Monday, December 19, 2005

PengLay Pavilion - Kota Legenda Delapan Dewa.




PengLay Pavilion - kota Legenda Delapan Dewa :

Semula direncanakan perjalanan kami berikutnya "hanyalah"
tiga jam menyebrangi Yellow Sea dengan JetFoil.
Jadi kami akan nyebrang dari Dalian yang berada di ujung selatan
Liaodong Peninsula ke ujung utara Shandong Peninsula.
Kedua Peninsula ini dalam posisi yang unik - saling berhadapan
menusuk ketengah Yellow Sea.
Tapi karena banyak yang khawatir kena mabuk laut, maka diubah
menjadi memakai pesawat terbang saja menuju ke kota Qingdao.
Sayang sekali, karena saya belum pernah naik JetFoil sejauh itu
dan menyebrangi laut lepas pula.

Di Airport Dalian, kami harus menunggu lama karena pesawat
B737 Shandong Airline ternyata belum datang, sampai-sampai
ruang tunggu airport itu terlihat sepi sekali.
Rupanya tinggal penerbangan kami itu saja yang belum berangkat
di malam itu.
Jam 21.30 pesawat baru datang, tapi proses boarding cepat
sekali, belum lama duduk tahu-tahu pesawat sudah bergerak.

Menjelang tengah malam barulah kami memasuki DongFang
Hotel - QingDao, yang konci kamarnya unik sekali.(foto)
Bentuknya seukuran kartu kredit, dan ada logam bulat seukuran
kuku ibu jari tangan melekat disitu.
Di handle pintu ada pasangannya - bulatan seukuran yang sama.
Terbaca di kartu :
touch protruding part lightly to the hole,
after a "tick" turn the handle, then the door opened.

QingDao yang terletak di bagian selatan Shandong Peninsula,
juga berada ditepi Yellow Sea.
Kota ini di peta dalam arah barat timur terlihat sejajar dengan
Tokyo, dan Shanghai berada diselatannya.

Esok harinya tanggal 2 Nopember 2005, jam 9.15 kami sudah
meninggalkan hotel menuju kota PengLay yang berada diujung
utara Shandong Peninsula.
Perjalanan tiga jam melalui highway terasa monoton, tapi saat
mendekati PengLay kami semua hilang kantuknya melihat di
tepi jalan ada begitu banyak buah apel yang berwarna merah
kuning menggiurkan.
Rupanya daerah ini adalah daerah penghasil utama apel, dimana -
mana terlihat gundukan apel yang baru dipetik, dan para petani
tampak asyik bertransaksi dan mengepak apel kedalam kotak.

Makan siang di restoran juga dihidangkan apel yang renyah itu.
Tapi sayang sekali, lagi asyik2nya menikmati 12 macam masakan
yang disajikan secara bergelombang, tiba-tiba serombongan
turis HongKong muncul dan duduk menempati meja sebelah kami.
Tampaknya sih mereka sekeluarga - tapi berbicara dengan suara
begitu kerasnya, tak ubahnya sedang perang mulut, akibatnya
hancurlah selera makan kami semua.

Kota PengLay itu terkenal dengan legenda 8 Dewanya, konon
di jaman lampau para dewa itu suka terlihat berjalan menyebrang
di atas Laut Kuning dilokasi tersebut.
Memang laut disitu punya suatu keanehan yang sangat unik, kami
diajak menonton video dimana tampak masyarakat sedang ramai
memenuhi tepi pantai, untuk melihat suatu fatamorgana yang
muncul ditengah laut.
Tampak jelas ditengah laut lepas yang berkabut, muncul deretan
bangunan besar yang berwarna hitam.
Bentuknya macam2, ada yang berbentuk kotak seperti
silhou'ette gedung bertingkat, ada yang seperti bentuk kapal.
Padahal dalam jarak 600 kilometer ketengah laut itu tidak ada
bangunan apapun.
Fenomena aneh itu muncul pada saat-saat yang tidak tentu,
terakhir kali terlihat pada bulan Mei 2005.

Highlight kunjungan kami hari itu adalah memasuki :
PengLay Pavilion, yang dibangun sejak masa Dynasti Sung,
sekitar 1000 tahun yang lalu.
Kota kuno ini disebut juga Kota Air, karena kota yang
dikelilingi bentengan mirip Great Wall ini dibangun ditepi pantai
dan dibelah oleh sungai yang bermuara kelaut.

Setelah turun dari bus, kami berjalan menuju pintu bentengan
yang selain tampak anggun juga asri dengan taman bunga
disana sini.(foto)
Didalam benteng, tampak banyak gedung kuno yang masih
terawat baik, dan dari atas jembatan yang membelah kota
tampak dikejauhan tembok benteng mengular menuju kesebuah
bukit ditepi pantai yang diatasnya ada komplek kuil kuno.(foto)

Kami berjalan pelan-pelan menuju bukit itu sambil menikmati
suasana kota yang tampak sudah tua sekali itu.
Memasuki komplek kuil tua perjalanan mulai mendaki, dan
tampak sangat asri dan hijau karena disana sini ada pepohonan.
(foto)

Ternyata kami boleh masuk ke seluruh komplek bangunan
kuil kuno, dan pemandangan dari puncak komplek kearah
laut maupun kearah kota tua sungguh luar biasa cantiknya.
(foto)

Disatu sisi tampak tebing yang begitu curam, dan disisi lain
tampak pantai landai dengan pasir berwarna kuning. (foto)
Tampak benteng yang panjang melindungi kota dengan
bangunan besar kecil yang megah dan cantik, diselingi sungai
yang membelah kota
Warna hijau daun pepohonan tampak berpadu manis dengan
genteng rumah yang berwarna merah coklat.
Tidak puas-2nya kami berkeliling sekitar puncak komplek
kuil itu untuk mendapatkan lokasi pemandangan kearah
pantai - laut - kota kuno yang sungguh begitu cantik.

Akhirnya dengan berat hati kami menuruni benteng dan
setelah berfoto didepan patung Legenda Delapan Dewa,
bus membawa kami menuju kota Yantai untuk bermalam.



Friday, December 9, 2005

Toilet Umum di China dan Korea : Sama tapi Tak Serupa.


Teman2 lebih memilih buang air dibelakang bangunan ini


Sama tapi tak serupa :

Sama-sama gratis, itulah toilet umum yang saya masuki
di China dan Korea, juga sama-sama ketemunya dalam
perjalanan jauh berkendara antar kota.

Di antara kota Yantai - Qingdao China, bus kami berhenti
disebuah pompa bensin yang lumayan luas, dan terlihat
sebuah bangunan segi empat - itulah toilet umum yang
sebagian untuk pria dan sebagian untuk wanita.(foto)

Tentu saya masuk ke bagian pria, dan seperti biasa terlihat
deretan urinoir, dan juga deretan tempat BAB (buang air besar).
Sebagian besar teman perjalanan memilih keluar lagi dan
menuju belakang bangunan itu, engga tahan baunya katanya -
saya sih tenang-tenang saja, lha segitu mah belon apa2 koq.

Tempat BAB itu hanyalah berupa solokan yang dindingnya
hanya di-sekat2 setinggi semeter - jadi sambil jongkok bisa
main ciluk-ba dengan tetangga sebelah. (foto)
Dan perlu siapkan mental baja sebelum memakainya,
bukan soal baunya - tapi karena :
setiap kapling itu engga ada pintunya !!
(foto).

Di Korea, kalau melewati highway kita akan melihat tempat
perhentian yang besar dan lengkap, bukan saja ada pompa
bensin - restoran dan kedai makanan jajanan yang sangat
menggoda selera, juga ada satu bangunan besar yang
bagus dan bersih - ini toilet umum yang juga gratisan.(foto)
Begitu memasukinya mata kita terasa sejuk melihat taman
kecil yang asri, dan sama sekali tidak tercium bau -
lantainya juga begitu bersih mengkilap.
(foto)

Saking ingin memanjakan para pengunjung, disediakan
pula satu set closet dan wastafel ukuran mini !! -
rupanya khusus untuk anak balita. (foto).

Monday, December 5, 2005

Dalian - The Seaside Garden City




Setelah kemarin kami sempat "sesak nafas" karena diperkenalkan
dengan sisi kelabu masa lalu Dalian, maka hari ini giliran bernafas
lega karena melihat sisi gemerlap Dalian masa kini.

The Seaside Garden City :
Dalian berada diujung paling selatan dari Liaodong Peninsula
yang menusuk jauh ketengah laut dimana Yellow Sea dan
Bohai Sea bertemu.
Landscape yang cantik, iklim yang moderate, transportasi yang
lancar, serta sumber daya alam-nya yang kaya membuat
perekonomian Dalian berkembang pesat sekali.
Saat ini Dalian Harbor menjadi pelabuhan niaga international
terbesar di North China, kapal keluar masuk pelabuhan
menghubungkan Dalian dengan 160 negara/wilayah,
dengan annual handling capasity lebih dari 70 juta ton.

