Thursday, January 26, 2012

Diam.


Di suatu padepokan di Tiongkok pernah hidup seorang Guru
yang sangat dihormati karena tegas & jujur.

Suatu hari, dua murid menghadap Guru.
Mereka bertengkar hebat & nyaris beradu fisik.
keduanya berdebat tentang hitungan 3x7.

Murid pandai mengatakan hasilnya 21,

Murid bodoh bersikukuh mengatakan hasilnya 27.

Murid bodoh menantang murid pandai untuk meminta Guru
sebagai Jurinya untuk mengetahui siapa yg benar di antara mereka,
sambil si bodoh mengatakan :
"Jika saya yg benar 3 x 7 = 27 maka engkau harus mau di cambuk
10 kali oleh Guru , tetapi kamu yg benar ( 3 x 7 = 21 ) maka saya
bersedia untuk memenggal kepala saya sendiri ha ha ha ....."
demikian si bodoh menantang dgn sangat yakin dgn pendapatnya .

"Katakan Guru mana yg benar ?"
tanya murid bodoh

Ternyata Guru memvonis cambuk 10x murid yg pandai (yang menjawab 21).

Si murid pandai protes .

Sang GURU menjawab,

"Hukuman ini Bukan untuk hasil hitunganmu, tapi untuk KETIDAK ARIFAN-mu
yang mau-maunya berdebat dgn orang bodoh yang tidak tau kalo 3x7 adalah 21!!"

Guru melanjutkan : lebih baik melihatmu dicambuk dan menjadi ARIF daripada
harus melihat 1 nyawa terbuang sia sia !

Pesan Moral,

Jika kita sibuk memperdebatkan sesuatu yg tak berguna,

berarti kita juga sama salahnya atau bahkan lebih salah daripada orang yg memulai perdebatan,

Sebab dengan sadar kita membuang waktu & energi untuk hal yg tidak perlu.

Bukankah kita sering mengalaminya?

Bisa terjadi dengan pasangan hidup, tetangga, kolega.

Berdebat atau Bertengkar untuk hal yang tidak ada gunanya,

hanya akan menguras energi percuma.

Ada saatnya untuk kita diam untuk menghindari perdebatan atau pertengkaran yg sia-sia.

Diam bukan berarti kalah, bukan?

Memang bukan hal yg mudah,

tapi janganlah sekali-kali berdebat dgn orang bodoh yg tidak menguasai permasalahan.

Friday, January 13, 2012

Ngiluuu !



Ada nenek berkaca mata tebal naik bus.  Ongkos bus 500 perak bagi lansia.

Tak lama datang kondektur: "Ongkosnya nek..."

Si nenek buka resleting tasnya yang berada disebelah kirinya dan
mencari-cari koin kuning 500 perak dalam tasnya.
Tas si nenek diletakkan di antara si nenek dan seorang mahasiswa.

"Belom ketemu, nanti deh" ujarnya.

Stlh bbrp saat ketika kondektur lewat lagi, si kondektur nagih lagi,
si nenek membuka resleting, mencari2 koin, belom ketemu dan bilang
"nanti ya, sabar"

Beberapa kali berulang2, sampai akhirnya mahasiswa yang tadinya
duduk diam disebelahnya akhirnya bicara:
"Daripada susah2, saya bayarin aja deh nek"

Lalu mahasiswa itu membayari ongkos si nenek ke kondektur.

Si kondektur tersenyum bangga & bilang "baik kali kau anak muda..."

Demikian juga si nenek dgn terharu berkata:
" duh nak, baik sekali kamu nak"

Mahasiswa itu menjawab:
"nggak apa2 nek, daripada gara-gara 500 perak,
dari tadi resleting celana saya dibuka tutup, di-aduk2,
mendingan saya bayarin aja deh... ngiluuu !.


Kiriman pak Herman BSD.

Wednesday, January 11, 2012

"GUBRAAAGGKKKK...!!!!"



Hiji poe,si nini ngadenge sora tarik pisan..
"GUBRAAAGGKKKK...!!!!"

Bakat ku reuwas si nini nanya ka si aki..

