hanya
16 ml/tahun,  dan saya merasa aneh karena walaupun banyak pohon
anggur  tidak terlihat seekorpun burung;
sewaktu ditanyakan kepada lokal guide diapun mengiyakan hal ini.


cerita berikutnya (terakhir) : Urumqi


 


 

3 comments:

  1. duh... ngiri berattt deh sama pak sindhi... silkroad itu salah satu impian saya ... hiks hiks...

    ReplyDelete
  2. Huahahahah Dok. Kayaknya cerita kali ini isinya 'waduh' melulu. Seru! Ditunggul sambungannya.

    ReplyDelete

  3. Ven,

    memang perjalanan ke Silk Road ini rada2 seru,
    tur ini merupakan lanjutan dari Tibet, jadi ke Tibet
    dulu lalu ke Xian, dan baru menelusuri Silk Road.
    jadi jalannya bagian barat mainland China, cuma
    kalau Tibet di barat daya, maka Silk Road kira2
    daerah barat laut gitu.

    ReplyDelete