Selain merupakan kota industri, perdagangan dan keuangan
yang maju dan modern, Dalian juga merupakan daerah produsen
padi2an, sayur2an/buah2an, berbagai produk hasil laut seperti
ikan, udang, sea cucumber, abalone sampai aneka tanaman laut.
Setiap tahun banyak sekali digelar banyak international events and
activities, seperti Trade Fair atau The Dalian International Fashion
Festival.

Sebenarnya jarang sekali ada tour ke kota yang jauh ini, tapi saat
masih di Tangerang, teman yang tahu saya mau ke Dalian, bilang:
Wah Dalian kotanya bagus banget, bangunan2nya kayak di Eropa !.

Itulah yang ada dikepala saya saat bus membawa rombongan kami
berkeliling kota.
Perumahan tampak sangat banyak dan bervariasi, dari rumah model
biasa sampai apartment yang tampak banyak bertebaran disana sini.
Kebanyakan memang rumahnya bagus2, dan uniknya adalah di atap
genteng tampak jendela kecil, jadi mirip-mirip rumah di Belanda.
Di kota yang rasanya lebih luas dari Jakarta ini banyak sekali
bangunan pencakar langit, yang arsitekturnya kelihatan cantik2,
termasuk gedung pemancar TV nya.

Dalian terlihat cantik dengan begitu banyaknya taman dan tempat
wisata, salah satunya yang kami kunjungi yaitu :
Tiger Beach Amusement Park.
Mendekati lokasi Park itu, bus berjalan dilereng bukit sepanjang
pantai Yellow Sea, pemandangan dari ketinggian kearah laut
sangat indah.
Disana sini tampak hotel/restoran yang dibangun diatas tebing curam.
Dalam udara sejuk sekitar 10 derajat, kami berfoto didepan patung
macan yang besar sekali, dan juga kearah Tiger Beach Bay yang
dilatar belakangi gedung2 yang cantik berwarna warni.(foto)

Sekian lama diduduki Jepang dan Rusia, menyisakan pula banyak
rumah yang arsitekturnya sesuai dengan asal si penjajah.
Saat kami melewati kawasan bekas perumahan Jepang,
terlihat rumah2 model villa yang kelihatan kuno tapi masih bagus2.

Akhirnya menjelang senja kami mampir ke Russian Road -
saat berjalan kaki di jalan itu istri saya nyeletuk serasa berada
di St Petersburg saja katanya.
Memang sepanjang jalan yang tertutup untuk lalulintas kendaraan,
tampak berderet puluhan rumah kuno megah bertingkat khas Rusia.
Sungguh terasa aneh melihatnya - kami sedang berjalan disatu kota
di China, tapi tengok kiri kanan tampak gedung2 yang jelas bukan
gedung ber-arsitektur China.
Tapi deretan gedung itu sudah tidak lagi dihuni, banyak yang sudah
beralih fungsi menjadi toko2, dan didepan deretan gedung itu juga
berderet kios kaki lima yang menjajakan souvenir.

Setelah puas menikmati arsitektur gedung2 peninggalan Rusia dan
berbelanja aneka souvenir, kami menuju airport Dalian untuk
terbang malam ke selatan menuju kota Qingdao.

Tuesday, November 29, 2005

JalanJalan di China : Top Attractions.




Tentu kalau kita mau jalan-jalan ke China timbul pertanyaan ,
mau kemana ? - kan China itu luas sekali, banyak yang bilang
bahwa sekian kali balikpun masih belum "keputer" semua.

Belum lagi kalau memilih mau lihat apa disana, apakah :
Historical Relics seperti Great Wall, Mountains,
Rivers, Lakes, Waterfalls, Temples and Monasteries,
Natural Scenes, Mausoleums, Gardens Towers and Pagodas,
Museums, Ancient Cities and Towns, Grottoes and Caves.

Kebetulan saya saat iseng2 "nge-Google" , ketemu :
http://www.travelchinaguide.com/attraction
dan inilah Top Attraction yang dikemukakan disana :

Great Wall of China - Beijing.
Forbidden City - Beijing.
Terra Cotta Warriors - Xian
Zhouzhuang - SuZhou
West Lake - HangZhou
Mt. Huangshan
Li River - Guilin
Lijiang Old Town
Yunnan Stone Forest - Kunming.
Yangtze River
Silk Road
Mogao Caves - Dunhuang.
Potala Palace - Lhasa Tibet
Tashilhunpo Monastery
Shanxi Local Resident Houses
Yangshuo West Street

Memang "belum ke China" kalau belum sampai ke Beijing,
dua top attractions ada disana :
Great Wall - salah satu dari tujuh keajaiban dunia, dan
sekarang kita sambil berjalan kaki bisa mengagumi bagian
dalam Istana Terlarang yang begitu luas dan megah.

Di Xian yang juga bekas ibukota kuno China, kita bisa
melihat penemuan yang begitu spektakuler yaitu kuburan
dari tahun 246 BC yang berisi ribuan patung2 serdadu
dan kuda dalam ukuran aslinya.

Zhouzhuang dan West Lake, relatif berdekatan, keduanya
menawarkan keunikan Kota Air dan Danau yang dikatakan
terindah di China.

Mt. Huangshan, walaupun kaki udah loyo, tetap pengunjung
akan terus berjalan naik turun pegunungan yang begitu terjal.
Pemandangan indah begitu memukau, setiap puncak gunung
seakan berlomba menawarkan keindahan dan keunikannya,
tak terasa seharian kita berjalan disana.

Kalau menelusuri Li River kita disuguhi pemandangan yang
cantik dari puncak2 gunung yang memagari sungai itu,
maka cruise di Sungai YangTze kita bisa merasakan
dahsyatnya arus sungai raksasa ini, yang sekarang dicoba
ditaklukkan dengan membuat Dam raksasa.

Lijiang Old Town, kota tua yang masuk Unesco's World
Heritage karena kota berusia 800 tahun ini masih utuh seperti
awalnya, termasuk kebiasaan unik membersihkan jalanan
batunya dengan cara membendung secara berkala sungai
kecil yang melewatinya.

Stone Forest, tiada duanya - begitu banyaknya bukit2 batu
yang runcing2 memadati satu kawasan yang luas sekali.

Silk Road dan Mogao Grottoes, menawarkan perjalanan
napak tilas kembali ke abad pertengahan dimana dahulu para
pedagang memakai unta menyebrangi Gurun Gobi yang sangat
luas dan ganas.

Istana Potala Tibet, berada di Atap Dunia, sungguh eksotis,
bangunan berbentuk benteng diatas bukit, pengalaman bisa
melihat singgasana Dalai Lama didalam ruang audiensi yang
dijaga ketat sungguh sangat berkesan.

Untuk mengunjungi Tibet perlu upaya extra, karena kita harus
mempunyai pas khusus, dan juga persiapan fisik berada sekian
hari berada di ketinggian 3000 - 4000 meter diatas permukaan
laut.

Rekan Jalansutra - bu Ole, bukan cuma mengunjungi Istana
Potala, tapi juga sendirian saja ( ditemani local guide/sopir ) -
"berani mati" mengunjungi berbagai lokasi yang jauh dari Lhasa
antara lain Shigatse,dan tempat-tempat yang begitu terpencil
diketinggian diatas 4000-an meter yang tidak dihuni manusia -
tanpa kena mountain sickness lagi, hebat !!
Foto2nya dengan mengunjungi blog bu Ole di Multiply :
http://oleole.multiply.com/photos/album


Apakah ada yang pernah mengunjungi :
Shanxi Local Resident Houses, Tashilhunpo Monastery,
atau Yangshuo West Street ?






Friday, November 25, 2005

"Masuk Bui " di Dalian - Liaoning Province China




"Masuk Bui" di Dalian - Liaoning Province China :

Hotel Canton Mountain Villa, praktis diinapi hanya beberapa jam saja
karena jam 5.30 waktu setempat ( 4.30 WIB) sudah morning call,
dan jam 7.10 bus sudah berangkat menuju airport.
Proses check-in cepat sekali, dan jam 9.10 pesawat Airbus A300-600
yang besar ( konfigurasi seat nya 2 - 4 - 2 ) sudah take-off menuju
kota Dalian yang berjarak tiga jam terbang.

Terbang dari GuangZhou ke Dalian ini, berarti terbang dari selatan
mainland China mengarah ke timur laut, karena Dalian (dibaca Ta-lien)
terletak di ujung sebuah semenanjung yang membatasi Yellow Sea
dengan Bohai Sea.
Kalau dilihat di peta maka lokasi Dalian sejajar dengan Pyongyang/
Beijing, jadi berada jauh dibagian utara mainland China.
Border Korea Utara hanya 200 kilometer saja jauhnya dari kota ini.

Kota ini unik karena usianya "baru" 100-an tahun, tapi sudah kenyang
gonta ganti diduduki bangsa lain.
Berawal dari sebuah desa nelayan yang pada tahun 1899 diduduki Rusia
selama tujuh tahun, kemudian jatuh ke tangan Jepang selama 40 tahun.
Pada tahun 1945 giliran Jepang yang menyerah kepada Rusia, dan
baru pada tahun 1955 diserahkan Rusia kepada pemerintah China.