Nini : "aki, eta naon anu murag??"
Aki :  "kopeah"

Nini : "naha kopeah murag sorana meni tarik kitu!??"
Aki : "pan muragna jeung aing!!



Kiriman : Ade Yulida

Thursday, January 5, 2012

Kebaya Fashion Show di Museum Benteng Heritage.




flashpackerindonesia : Menulis Catatan Perjalanan

deedee

<deedee_caniago@yahoo.com>
Fri, Jan 6, 2012 at 12:19 PM
To: "flashpackerindonesia@yahoogroups.com" <flashpackerindonesia@yahoogroups.com>
Cc: "smulya@gmail.com" <smulya@gmail.com>
Flashpackers,

dibawah ini ada tulisan kang Bondet yang sangat bagus, patut disimak mengenai dunia tulis menulis

makasih Om Sindhi yang udah ngenalin aku sama Kang Bondet

enjoooyyy :-)

salam,
Deedee Caniago
*they don't care how much you know until they know how much you care*



Menulis Catatan Perjalanan Versiku
Sigit Susanto*
Pengantar:

Kuslan Budiman, orang lekra yang kini masih bermukim di desa kecil di Belanda pernah suatu kali mengirim email kepadaku, kira-kira berbunyi:
“Nyoto dulu pernah menganjurkan kawan-kawan agar menulis dalam bentuk REPORTASE LITERER, namun belum ada yang melakukan.”

Sebelum aku dapat email dari Kuslan Budiman di atas, tahun 2001 aku sudah mulai menulis bentuk catatan perjalanan saat bepergian ke Kuba. Awalnya tulisan itu kumaksudkan untuk dikirim ke kawan-kawan dekat dan milis-milis yang kuikuti. Tidak bertendensi dikirim ke media dimuat atau dibukukan.

Seperti biasa tulisan menuai komentar dari pembaca. Mungkin ini termasuk bentuk penulisan yang baru, sehingga realitas yang kupaparkan, sering dianggap negatif, naif oleh pembaca. Dua pembaca dan sekaligus kawan baikku, ketika kukirimi tulisan via email dulu itu, berseloroh:
“Si Anto saja ke Madagaskar, tidak bilang-bilang.”
Kawan yang lain berkomentar, “Kamu suka pamer. Istri lagi, istri lagi ditonjolkan.”
Aku jawab kepada mereka dengan alasan logikaku. Pelan-pelan aku ingin mencari tahu lewat referensi buku. Baru tahu ternyata sejak abad 18, Goethe sudah menulis bentuk catatan perjalanan ke Italia dan Swiss. Tolstoi juga bepergian ke Jerman, Mark Twain juga bepergian keliling Eropa, Flaubert ke Mesir, Simone de Beauvoir dan Camus ke Amerika, Thomas Mann ke Venesia, Hermann Hesse ke India sampai Palembang, terakhir Naipaul ke Asia, Afrika, dan Latin Amerika serta ke Indonesia. Mereka menulis dalam bentuk catatan perjalanan atau novel.
Mengetahui para penulis dulu juga menulis catatan perjalanan, kenapa kita dianggap pamer ketika menulis dalam bentuk yang sama?

Versiku:
Sudah menjadi kelayakan, setiap penulis punya styling, corak, versi sendiri. Jika seseorang mencoba mengimitasi penulis terdahulu, mungkin hanya sebatas di permukaan. Tapi tetap saja corak tulisan asli akan muncul kembali.
Ketika aku mulai menulis catatan perjalanan, 10 tahun silam, aku tak paham apa itu “Reportase Literer?” Yang kutahu beberapa hal sepele.

1. Cara menulis seperti ngobrol dengan tetangga:
Menyadari ini bukan menulis kisah fiksi, tapi riel, maka ketika aku menulis sambil membayangkan ketika aku nongkrong di tembok depan rumah sambil ngobrol dengan tetangga di desa.