Kota pelabuhan yang letaknya strategis ini sangat diminati karena walau
dimusim dingin suhu bisa sampai minus 16 derajat C, tapi pelabuhan
tetap terbuka karena air laut tidak beku .
Ada banyak pelabuhan didaerah ini, yang dipakai untuk penyebrangan,
container, nelayan, sampai militer.
Daya tarik lainnya dari daerah ini adalah ginseng, kolesom, tanduk rusa,
mutiara - ternak mutiara disini terbesar di China, dan tentunya hasil laut.
Seafood disini sangat enak karena berasal dari laut dalam yang dingin.

Setiba di airport, kami ternyata kemudian tidak langsung menuju kota
Dalian, tapi menuju Lishun - sebuah kota pelabuhan.
Mula2 kami diajak kesebuah toko hasil laut yang gede banget,
kayaknya seisi laut dijual disana, mulai dari ikan, udang, mutiara,
sampai kuda laut, bintang laut, rumput laut segala -
yang sudah dikeringkan dan dipak rapih.

Pelabuhan Angkatan Laut Lishun itu suatu pelabuhan alam yang
aman sekali, karena berupa suatu teluk besar dengan hanya satu
pintu keluar masuk yang berupa selat yang sempit. (foto)

Menjelang sore kami diajak mengunjungi lokasi yang menunjukkan
bukti gigihnya perlawanan rakyat setempat terhadap pendudukan
pasukan asing dahulu, yaitu Penjara !!.
Sempat heran juga, koq urusan jalan-jalan sih masuk tempat beginian.
Kan serem masuk kedalam penjara tua walaupun kini sudah tidak
lagi dipergunakan.

Penjara itu awalnya didirikan Rusia pada tahun 1902, setelah
Jepang masuk maka pada tahun 1907 diperluas menjadi bertingkat
tiga, tampak jelas beda bangunan yang buatan Rusia dengan yang
buatan Jepang, karena menggunakan batu bata yang warnanya
berbeda.

Sebenarnya saat itu sudah jam 16 dan tak lama lagi penjara itu
akan tutup, tapi kami tetap saja masuk.

Kami mulai memasuki halaman dari komplek yang luas sekali,
saat itu sudah tidak ada orang lain, hanya rombongan kami yang
berenam belas orang.
Melalui sebuah pintu kemudian kami memasuki bangunan penjara
yang berlantai tiga itu.
Saat itu matahari sudah mulai meredup, tentu menambah rasa seram
kami yang berjalan sepanjang lorong penjara sambil melongoki
sel2 tahanan dikiri kanan lorong itu.
Dalam setiap sel yang dihuni 6 orang itu, terlihat ada dua buah
tong kayu - satu untuk makanan, satunya lagi untuk buang air/kotoran.
Seorang teman bilang, engga kebayang saat musim dingin berada
didalam sel itu.

Kami berkeliling naik turun sampai keseluruh tiga lantai dari bangunan
penjara yang luas terdiri dari tiga blok itu, suasana ruangan yang sepi
dan agak gelap jelas membuat perasaan jadi terbawa suram.

Diperlihatkan pula cara menghukum tahanan yang punya kesalahan,
yaitu mengurangi jatah nasi.
Caranya : kaleng takeran nasi diisikan semacam blok kayu sehingga
otomatis nasi yang diisikan kedalamnya berkurang.
Ada berbagai ukuran blok kayu itu, yang akan dipakai sesuai tingkat
hukuman yang mau diberikan.

Diperlihatkan pula tempat tahanan yang disiksa, lumayan sadis caranya.
Orang-nya itu ditidurkan terlungkup diatas balok bersilang, kaki dan
tangannya dipentang dan diikat, lalu punggungnya digebuki pakai
tongkat kayu.

Yang paling aduhai dalam membuat bulu roma berdiri adalah sel untuk
mengurung tahanan sampai mati pelan2,
Ada empat buah kamar tersebut yang ukurannya masing-masing hanya
2,45 m2, dan gelap gulita !!.
Ditembok hanya ada lubang bulat seukuran bola kasti, dulunya untuk
penjaga mengintip/memantau keadaan sitahanan.
Sekarang ada satu ruang isolasi itu yang dipasangi lampu sehingga
kami bisa mengintip kedalamnya, terlihat ruangan yang sempit sekali,
dilantainya ada got kecil (mungkin untuk buang air).
Ruang isolasi lainnya masih gelap sesuai aslinya, sehingga saat saya
mengintip kedalamnya langsung saja buku kuduk berdiri - gelap total !!.

Konon dulu penjara ini banyak dihuni oleh rakyat yang ditawan karena
melawan penjajahan Rusia/Jepang, banyak pula yang dihukum gantung.
Kami diajak memasuki sebuah rumah bertingkat dua, ternyata itu rumah
tempat menggantung tahanan.
Saat memasuki lantai dua rumaha terlihat ada tali gantungan sedangkan
persis dibawahnya terlihat lantai papan yang bisa dijeblakkan.(foto)
Setelah tali gantungan dipasang di leher, lalu papan tempat berdiri si
terhukum ditarik engselnya sehingga si terhukum jatuh kebawah.

Dilantai bawah rumah itu sudah disediakan keranjang rotan, tubuh orang
yang sudah mati digantung, diturunkan, lalu dilipat dua pada pinggangnya,
dan langsung dimasukkan kedalam keranjang, untuk kemudian dikubur
bersama keranjangnya itu.
Ada sekitar 700 orang bernasib seperti itu.
Dirumah itu semua peralatan gantungan masih ada, dan dipamerkan
pula satu keranjang rotan yang berisi kerangka orang.(foto)

Saking asyiknya motret2 ruangan itu, belakangan saya baru sadar kalau
teman2 lain sudah pada pergi meninggalkan tempat yang menggiriskan
hati itu. Tentu langsung saya segera ikut ngacir juga, apalagi sore itu
hanya rombongan kami yang berkunjung.(foto)
Saat kami melewati gerbang komplek penjara, langsung gerbang
ditutup dan penjaganya berkemas pulang.(foto)

Untuk mengembalikan semangat kami yang tentu sudah pada ciut
menyaksikan pemandangan yang menyeramkan itu, kami diajak
menikmati unggulan Dalian yaitu : SeaFood - yang serba fresh.
Malam itu dinner di First Yuan BBQ Restoran yang besar,
yang menyediakan begitu banyaknya aneka makanan sudah jadi
maupun beraneka sea-food segar.
Saking banyaknya pilihan kami sampai jadi bingung sendiri,
pilihan kerang2an/keong-nya saja sampai 11 macam yang
semua terlihat masih hidup.(foto)
Ternyata makan sepuasnya itu hanya dibandrol 60 ribu rupiah !!

Tuesday, November 22, 2005

Mencicipi Emperor Tea : Mei Jia Wu Tea Village - HangZhou




Mencicipi Emperor Tea : Tea Village - Mei Jia Wu, Hangzhou

Saat memasuki kota HangZhou, local guide memberikan penjelasan
bahwa kota kuno ini yang mempunyai banyak julukan, mulai dari :
Heaven on Earth ( konon karena saking indahnya kota ini, membuat
orang2 disana jadi pada males kerja katanya).
dan ternyata juga dijuluki : Capital of tea in China.
Hangzhou yang pernah menjadi salah satu dari tujuh ibukota kuno
China, memang terkenal dengan Teh Hijau-nya.
Lokasi perkebunan teh yang paling kesohor disana adalah
Mei Jia Wu Village, sebuah Tea Village yang hanya 20 menit
berkendara dari danau Xi-Hu yang sangat cantik melegenda.

Perjalanan ke Village itu melalui jalan kecil yang nge-pas dua mobil
saja berpapasan, tapi jalannya bagus sekali dengan pemandangan
kiri kanan didominasi gunung hutan dan tentunya juga pohon teh.
Udara sejuk dan bersih sekali, cocok untuk perkebunan teh, dan
konon penduduk Village dengan 500 KK ini rata-rata panjang umur.

Setiba di Village itu, bus kami kesulitan parkir karena banyak
sekali bus turis sudah parkir disana.
Sebelum memasuki bangunan bergaya China kuno yang besar,
kami diajak melihat cara tradisional mengeringkan daun teh.
Disuatu gubuk, ada seorang pria menghadap sebuah kuali besi
besar yang tampak panas sekali, didalam kuali tersebut tampak
daun teh yang sedang dikeringkan.
Tapi alamak !!, ternyata si pria itu mengaduk2 daun teh itu pakai
tangan telanjang !!
Padahal suhu kuali besi itu 120 derajat C.
Ternyata agar daun teh itu mengering dengan sempurna, maka
suhunya harus berkisar 80 -100 derajat C.
Yang bisa dijamin pas kalau memakai tangan telanjang, kalau
memakai alat tentunya feeling-nya tidak setepat memakai
tangan telanjang.
Karena itulah 8 jam kerja hanya dapat mengeringkan 3 kilo saja.

Kami kemudian diajak memasuki kamar dimana ada meja dan
peralatan minum teh.
Lalu diedarkan cawan kecil, diisikan daun teh dan kemudian
sedikit air panas dituangkan kedalam cawan.
Menyadari semua keheranan kenapa air yang dituang cuma sedikit,
maka pegawai Tea Village itu memberi tahu bahwa itu disengaja
dan kami dipersilahkan untuk mencium dahulu aroma dari teh
yang diseduh barusan itu, dan silahkan tebak apa aromanya.
Oooh gitu, lalu rame2 mencium dan semua bengong dan sepakat
bahwa aromanya adalah ...... wangi kacang hijau !!

Lalu si pegawai menuangkan lagi air panas dari ceret, dengan cara
yang unik sekali.
Air tidak dikocorkan brek sekaligus seperti lazimnya, tapi :
sambil ceretnya di-angguk2an - tanda menghormati tamu katanya.
Air panas itu suhunya harus 85 - 90 derajat C, kalau lebih maka
antioksidan dari teh-nya bisa hilang.

Selanjutnya diterangkan bahwa kwalitas teh disana bervariasi,
tergantung kapan dipetiknya, apakah saat Spring, Autumn atau
Summer.
Saat terbaik mendapatkan teh kwalitas utama yang disebut
Emperor Tea adalah yang dipetik sekitar bulan Maret dimana
daun teh baru saja bersemi.
Teh Raja itu dibandrol 900 Yuan setiap setengah kilo-nya.

Saat dalam perjalanan dari HangZhou menuju kota Suzhou,
kami mampir disebuah toko teh yang besar.
Kali ini disuguhi teh lain - bukan seduhan daun teh tapi bunga,
yaitu teh Tong Xiang ( bunga Chrysant/Cwie Hwa ).
Sempat bingung juga melihat dalam gelas kita ada bunga yang
terapung, sempat saya berfikir apa iya enak rasanya -
ternyata memang enak dan terasa eksotis dilidah.



Monday, November 21, 2005

Perjalanan ChinaKorea 2005, part 1 : Menuju GuangZhou.


 


 


Minggu pagi 30 Oktober 2005,
saya sudah duduk di ruang tunggu keberangkatan bandara Soekarno Hatta,
sambil mengingat-ingat proses persiapan perjalanan saya dan istri yang
kali ini rada ribet juga.
Sejak awal kami kesulitan memilih daerah tujuan, gonta ganti terus.
Semula ingin ke Myanmar dan Laos - engga jadi karena sebagian calon
peserta tour mengundurkan diri akibat ada ledakan bom di Yangoon.
Ganti mau pergi ke Kashmir, eh juga terjadi teror bom di Srinagar.
Kemudian ada yang ngajak ke Balkan, tapi udah keburu musim dingin
yang selalu saya hindari, maklum penakut sama hawa dingin.
Akhirnya istri saya bilang ke China lagi saja deh, dan sekalian nyambung
ke Korea katanya.


OK, asal ke China-nya engga ke tempat2 yang sudah pernah didatangi,
dan juga asal di Korea-nya bisa masuk ke The Third Infiltration Tunnel
dan DMZ .
Seperti diketahui perang saudara antara kedua Korea, yang berkecamuk
antara tahun 1950 -1953, sebetulnya sampai sekarang secara resmi
belum pernah berakhir atau bersepakat damai.
Yang ada hanya kesepakatan membentuk DMZ saja -
Demiliterized Zone, yang membentang sejauh 248 kilometer membelah
Korean Peninsula, lebar DMZ empat kilometer - masing-masing
dua kilometer dari truce line.
Karena resminya perang belum usai antara kedua Korea itu,
maka terkenal :
The DMZ is the most fortified border on earth that only Korea can offer !!


Saya memang udah lama naksir banget untuk bisa masuk ke Third Tunnel -
salah satu dari empat terowongan rahasia Korea Utara yang panjangnya
1635 meter dan dibuat pada kedalaman 73 meter dibawah tanah.
Ukurannya dua kali dua meter, sehingga dalam waktu satu jam saja bisa
melewatkan satu divisi tentara, yang muncul dibelakang garis pertahanan
Korea Selatan di DMZ itu.
Untung saja adanya tunnel itu sempat ketahuan fihak Korsel.
Kalau tidak maka tunnel itu bisa dipakai untuk suatu surprise attack
terhadap Seoul yang jaraknya hanya 52 km.


Akhirnya rutenya cocok, yaitu akan mengunjungi kota2 sekitar pantai
timur mainland China antara lain Dalian (kota cantik bernuansa Eropa),
HangZhou ( kota kuno yang dijuluki Heaven On Earth),
SuZhou ( kota kuno juga, yang terkenal sebagai Kota Air -
Venesia di Timur).


Pengumuman untuk memasuki pesawat memutus renungan saya,
dan penumpang dengan tertib memasuki cabin pesawat B757 dari
China Southern - yang mempunyai motto : "Home in the air"
Memang penumpang nantinya akan mendengar suara merdu
yang mengatakan :
Ladies and gentlement,welcome to China Southern's Home in the Air.


Tapi apa yang saya alami malah berbeda,
AC bukan saja kelewatan dingin-nya ngalahin kulkas, juga suaranya
begitu gemuruh kayak kita lagi berada di kaki air terjun Niagara aja.
Sampai2 saking kaga nahan berisiknya, saya ambil tissue basah,
sepotong kecil di-gulung2 dan dipakai nyumpel kedua liang telinga.
(jadi inget film Mr.Bean).


Di China ada banyak Airline, kayaknya tiap propinsi disana punya,
antara lain Xinjiang Airline, Shandong Airline, China Eastern, dll.
Tapi China Southern kayaknya yang paling besar.
Lihat saja data2-nya :
dia mempunyai  252 mid to large sized modern jet aircraft yang
terdiri dari berbagai jenis pesawat, antara lain :
Boeing 777  - 757 - 747 - 737 - Airbus A 330.


China Southern ini mempunyai 17 transportation based dan
700 flight routes - luar biasa !!.
Pokoknya inilah The Largest Airline in China dalam hal :
fleet, flight routes, maupun annual passenger volume 
(tahun 2004 : mengangkut 40 juta penumpang -
sehingga masuk top 10 world leading passenger volume).


Masih ada kehebatan lainnya lagi, China Southern telah memesan
10 buah B-787 Dreamliner :
pesawat twin engine yang akan memanjakan penumpangnya karena
lebih comfort : cabin lebih luas, higher humidity level.
Direncanakan first delivery pesawat ini July 2008 agar bisa dipakai
dalam menyambut  2008 Summer Olympic Games di Beijing nanti.


Rupanya masih belum puas, China Southern juga sudah memesan
5 buah Airbus dari seri A380 yang mempunyai 555 seater -
ini largest aircraft dan world's first double decker passenger jet.
Jangkauan nya  8.000 -15.000 km, sehingga bisa easily terbang -
nonstop jarak jauh.


Menjelang sore pesawat mendarat di airport GuangZhou yang baru :
Baiyun Airport - yang konon besarnya dua kali airport HongKong,
itupun masih akan bangun lagi tahap dua, sehingga menjadi airport
10 terbesar didunia.
Sambil berjalan didalam airport yang kelihatan lega sekali itu,
seorang teman yang mengerti tehnik bilang, coba you lihat mereka
bisa bikin bentangan atap yang begini jauh tanpa tiang, memang
buatannya masih rada kasar, tapi itungannya mantap sekali.


Airport baru ini berjarak 40 kilometer dari kota GuangZhou,
dihubungkan dengan highway yang lebar :
4 lane plus 1 untuk darurat setiap arahnya..
Karena setiba di GuangZhou kami makan malam dulu maka tiba
dihotel sudah agak malam.
Sehingga walaupun Hotel Canton Mountain Villa tempat kami
menginap terletak persis diawal Beijing Road -
satu daerah perbelanjaan yang paling kesohor di GuangZhou -
kami lebih memilih untuk istirahat saja.



bersambung : menuju Dalian - kota cantik bernuansa Eropa.

Saturday, October 15, 2005

Melihat Samudra Atlantik bertemu dengan Samudra Hindia : Cape Town.




Melihat Samudra Atlantik bertemu dengan Samudra Hindia :

Larut malam kami baru tiba di Cape Town dari Sun City/Johanesburg,
sehingga setelah makan malam segera beristirahat, apalagi karena esok
pagi-pagi sekali akan mulai tour yang sangat menarik yaitu mengunjungi
Seal Island, Tanjung Harapan, dan Table Mountain.

Seal Island menjadi tujuan banyak turis karena pulau unik itu dipenuhi
Anjing Laut, sedangkan Tanjung Harapan adalah Ujung Terbawah
dari Benua Africa dimana dari lokasi Mercu Suar disana bisa melihat
kearah selatan yang merupakan pertemuan dua samudra yaitu
Samudra Atlantic dan Hindia.
Table Mountain juga unik sekali karena dindingnya begitu tegak lurus,
tidak ubahnya sebuah balok es raksasa yang diberdirikan diatas salah
satu sisinya.

Pagi-pagi sekali hari bus sudah berangkat, menelusuri pantai tepi barat
benua Africa itu dengan pemandangan kearah Samudra Atlantic.
Perjalanan yang mengarah ke selatan itu sekitar satu jam, dan tibalah
kami disebuah pelabuhan kecil yang berada di sebuah teluk yang
cantik sekali. (foto).