A. Tema hangat:
Seperti dalang, penulis tahu apa yang akan diceritakan dari tema ke tema yang lain. Sebab itu, tema yang membuat para tetangga antusias, gembira, sedih. Seharusnya yang temanya juga mudah dipahami oleh mereka. Syukur tema itu menarik sehingga bisa membangkitkan emosional mereka untuk terus mengajak bicara. Tema yang memikat akan berlanjut dengan tongkrongan berikutnya.
Jika sang pejalan suka masakan, barangkali porsi cerita tentang dunia kuliner akan banyak. Jika sang pejalan suka arsitektur, maka porsi tulisan arsitektur akan gendut. Jika sang pejalan suka nilai-nilai humaniora, politik dan sastra, maka sastra humanis dan politik akan gemuk pula. Tergantung interes sang pejalan.

B. Rendah hati:
Dalan ngobrol dengan tetangga atau kawan, pantang tinggi hati atau sombong atau menggurui. Lebih baik rendah hati. Dari sana semakin luas kesempatan untuk menjejali sesuatu dari benak dan bercerita yang kita sukai seluas-luasnya. Apalagi jika catatan perjalanan yang mengusung cerita dari luar negeri. Kesan luar negeri saja sudah wah..., boro-boro bisa keluar negeri, warna paspor hijau dengan lambang burung garuda saja banyak orang kita yang belum pernah lihat. Sebab itu, kalau penuturan dalam tulisan bergaya tinggi-tinggi, maka akan banyak yang tidak bisa mengikuti dan akan menuai kesan sok tahu. Sekali lagi, sebuah tema yang memikat tanpa dipaparkan dengan cara yang ramah, akan mencoreng keunikan tema.

C. Jujur
Ini kunci penting. Sekali lagi kita tidak menulis fiksi. Kejujuran mutlak diperlukan. Jangan memanipulasi cerita atau mengada-ada. Kembali ke teknik nongkrong dengan tetangga, jika ada cerita yang tidak benar, pasti akan kena teguran, protes. Terburuk, tongkrongan akan berkurang dan ujungnya bubar.

D. Emosional
Kalau dalam cerita fiksi kita kenal daya suspensi, agar pembaca terus hanyut dalam kisah, maka pada catatan perjalanan, kupikir sangat dibutuhkan daya “Emosi.” Bagaimana kita melihat suasana, peristiwa baru dan asing, ditakar sebagai orang Indonesia. Khususnya saat menulis aku sering membayangkan diriku seperti masih di desa, Jawa sana yang belum pernah ke mana-mana. Emosionalku akan meloncat-loncat, ini mempengaruhi napas tulisan. Jurang budaya dan kekaguman akan berdampak dalam tulisan. Orang-orang yang kagetan dan heranan (gumunan: Jawa), sangat bagus untuk menghadirkan emosi spontan. Ada sedih, ada humor, ada konyol.
Dari sini penulis mulai sadar, untuk siapa sebenarnya tulisan itu nanti? Untuk kalangan pembaca umum, intelektual, petani? Di mata kaum intelektual atau orang yang banyak pengalaman bepergian, mungkin emosional yang dekat dengan orang biasa, petani, buruh akan dianggap naif. Tapi itu risiko, karena tingkat pengetahuan dan pengalaman pembaca berbeda-beda. Sebaiknya abai-abai saja, entah predikat apa akan disandangkan kepada penulis, naif, narsis, apa lagi?

E. Ritme
Menurutku dalam menulis ada tiga ritme: Ritme Longgar, Ritme Rapat dan paduan antara keduanya.
Ritme Longgar
Kisah perjalanan bisa bermacam-macam, tapi juga teknik menulis bisa mempengaruhi hasil tulisan. Ada penulis yang suka cerita yang penting-penting saja. Penulis jenis ini, sangat abai dengan waktu. Ia bergerak dari objek ke objek yang lain. Loncatannya cepat. Ritme yang dipakai sangat longgar. Efek yang didapat, pembaca akan cepat banyak tahu, cerita akan lekas selesai, tapi ada banyak lubang menganga tak tertuliskan.
Ritme Rapat:
Kalau aku lebih memilih memakai “Ritme Rapat.” Tulisan bergerak dari hitungan menit ke menit. Tentu dengan memakai pertimbangan rasa emosi sesuka hati sendiri. Jika bermenit-menit tak ada yang perlu aku tulis, ya aku lompati. Namun hampir semua suasana dan peristiwa yang sangat menonjol aku rekam dalam tulisan. Efek yang akan timbul, pembaca akan merasakan “Seolah-olah ia sedang berada dalam perjalanan itu sendiri.” Coba dibandingkan dengan “Ritme Longgar,” pembaca ada di luar perjalanan, tidak ikut terlibat bepergian.
Belakangan Edwin Muir, penerjemah karya-karya Kafka yang pertama kali dalam bahasa Inggris bilang, “Kafka menulis karya seperti menulis catatan perjalanan. Ia menulis dengan ritme sangat rapat dalam hitungan menit ke menit.” Apa benar, Kafka menulis demikian? Kita simak pada noveletnya Metamorfosis, Gregor akan berangkat ke stasiun kereta api, dengan tertatih-tatih membuka pintu kamar, dalam hitungan menit ke menit.
Ritme Paduan:
Ini paduan antara memakai Ritme Longgar dan Ritme Rapat. Tentu saja pelaksanaannya tergantung kepekaan diri sendiri. Kapan Ritme Longgar akan dipakai dan kapan Ritme Rapat akan disisipkan.