Kami beruntung sekali karena saat tiba disitu cuaca sedang baik,
kalau saja berangin/ombak besar biasanya tour ke Seal Island
dibatalkan.

Dengan sebuah kapal motor kami berlayar menuju mulut teluk,
disana ada sebuah gugusan pulau karang yang gundul.
Kami semua terpana melihat pulau itu seakan menghitam karena
dipenuhi anjing laut yang sedang asyik berjemur.
Kami dibawa begitu dekatnya, sehingga bisa melihat dengan jelas
ratusan anjing laut yang sedang nyantai itu .(foto)

Kemudian kami meneruskan perjalanan makin keselatan lagi dan
tibalah di Cape Point atau Tanjung Harapan, yang merupakan
ujung paling bawah dari Benua Africa.

Turun dari bus, dikejauhan tampak sebuah MercuSuar kuno yang
berada dipuncak sebuah bukit, dari tempat ketinggian itulah kami
mencoba ber-imaginasi melihat adanya pertemuan air laut dari
Samudra Hindia dengan Samudra Atlantic.(foto)

Konon bisa terlihat perbedaan warna dari air kedua samudra,
yang diakibatkan oleh perbedaan suhu dan kadar planktonnya.
Tapi sayang sekali walaupun saat itu kami sudah berusaha
melihat dengan se-baik2nya tapi tetap tidak bisa melihat batas
air kedua Samudra tersebut.

Masih dari lokasi mercu suar itu, kami bisa memandang kearah
utara, tampak Tanjung yang sempit - yang diapit oleh Samudra
Atlantic disebelah kirinya dan Samudra Hindia disebelah kanan.
(foto)

Setelah makan siang dengan menu lobster yang nikmat sekali,
kami kembali ke Cape Town dan dengan cable car naik ke
Table Mountain - gunung batu yang lumayan tinggi berbentuk
tidak ubahnya sebuah es balok raksasa.
Dindingnya yang tinggi begitu curam sehingga hanya dengan
mempergunakan cable car orang bisa naik keatasnya.(foto)

Setiba di stasiun atas cable car itu, ternyata memang bagian
atas gunung itu seperti meja - datar sekali. (foto)

Pemandangan dari puncak gunung ini kearah Samudra Atlantic
dan kota Cape Town sangat indah, kota tampak kecil dibawah
karena gunung itu cukup tinggi (foto),
Kami harus cepat-cepat mengambil foto dengan latar belakang
kota Cape Town, karena sesekali angin keras yang dingin
cepat sekali membawa awan menutup pemandangan cantik itu.

Sayang kami tidak bisa berlama-lama disana, angin bertiup
makin keras sehingga sirene dari stasiun cable car itu berbunyi.
Ini tanda peringatan agar para pengunjung segera kembali ke
stasiun atas itu dan naik cable car untuk turun ke stasiun bawah.

Kalau angin bertiup makin keras, maka cable car akan stop
beroperasi, artinya yang telat turun bisa-bisa nginap diatas
gunung sepi itu -
Wuuah siapa yang sudi nginep disitu, cepat-cepat kami turun.

Tuesday, October 4, 2005

Masuk Gua Jepang dan Gua Belanda di Bandung.


 


Lama - lama bosen juga kalau hari Minggu di Bandung kegiatan
lagi-lagi keluar masuk Factory Outlet atau berburu Brownies Kukus.


Maka begitu dengar Wimpie bilang bahwa di Dago ada Gua Jepang
dan Gua Belanda maka saya dan istri langsung setuju kesana -
apalagi dibilang dari situ bisa lanjut jalan kaki sampai ke Maribaya.


Pagi hari kami berempat tiba di Taman Hutan Raya Ir.H.Djuanda -
Dago Pakar, dan ternyata mobil boleh masuk ke kawasan itu -
lumayan deh bisa menghemat dengkul, tiket masuk mobil 5000,-
dan orang 3000,-


Hanya berselang beberapa menit saja berkendara dari pintu masuk
Taman Hutan Raya, sudah terlihat petunjuk dikiri jalan : Gua Jepang.
Maka kami turun dan mulai jalan kaki memasuki hutan dan ternyata
tidak lama sudah tiba di tujuan.
Disebelah kiri jalan terlihat tebing padas, disitu ada beberapa lubang
masuk Gua yang lumayan besar. (foto)
Beberapa orang menyambut kami dan menawarkan sewa flashlight -
tapi kami tolak karena kami sudah membawanya.
Kami mulai memasuki lubang yang paling besar, dan walaupun
didalam gua itu gelap gulita tapi gua itu bersih dan tidak pengap.
Kami berjalan lurus terus melewati  persimpangan2 dan disana-sini
ada ruangan2 dikiri kanan terowongan.
Setelah ketemu ujung gua yang buntu maka kami mulai menelusuri
bagian gua lainnya yang dibuat memotong lorong utama itu. (foto)
Memang lumayan seram didalam sana, tapi Gua Jepang di Bukittinggi
jauh lebih besar dan lebih seram.


Setelah puas lihat2 dan foto2, kami kembali ke mobil dan melanjutkan
perjalanan, dan hanya beberapa menit sudah sampai di Gua Belanda,
disitu mobil harus diparkir karena jalan buntu. (foto)


Gua Belanda ini dibangun tahun 1918, awalnya dibangun untuk jadi
terowongan air utama PLTA Bengkok, tapi karena pecah perang
malah menjadi Ruang Komunikasi, dan pada perang Kemerdekaan
menjadi Gudang Senjata dll. (foto)


Gua Belanda ini tidak se-seram gua Jepang karena dinding dan
lantainya terlihat disemen rapih.
Ternyata Gua ini dibuat menusuk kedalam perut gunung sejauh
144 meter sampai tembus ke sisi lainnya gunung itu.
Gua ini juga didalamnya ada ruangan2, antara lain ruang interogasi !!


Setelah tembus kesisi lain dari gunung maka mulailah kami menuju ke
Maribaya dengan menapaki jalan con-block yang lumayan rapih.
Mula-mula memang enak - udara pagi yang sejuk bersih bebas polusi,
kerimbunan hutan pinus yang menyegarkan hati membuat kami
berjalan dengan santai dan sesekali seiring atau berpapasan dengan
rombongan lain.
Tapi jalan makin banyak menanjak, dan mulailah ngos2an kalau
ketemu tanjakan yang panjang. (foto)


Setelah sekitar 30 menit berjalan itu, saya sempat bertanya kepada
seorang bapak yang berjalan pulang/berlawanan arah -
Pak masih jauh engga sih ke Maribaya ?
Ah engga, paling empat tanjakan lagi katanya sambil senyum2.
Wuah saya tentu engga percaya, jangan-jangan malah empat belas
tanjakan lagi nih.
Ternyata benar, empat tanjakan terlewat tapi bau2nya Maribaya
kaga kecium sedikitpun - hanya terlihat hutan pinus, sesekali ada
persawahan dan jurang yang lumayan dalam.


Sempat terfikir mau nyerah saja, tapi malu hati juga sih kalau engga
sampai ke tujuan.
Akhirnya setelah berjalan lebih dari satu jam tibalah kami disebuah
jembatan yang melintasi sungai deras yang cantik alami.(foto)


Tak lama berjalan lagi terdengar sayup2 suara gemuruh air terjun
dan akhirnya sampailah juga kami di kawasan wisata Maribaya -
disini harus bayar tiket masuk lagi.


Setelah duduk2 sekitar setengah jam sambil melihat Twin Falls
yang lumayan tinggi itu, maka sekitar jam 11 kami berjalan kembali
dan tentunya perjalanan balik itu lebih ringan karena lebih banyak
menuruni gunung.


Setiba kembali di Gua Belanda, saya sempat tanya ke petugas parkir :
Pak, berapa jauh sih dari sini ke Maribaya ?.
Oh lumayan pak, sekitar 5 kilometer !!


Whoaa, jadi pulang balik tadi 10 kilometer !!?? -
itu sih sama aja jalan dari Tangerang ke Cengkareng !!
Pantes dengkul hampir copot ! .


Saat kami baru saja berkendara lagi beberapa puluh meter
meninggalkan Gua Belanda, dipinggir jalan terlihat ada orang jualan
pakai pikulan bumbung bambu besar.
Mang jual apa tuh ?
Lahang !!
Oh rupanya Air Gula Aren. Ini minuman langka juga nih !
Berapa segelasnya Mang ?       2000,-
OK nyoba deh - lalu si bapak itu dengan sigap menuangkan air
berwarna kekuningan kedalam gelas dengan cara memiringkan
bumbung bambu besar itu.


Wuaaah, enaknya air manis dengan rasa caramel bakar itu,
terasa menyegarkan sekali badan yang sudah loyo ini.



 Foto lengkap di :


http://smulya.multiply.com/photos/album/67
http://smulya.multiply.com/photos/album/68
http://smulya.multiply.com/photos/album/69

Alam cantik antara Gua Belanda Dago - Maribaya




Jalan kaki antara Gua Belanda Dago yang tembus ke Maribaya.

Menembus Gua Belanda : Dago - Bandung.




Nengok Gua Jepang di Dago - Bandung.




Saturday, September 24, 2005

Disneysea - Tokyo Japan




" Dikerjain Kevin Kostner" di Waterworld - Osaka Japan.


 


"Dikerjain Kevin Kostner" di Waterworld - Osaka Japan.



Perjalanan dari Airport Kansai ke kota Osaka, banyak melalui
jembatan yang lumayan panjang dan tinggi diatas air laut.
Rupanya Airport dibangun diatas tanah reklamasi.
Kalau kita lihat peta Jepang maka heran juga kenapa kota-kota
besar dan utama di kepulauan Jepang ini berada dipantai timur
yang menghadap ke Samudra Pasifik yang luas itu,
mengapa bukan di pantai barat menghadap ke Laut Jepang
sehingga dekat dan mudah berhubungan dengan negara Rusia
dan Korea.


Didalam bus, tour leader kami seorang wanita yang fasih berbahasa
Jepang (kuliahnya di Sastra Jepang), memberitahu kami bahwa
semua Handphone dari Indonesia tidak akan bisa dipakai karena
sistem disini bukan GSM.
Kecuali handphone yang dibawanya, yang walau tetap memakai
SIM Card Telkomsel (0811) bisa ber-halo2 karena memakai
handset khusus.
Rupanya sewaktu masih di Jakarta, dia ke Wisma Staco Casablanca,
dengan menaruh deposit sebesar 500 ribu rupiah bisa meminjam
handset khusus system CDMA yang digunakan di Jepang itu.
Karena dia bisa berbahasa Jepang, maka tidak mempergunakan
local guide (lumayan menghemat tip local guide yang sebesar
400 yen/peserta/hari, untuk pak sopir tipnya 200 yen/peserta/hari).
Tapi si sopir kaga bisa berbahasa  selain bahasa ibunya, dan pak
sopir ini tertawa geli karena rombongan kami ini mempunyai code :
Japan Neko-Neko,
maksudnya dalam bahasa Indonesia sih : macam-macam,
tapi ternyata Neko dalam bahasa Jepang artinya : Kucing.


Obyek wisata Universal Studios, letaknya dipinggir kota Osaka,
dan ternyata kami datang pada saat yang kurang pas,
selain gerimis terus ( Nuke ngomel2 - kok summer di Jepang
kayak gini sih) yang mengharuskan kami terus berpayung ria,
juga hari itu hari Sabtu sehingga banyak sekali pengunjung lokal
yang berakibat antrian masuk keberbagai atraksi itu menjadi
panjang dan lama.


Di atraksi pertama yang kami datangi : Sesame Street yang 4 D,
kami bengong melihat petunjuk bahwa antrian lamanya 80 menit --
mana tahan harus berdiri segitu lama ditengah hujan rintik rintik.
Tidak jadi masuk, dan langsung menuju tempat pertunjukan yang
lainnya : Terminator 2 -
di pintu masuk terpampang 40 menit lama antriannya,
Nuke dan istri saya langsung ikut antri, saya ogah ikutan sengsara
begitu dan memilih duduk duduk santai saja menunggu diluar.
Dan memang sejam kemudian barulah mereka keluar,
saya tanya Nuke : bagaimana bagus engga tontonannya,
dijawabnya  : Ah, Garing !


Makin siang makin ramai, dan dibeberapa tempat kami gunakan
fasilitas Fast Pass, yang boleh digunakan maksimal masuk ke
tiga tempat yang berbeda.
Kalau kita melihat satu atraksi antriannya panjang, maka kita
jangan antri disitu tapi minta tiket Fast Pass-nya saja , yang
nantinya bisa kita gunakan untuk langsung masuk tanpa antri lagi
(jalur masuk antrian biasa dengan jalur masuk pembawa
Fast Pass berbeda, sebenarnya bersebelahan hanya dibatasi tali -
kalau disini sih udah dilangkahi orang).
Penggunaannya tentu tidak bisa langsung saat kita ambil Fast Pass
itu, melainkan sekian puluh menit kemudian sesuai dengan waktu
yang tertera di tiket Fast Pass itu.
Tiket Fast Pass itu hanya berlaku untuk pertunjukan ditempat kita
ambil tiketnya, tidak bisa untuk nonton pertunjukan ditempat lain.


Waktu menunggu kami gunakan untuk makan siang,
aduhai mahalnya - nasi goreng saja dengan sedikit salad dan
daging goreng sudah 1000 yen ( = 70 ribu rupiah),
atau memasuki atraksi lain yang waktu antriannya singkat saja.


Seperti di tempat induknya di Amrik sana, disini pun banyak
tersedia drinking fountain (lumayan menghemat beli aqua botol
yang 200 yen),dan toilet - satu2nya tempat yang diperbolehkan 
untuk merokok.
Terlihat banyak wanita Jepang yang merokok, dan saya bilang
sama Nuke : Ke, kayaknya hampir separuh orang Jepang -
rambutnya dicat coklat tuh.
Dijawab: Ah - lebih dari separuh Pap !!
Memang banyak laki perempuan, tua muda, rambutnya tidak lagi
hitam, tapi menjadi coklat, malahan saya lihat ada seorang nenek
yang rambutnya berwarna  .. ... biru !!


Kami "salah" masuk ke Jurassic park, semula dikira hanya atraksi
ringan saja sehingga istri saya ikut, ternyata pakai terjun2-an segala
dan diakhir atraksi perahu yang kami tumpangi itu terjun lumayan
tinggi kedalam kolam sehingga rambut kami-pun sampai  basah,
untung saja jantung istri saya engga kumat.


Setelah memasuki Back Draft (antri 30 menit) , Jaws (antri 20 menit)
yang mirip sekali dengan yang kami lihat di Anaheim dan Orlando
dulu,  kami tertarik ingin nonton Waterworld yang belum pernah
kami lihat sebelumnya.


Antriannya lumayan sengsara, panjang banget dan dibawah hujan
yang lumayan lebat lagi.
Setelah berdiri sekitar 20 menit, pintu masuk dibuka dan kami masuk
ke ruang pertunjukan yang luas - beratap sehingga tidak kehujanan.
Settingnya menarik karena sesuai dengan filmnya - kita lihat didepan
ada "laut" dengan bangunan metal rombeng khas Waterworld.


Sebelum acara mulai seperti biasa, sambil menunggu penonton penuh,
ada 3 pemuda Jepang berpakaian ala Kevin Kostner mengisi waktu
dengan bergaya pura2 berkelahi, menyiramkan air ke pengunjung
yang duduk dibaris paling depan
(rupanya sudah siap disiram karena semua memakai jas hujan).


Mereka memakai bahasa Jepang, kami hanya bisa me-nebak2 saja -
kalau diajak mengangkat kedua jempol atau menunjukkan kedua
jempol kearah bawah dengan berteriak wuuu.
Yah sudah ikutan saja walau engga ngerti apa yang diomongin.


Sesudah sekitar sepuluh menit menunggu sambil melihat penonton
yang ramai memenuhi bangku bergairah tertawa dan teriak mengikuti
apa yang diomongin ke 3 orang itu, lalu muncul seorang jagoan bule
diatas bangunan rombeng itu dalam hujan yang masih gerimis.


Nah, kami pikir mulai deh nih atraksinya.


Lalu si bule itu merosot turun lewat tiang besi, menghilang , kemudian
ada suara wanita melalui speaker dalam bahasa Jepang , dan kami
merasa aneh sekali -
kok semua penonton pada berdiri dan menuju pintu keluar,
lho ada apa ini ?,  apa pindah tempat nontonnya ??


Dalam kebingungan itu, ada seorang wanita dibelakang kami
memberitahu bahwa karena cuaca tidak bagus maka -
pertunjukan dibatalkan  -----  Astaga !!

Ketemu Nenek 93 tahun Penghuni Rumah Gua - LuoYang.




Ketemu Nenek 93 tahun Penghuni Rumah Gua - LuoYang.


Setelah penerbangan panjang yang melelahkan : Seoul - Pusan -
Shanghai - ZhengZhou, tibalah kami di kota tua yang pernah
menjadi ibukota dari tujuh dinasti yang berbeda.

Lokal guide yang menjemput : Winnie (nick-name, sebab nama
aslinya biasanya susah diingat) - langsung membawa kami
ke sebuah gedung tua yang ternyata museum sungai HuangHo !!.
Sempat juga heran, ngapain datang ke Museum Sungai segala.
Rupanya sungai raksasa ini (panjangnya 5400 km) dimasa lampau
menyimpan begitu banyak kisah sedih penduduk ZengZhou.
Memang dipropinsi inilah sungai HuangHo bisa mempunyai lebar
sampai dua kilometer dan dalamnya 100 meter, padahal jaraknya
ke muara masih 700 kilometer lagi !.

HuangHo merupakan sungai yang paling banyak membawa
sedimen pasir didunia.
Dia membuang 4 milyar ton pasir kelaut setiap tahun-nya, atau
membuat daratan baru di muara sungai seluas 25 km2
(seluas Macao) setiap tahunnya.

Memang saat ini sungai Huangho sudah bisa dikendalikan
dengan dibuatnya banyak bendungan.
Untuk dijalur utama saja ada 15 bendungan,
kalau di anak/cabang sungai ada sampai ribuan katanya.