F. Kronologi
Penting kupaparkan berdasar urutan perjalanan secara kronologis. Mirip sebuah itinerary dalam sebuah brosur perjalanan. Hanya saja lebih banyak narasi. Mulai dari waktu, kapan, di mana, ada peristiwa apa, siapa saja di perjalanan. Di sini bisa meminjam istilah 5W+ 1 H dari teori jurnalisme. Dari hitungan waktu ke hari ke minggu ke bulan. Tergantung kapan perjalanan itu berakhir dan kembali ke tempat semula.
Jika teknik menulis sudah dipaparkan, maka peralatan yang akan dibawa perlu disiapkan:
1. Buku Catatan:
Aku biasa memilih buku catatan yang tebal halamannya, tapi kecil kemasannya. Sehingga praktis bisa dimasukkan ke saku celana atau baju. Ini untuk menghindari, jika lupa membawa ransel atau tas.
Yang kutulis di buku catatan, biasanya secara garis besar apa saja yang kualami dalam perjalanan. Termasuk mencatat nama orang, jalan, kantor, toko, bus, kota, juga nama-nama asing yang berceceran di sepanjang jalan, kwitansi, merek produk atau objek.
Tak hanya yang kasat mata, tapi harus kasat lidah dan telinga. Bagaimana rasa semangkok sup jamur. Apa yang kita dengar dari bisikan orang lokal maupun sesama pejalan. Karena mencatat sambil mengamati perjalanan, maka mencatatnya harus dengan cepat dan kadang pakai berbagai bahasa yang saat itu bersarang di benak. Ya, kadang mencatat dalam bahasa Jerman, Inggris, Indonesia, tak jarang pakai bahasa Jawa.
2. Handbook dan novel
Bila bepergian ke sebuah kota lain atau negara lain, tradisi orang Swiss pinjam handbook di perpustakaan dulu. Nah, tradisi ini juga kuikuti. Karena interesku besar terhadap sastra, politik dan budaya maka aku berusaha meminjam novel yang berlatar tempat yang akan dikunjungi. Atau kita bisa membeli novel atau buku dengan tema terkait di objek yang kita datangi. Dari buku-buku tersebut aku coba selundupkan sosok para tokoh besar dan informasi di tempat masing-masing terutama sastrawannya. Dari sini barangkali mulai bisa menjawab “Emosional Intelektual” yang merujuk ke “Reportase Literer.” Pengalaman mengatakan, menulisnya cepat, namun mencari data dari referensi buku itu yang memakan waktu lama.
Menurutku, Reportase Literer, tak hanya menuliskan catatan perjalanan dalam bahasa sastrawi yang berbunga dan renyah, namun juga mampu memasukkan unsur-unsur intelektual yang bersumber dari referensi bacaan.
Pengalamanku menerbitkan buku dua jilid berupa catatan perjalanan: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Ternyata buku jilid 1 lebih laku ketimbang jilid 2. Dugaanku, napas emosional perjalanan lebih terasa kuat pada jilid 1. Tidak semua pembaca buku perjalanan suka sastra dan data-data yang rumit. Mengawinkan kesukaan jalan-jalan dan sastra, tidaklah mudah.
Dugaanku yang lain, faktor ketenaran objek yang ditulis ikut mempengaruhi. Pada jilid 1 meliputi kota-kota besar ternama di dunia, seperti Roma, Paris, Amsterdam, dan London. Pada jilid 2 tidak seperti itu.
Namun James Joyce punya obatnya. Dia bilang, “Bukan apa (WHAT) yang ditulis, tapi HOW menulis yang lebih penting. Sebab itu WHAT dan HOW ini seperti kakak beradik yang saling berantem. Selebihnya up to you all.
Akhir kata: Bon Voyage, Sugeng Tindak, Selamat Jalan, Selamat Menulis.
Sigit Susanto