Tapi jaman dahulu sungai ini sering membuat kesengsaraan
yang luar biasa, tidak saja bisa membuat banjir hebat tapi juga
bisa membuat kekeringan yang ganas seperti di tahun 1942
yang mengakibatkan tiga juta orang tewas mengenaskan.

Ada satu proyek hebat yang akan selesai ditahun 2010, yaitu
sungai HuangHo ini akan dihubungkan dengan sungai YangTze.
Sodetan ini akan membuat kedua sungai ini berubah dari
pembawa kesengsaraan menjadi pembawa kemakmuran,
karena akan saling mengisi kalau terjadi kelebihan atau
kekurangan air disepanjang aliran kedua sungai ini.

Kemudian Winnie (yang baru pertama kali membawa turis
Indonesia), membawa kami menuju hotel WeiLai Conifer,
bintang 4, masih baru dan bagus.
Kota Zhengzhou sendiri, banyak gedung-gedung lama dan
baru yang mempunyai arsitektur cukup bagus, banyak yang
belasan tingkat.
Jalan raya lebar sampai 6 - 8 jalur, dipagari tanaman yang
terawat baik,
dan seperti kota-kota lainnya di China : bersih sekali.
Udara berkabut dengan temperatur 20 derajat.

Kami semua cepat beristirahat karena hari ini capai sekali,
take-off nya saja sampai tiga kali, dan besok jam 6 pagi
sudah di morning call lagi.

Esoknya tanggal 23 April 2002, setelah makan pagi ala
American breakfast, kami naik bus menuju kota Luo Yang,
sejauh 142 km melalui highway yang mulus.
Diperjalanan pemandangan monoton hanya terlihat ladang-
ladang, dan pebukitan saja.
Waktu itu kami sempat heran kenapa sepertinya di pebukitan
ada gua-gua buatan manusia yang dipakai untuk tempat tinggal -
ternyata dugaan kami benar - aneh sekali dijaman gini masih
ada orang tinggal di gua-gua seperti itu.

Sebenarnya yang khas dari LouYang adalah bunga MUTAN
(= Peony) yang saat itu seharusnya sedang mekar2-nya.
Bunga itu cantik sekali karena besar, warnanya ada merah,
ungu sampai kuning.
Kami sengaja mengunjungi satu taman khusus bunga Mutan itu,
tapi sesampai disana kami kecewa berat karena si penjaga
taman bilang bahwa beberapa hari lalu bunga2 itu sudah pada
rontok sebelum waktunya.
Kejadian ini karena beberapa hari lalu itu suhu udara tiba-tiba
naik menjadi 28 derajat, ini membuat bunga itu rontok -
padahal saat kami datang udara sudah kembali agak dingin.

Sudah kepalang datang kami tetap masuk dan agak terobati
kekecewaan kami karena ternyata ditaman bunga yang luas itu
masih ada sisa-sisa bunga yang rupanya kasihan sama kami
kalau engga ketemu sama sekali.
(foto pertama dan kedua).

Setelah itu kami ditawari si Winnie apakah mau optional
tour mengunjungi rumah gua yang seperti kami lihat
diperjalanan tadi.
Ada satu komplek rumah gua yang sangat terawat karena
dilindungi pemerintah katanya,
dan masih ditinggali pemiliknya yaitu nenek usia 93 tahun
bersama turunannya.
Tentu perlu extra bayaran untuk bensin + tip sopir, dan
tentu pula ini kami setujui - sayang sekali kalau melewatkan
melihat tempat unik seperti itu.

Maka setelah mengunjungi taman bunga Mutan,
bus membawa kami kembali kearah luar kota Lou Yang.
Bus berhenti di pinggir jalan raya, dan kami mulai berjalan
kaki sekitar 300 meter menjauhi jalan raya.
Sesekali ada rumah penduduk, dan sempat heran juga koq
engga ada pebukitan didekat situ.

Ternyata rumah gua unik itu dibuat bukan dengan cara
menggali dinding sebuah bukit seperti kami perkirakan,
tapi seakan menggali dinding sebuah kolam renang yang
telah dikeringkan.

Kami mula-mula melihat satu lubang besar ukuran sekitar
25 X 15 meter, dengan kedalaman 10 meter. (foto)
Kami lalu menuruni anak tangga berupa jalan tanah untuk
sampai kedasar lubang itu dan bertemu dengan si nenek
yang konon berusia 93 tahun itu. (foto)

Dia masih sehat sekali - bisa memperagakan lari-lari kecil
untuk menunjukkan kondisi fisiknya yang masih bagus.
Kami tertarik akan kakinya yang ukurannya mini -
saya bandingkan panjangnya dengan panjang kaki saya
paling hanya separuhnya saja.
Pada dinding lubang itulah banyak di-gali gua yang dalamnya
kira-kira 5 meter, yang dipergunakan untuk tempat tinggal.
Terlihat ada lubang untuk tempat tidur, dapur, dan lain-lain.
Sedangkan dihalaman komplek itu, ada sebuah sumur yang
tidak ada airnya, rupanya sumur resapan untuk menampung
air hujan.

Setelah mengunjungi rumah gua itu, tujuan berikutnya:
Long Men Grottoes atau One Hundred Thousand Buddha
Caves, suatu tempat dimana dikedua bukit yang mengapit
sebuah sungai diukir begitu banyaknya patung Budha,
dari ukuran tinggi 17 meter sampai 2 cm saja !!

Dikisahkan bahwa pada tahun 490 ada raja yang melihat
disatu tempat yang terletak 28 km diselatan kota LuoYang ,
sungai Yi diapit oleh dua gunung yang indah.
Maka dia menetapkan bahwa dikedua gunung itu rakyat
boleh memahat patung-patung Buddha.

Ternyata pekerjaan itu berlanjut sampai 6 dinasti - sekitar
400 tahun, sehingga sekarang terdapat hasil karya berupa
2300 gua/lubang, yang didalamnya ada patung Buddha
maupun pahatan didinding.
Patung maupun pahatan itu begitu banyaknya sehingga
disebut One Hundred Thousand Buddhist Images.

Bus harus parkir agak jauh, kami rame2 naik Golf Car
menyusuri sungai itu, dan berikutnya jalan kaki naik turun
bukit untuk melihat ceruk/gua/lubang2 tempat dimana ada
banyak sekali patung Buddha dan pahatan didinding gua.
Cuma sayang sekali banyak yang sudah rusak akibat
bagian kepalanya dipotong atau dicungkil. (foto).

Sebelum masuk hotel dikota LuoYang kami dibawa ke
restoran yang menyajikan menu makanan istimewa :
Makanan Raja ! - karena makanan akan disajikan
bergelombang sampai 24 macam !!.
(kalau di restoran biasa makanan yang disajikan
8 - 10 macam.)

Menu istimewa ini tidak disajikan sekaligus tapi satu-satu,
diawali 8 macam makanan dingin dulu, dilanjutkan dengan
16 macam makanan kuah panas.

Saya sih sejak masakan dingin yang pertama datang
sudah saya makan seperti biasa karena saya yakin
saya pasti engga kuat sampai final.
Benar saja baru masuk quarter final saja saya sudah WO,
harus gantung sumpit !

Saya lihat sebagian besar peserta sudah meninggalkan
gelanggang di ronde diatas 15 -
malahan 5 porsi makanan yang datang terakhir -
cuma diliatin saja rame-rame - kaga disentuh.

Friday, September 9, 2005

Wisata seputar Bukittinggi.




Wisata seputar Bukittinggi.


Kota Bukittinggi strategis karena tidak saja berada di lintasan jalan utama
yang menghubungkan Sumatra Barat dengan Sumatra Utara maupun Riau,
tapi juga menjadi "home base" dalam mengunjungi berbagai obyek wisata
di tanah Minang ini.

Letaknya yang sentral memudahkan menjangkau berbagai obyek wisata
yang lokasinya hanya beberapa puluh kilometer saja dari kota Bukittinggi.
Untuk itulah kami menginap sampai dua malam di Novotel Bukittinggi.

Lembah Harau hanya 48 kilometer arah ke timur, Istana Pagarruyung arah
ke tenggara, sedangkan Danau Maninjau sekitar 38 kilometer arah ke barat,
semuanya dapat dijangkau dengan nyaman karena melalui jalan yang mulus.

Dari Novotel, hotel tempat kami menginap, hanya beberapa menit berjalan
kaki sudah sampai ke Jam Gadang karena letak hotel yang bersebelahan
dengan Istana Hatta yang menghadap ke Jam Gadang.
Dimalam hari, apalagi malam minggu lapangan banyak dikunjungi orang,
tapi walau suasana malam disana aman - toko sudah tutup pada jam 21,
maka esok sorenya kami datang lagi ke Jam Gadang yang kali ini kami
memasuki Pasar Atas yang berada ditepi lapangan itu.