Jembatan dan Lembah di Guizhou yang menakjubkan.




Menjadi bagian Yunnan-Guizhou plateau maka topografi propinsi Guizhou unik sekali,
ketinggiannya seribuan meter dari permukaan laut membuat cuaca disana nyaman.
Rata-rata suhunya 15-20 derajat Celcius, kabarnya tidak mungkin dalam tiga hari cuaca
tidak berubah, malahan biasa 70% malam hari terjadi hujan dengan paginya terang lagi.
Maka katanya di Guizhou-lah ditemukan cuaca terenak dengan pemandangan terindah.

Karena topografinya bergunung dengan lembah yang dalam, maka banyak jembatan
antar puncak/lereng gunung dibangun di Guizhou, dan banyak pula yang dibangun
sangat tinggi/sangat jauh dari permukaan tanah atau sungai dibawahnya.
Ternyata dari setidaknya 120 jembatan tinggi di China, 37 diantaranya ada di Guizhou.
http://highestbridges.com/wiki/index.php?title=Category:Bridges_in_China

Kalau mengacu ke http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_highest_bridges_in_the_world,
ternyata tujuh dari sepuluh pemegang rekor jembatan tertinggi didunia adanya di China,
dan sungguh luar biasa lima dari tujuh jembatan itu adanya di Guizhou.

Top rank dunia adalah Si Du River Bridge di propinsi Hubei dengan tinggi 496 meter -
(bayangkan jarak antara aspal jalan jembatan itu sampai permukaan sungai dibawah-
nya nyaris setengah kilometer).
http://highestbridges.com/wiki/index.php?title=Siduhe_River_Bridge

Walau Beipanjiang Bridge di Guizhou dengan tinggi 366 meter hanya ranking empat
didunia, tapi antara tahun 2003-2005 sempat menjadi The World's Highest Bridge.
Sewaktu tiba di awal jembatan sepanjang 388 meter ini, kami turun dari bus dan
berjalan kaki menyebranginya, saat ditengahnya sempat menengok kebawah dan
tampak sungai yang mengular jauh dibawah, konon kalau kita jatuhkan batu kesungai -
perlu waktu lebih dari 10 detik baru menyentuh air sungai yang berwarna hijau.
http://highestbridges.com/wiki/index.php?title=Beipanjiang_River_2003_Bridge

Ada gunung tentu ada lembahnya, yang spektakuler adalah Malinghe River Canyon,
yang berada dekat pertemuan border tiga propinsi :Yunnan, Guangxi dan Guizhou
(http://www.maps-of-china.net/province/guizhoum.htm), dekat sekali dengan kota
Xingyi, sekitar 334 kilometer barat daya Guiyang ibukota Guizhou.
Sungai Malinghe ini menggerus tanah gamping dan meninggalkan lembah sempit,
dalamnya antara 100-200 meter, lebar 50-150 meter dan panjang 70-an kilometer,
saking unik dan cantiknya sampai dijuluki : 'A Beautiful Scar of the Earth'.
Inilah "One of the most beautiful and scenic waterways in all of China", sepanjang
lembah terdapat seratusan air terjun yang tingginya sekitar seratusan meter, serta
endapan kapur sepanjang dinding lembah menyerupai jamur atau permadani yang
unik sekali, sepanjang sungai bisa rafting atau canoeing pula.

Sekitar jam 2 sore, kami tiba di gerbang masuk kawasan MalingHe, sempat bingung
karena Siao Wang/local guide bilang tidak usah pakai jaket tapi Michael/national
guide bilang pakai saja karena cuaca suka cepat berubah-ubah.
Ternyata yang bener SiaoWang karena walau udara sejuk, perjalanan melelahkan
naik turun tangga selama dua jam membuat kami semua akhirnya lepas jaket.

Kami mulai menapaki jalan terbuat dari tangga batu menurun kedasar lembah,
karena pepohonan rimbun maka tidak bisa melihat kedasar lembah.
Walau berjalan cukup jauh awalnya tidak terasa lelah karena cuaca enak sejuk,
akhirnya tibalah didasar lembah, terlihat sungai tidak terlalu lebar, airnya mengalir
pelan diantara bebatuan, disebrang sungai tampak tebing curam menjulang tinggi.
Dikejauhan tampak beberapa air terjun langsing kecil, jatuh dari ketinggian sekitar
100 meter yang tampak cantik sekali seperti garis putih berasap.
Dibeberapa tempat pada dinding tebing curam itu, terlihat seperti jamur yang ber-
tumpuk berdekatan, selintas mirip permadani pula, fenomena itu terbentuk akibat
endapan calcium carbonate yang terbawa air terjun menempel di bebatuan dinding
tebing yang sangat curam itu.

Berada didasar lembah sempit yang dalam sekali itu, tentu menimbulkan rasa aneh
sekaligus takjub karena sekeliling tampak bukti keperkasaan sungai MalingHe yang
dengan kejamnya membelah bumi sampai begitu dalam dan panjang.
Sekeliling begitu alami, satu2nya kehidupan modern adalah nun jauh diatas kepala
kami tampak sebuah jembatan lengkung dari beton, itulah Maling Gorge Arch Bridge -
tingginya "hanya" 120 meter sehingga hanya ranking 75 jembatan tertinggi di China
konon bentangannya juga "cuma" 122 meter.
http://highestbridges.com/wiki/index.php?title=Category:Bridges_in_China

Perjalanan berlanjut kini menelusuri sungai kearah hilir, tapi tidak lagi berjalan persis
ditepi sungai, tapi diatas jalan setapak yang dibuat dengan mengerok dinding tebing
pada ketinggian sekian meter diatas permukaan sungai.
Debit air sungai kelihatan kecil, tapi di you-tube pernah saya lihat aliran sungai
begitu deras menyeramkan, rupanya saat musim hujan debit airnya bisa tinggi -
dan kejam terbukti kami menemui sebuah jembatan batu yang sudah hancur dan
sudah digantikan dengan sebuah jembatan gantung.

Perjalanan menelusuri aliran sungai itu lumayan jauh, tapi karena kebetulan tidak
ada rombongan lain maka kami bisa santai menikmati pemandangan alam yang
unik sekali itu. Bisa berfoto dengan latar belakang aneka air terjun kecil yang tinggi-
tinggi, dinding tebing yang aneka bentuk, juga diatas jembatan gantungnya.

Mendadak didepan kami ada air terjun yang cukup besar menghalangi jalan, itulah
Yellow Dragon Falls. Awalnya bingung mau jalan kemana karena terhalang gitu,
tapi rupanya ada lorong gua didalam tebing dibelakang air terjun itu.
Maka kami terus berjalan mendekat ke tepi air terjun, mulai memasuki lorong gua
untuk menelusuri belakang air terjun, kemudian tembus/muncul disisi satunya lagi
dari air terjun yang bergemuruh itu. Seru banget walau serem juga mengingat itu
didalam lorong gua dengan hempasan air terjun besar diatas kepala .

Selepas air terjun nun jauh didepan tampak bangunan seperti kotak kaca panjang
tinggi berdiri menyender ke dinding tebing. Itulah lift kaca yang akan mengangkut
kami kembali keatas tebing, wah semua lega karena kebayang kalau harus naik
tangga lagi keatas tebing setinggi itu, semua sudah lelah sekali.

Sekitar jam 4 sore, berarti dua jam sudah menelusuri lembah spektakuler yang
dijuluki 'A Beautiful Scar of the Earth' itu, maka dengan lift kaca kami diantar naik
kembali ke atas tebing dimana bus kami sudah menunggu.