Tentu seperti biasa saya tidak mengikuti istri saya dan teman lainnya, mereka
menuju ke toko-toko kain bordiran yang memenuhi lantai dua, sedangkan
saya sendirian menelusuri pasar yang lumayan besar itu.
Pasar Atas yang berlantai dua itu walau penuh kios-kios pedagang, tapi
terkesan rapih, bersih dan aman.
Dibangun memanjang kebelakang, dimana ada lapangan parkir yang tidak
terlalu luas dan disitu ada jalan berupa tangga cukup lebar yang disebut
Jenjang 40, memang saya hitung anak tangga yang lumayan curam itu ada
40 buah,
tapi ternyata masih ada tangga berikutnya lagi yang kali ini tidak terlalu curam
menuju ketepi sebuah jalan dimana diseberang jalan itulah terletak Pasar
Bawah. Saya tidak memasuki Pasar Bawah karena kelihatannya pasar tempat
berdagang bahan makanan itu agak becek.


Perjalanan menuju Lembah Harau terasa menyegarkan mata - di kiri kanan jalan
diapit oleh pebukitan Bukit Barisan yang sesekali bentuknya indah menyerupai
bukit bukit di Guilin China.
Begitu keluar kota Bukittinggi, seperti biasa handphone byar-pet lagi , hanya
didalam kota saya byar-nya, geser dikit keluar kota di SumBar ini sudah pet lagi.

Didesa Bonjo, sekitar 10 kilometer keluar Bukittinggi, kami keluar jalan raya,
belok kiri memasuki jalan kecil untuk mampir di Kerajinan Sulaman/Bordiran
H.Rosma. Dirumah yang cukup besar itu kami melihat ada sekitar 60-an anak
gadis sedang asyik bekerja membuat sulaman, mereka anak yatim yang ditam-
pung H.Rosma dari berbagai daerah, mereka diberikan ketrampilan membuat
sulaman itu.
H.Rosma yang sudah berusia sekitar 65 tahun menemui langsung tamu di toko,
tapi tetap tidak memberikan diskon karena dijual fixed price.
Tapi memang harga-nya pantas/sesuai dengan kwalitas sulamannya yang halus.

Perhentian berikutnya adalah ibukota Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu kota
Payakumbuh, sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota Gelamai (dodol).
Sewaktu teman teman memasuki sebuah Pasar yang berada di pusat kota untuk
membeli gelamai, saya lihat ditengah persimpangan jalan juga ada sebuah "jam-
gadang" yang ukurannya tentu tidak sebesar Jam Gadang yang asli.

Tidak jauh meninggalkan Payakumbuh, sudah memasuki kawasan Lembah
Harau - pebukitan yang berdinding curam, yang dilindungi sebagai cagar alam.
Jadi sebenarnya sih bukan Lembah karena kami tidak menuruni bukit, kami
hanya berjalan diantara pebukitan yang dindingnya hampir tegak lurus itu.
Disatu tempat kami berhenti, dimana ada air terjun yang persis dipinggir jalan,
sayang sekali saat itu hujan gerimis sehingga menyulitkan membuat foto.

Air terjun setinggi 60 meter itu, awalnya muncul dengan lebar sekitar 1 meter
tapi sesampainya dibawah bisa sampai selebar 10 meter, dikarenakan airnya
tidak "ngegerojok" terjun bebas langsung ke dasar tapi seperti setengah
mengalir didinding tebingnya.
Dan kebetulan sekali saat itu yang baru beberapa hari mulai hujan, debit airnya
tidak besar , maka air yang mengalir sepanjang dinding memercik menjadi
seperti kabut - indah sekali.

Kami menikmati pemandangan sambil berteduh di warung kopi yang ada
diseberang jalan, menurut pemilik warung - kalau air terjun sedang besar2nya
maka mereka engga bisa berjualan karena percikan air terjun begitu hebat
sampai menyebrangi jalan dan membasahi warung warung tersebut.

Perjalanan dilanjutkan menuju Istana Pagarruyung, untuk itu kami kembali
mengarah ke dalam kota Payakumbuh, setelah itu barulah mengarah keselatan
menuju kota Batusangkar.
Istana Pagarruyung terletak dipinggiran kota Batusangkar, berbeda dengan
banyak rumah bagonjong yang sering terlihat sepanjang jalan maka istana ini
jauh lebih besar.
Dan tidak disangka kalau berlantai tiga, lantai pertama dari rumah kayu itu
merupakan ruangan besar empat segi panjang, pada dinding belakangnya
dibuat sekat-sekat untuk dijadikan kamar-kamar.

Pengunjung harus membuka alas kaki agar tidak merusak lantai papan itu,
dan bisa menyewa pakaian adat untuk berfoto diberbagai sudut dalam istana.
Kami juga diperbolehkan naik ke lantai dua sampai tiga, disana hanya ada
beberapa barang pameran, tapi dari jendela atas itu bisa melihat pemandangan
keberbagai arah - seperti biasa kita melihat pemandangan bukit-bukit yang
mengapit wilayah itu.

Untuk menuju Danau Maninjau, yang berjarak sekitar 38 kilometer -
perjalanan masih melalui jalan yang mulus, cuma kali ini jalan tidak lagi
selebar/seramai jalan disekitar Payakumbuh.
Perjalanan naik turun berliku melingkari Gunung Singgalang, dan sampai
kesatu tempat yang disebut Ambun Pagi, yang merupakan awal dari
Kelok 44 yang terkenal itu.
Dari Ambun Pagi yang mempunyai ketinggian 1300 meter itu kami akan
"terjun" melalui 44 buah kelokan ke pinggir danau Maninjau yang berada
diketinggian 500 meter .

Semua penumpang hilang kantuknya dan di kelokan didepan terlihat papan
dengan tulisan 44 yang berarti inilah kelokan yang pertama, dan memang
disetiap kelokan berikutnya ada papan-papan petunjuk bertuliskan angka
sesuai urutan kelokan itu.

Pak sopir mulailah berkonsentrasi menuruni gunung dan terlihat didepan
danau yang rupanya seperti kaldera terisi air - indah sekali.
Jalan menurun itu saya pikir tidak terlalu berbahaya , cuma memang semua
tikungannya asyik sekali - yaitu tikungan berbentuk peniti/hair pin .
Memasuki kelokan yang tajam itu ibaratnya kalau sedang latihan baris
berbaris melaksanakan aba-aba balik kanan.

Tikungan demi tikungan dilalap pak sopir dengan penuh konsentrasi,
dia sibuk sekali memutar-mutarkan lingkaran kemudi dengan sigapnya.
Bung Zam (lokal guide kami) memecah ketegangan kami dengan bilang ;
Para sopir yang biasa lewat sini, tidak perlu lagi mencukur bulu ketiak-nya !
(sudah abis kegesek sewaktu memutar-mutarkan stir itu).

Dibeberapa tempat kami berhenti untuk memberi makan buah kepada
monyet-monyet yang banyak berkeliaran, dan berfoto disatu kelokan yang
mempunyai view sangat indah ke sebuah rumah bagonjong berlatar belakang
danau.
Rumah itu dahulu sebuah restoran, yang sekarang sudah tutup karena sepi
pengunjung.
Di kelokan nomer 10 mulai terlihat jauh dibawah atap rumah rumah dari desa
Maninjau yang berada di tepi danau.

Sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain yang dengan sabar saling
mengalah di kelokan memberikan prioritas bagi kendaraan yang naik.
Saya terkejut juga karena berpapasan dengan sebuah truk yang mengangkut
sebuah mesin giling ! , lho kok bisa kuat naik ?
Rupanya mesin giling itu bobotnya bisa diatur, kalau mau difungsikan roda
besinya yang rupanya berongga itu diisikan air - kalau mau diangkut ketempat
lain, airnya dibuang dulu sehingga ringan.

Danau Maninjau berukuran 8 kali 16 kilometer, sekeliling danau ada jalan
aspal, sehingga turis dapat bersepeda mengelilingi danau yang panjang
kelilingnya 70 km.
Kami berhenti untuk makan siang di Hotel Pasir Panjang Permai, cukup besar
dan di restoran yang dibangun persis dipinggir air danau itu, dipasang foto-foto
orang terkenal yang pernah kesana seperti :
Moerdiono, Hasan Basri, Yogi S Memet, Rae Sita.

Sayang sekali hotel itu kabarnya juga sekarang sepi pengunjung, saat kami
makan siang itu juga hanya kami saja yang datang, tapi dengan demikian kami
bisa mendapatkan meja yang sangat bagus - persis di pinggir air dengan view
ke danau yang berlatar belakang pebukitan diseberang danau.

Kami sangat menikmati pemandangan disana, air danau berwarna hijau itu
jernih dan yang penting masakan yang dihidangkan , walau menunya biasa biasa
saja seperti telor tahu, sate ayam tapi enak sekali.
Yang spesifik adalah Rinuak : perkedel teri dari danau Maninjau itu yang gurih
sekali , sampai kami minta tambah porsinya.




Sate Mak Syukur - PadangPanjang.




Sate Mak Syukur - PadangPanjang.


Dalam perjalanan dari kota Solok menuju Bukittinggi, saya ingatkan
bung Zam - tour leader kami agar nanti mampir di Sate Mak Syukur -
yang di-wanti2 oleh seorang rekan Jalansutra agar jangan sampai
terlewat makan sate yang kesohor itu.

Selepas Danau Singkarak dan mendekati kota Padang Panjang, saya
melihat deretan pedagang duren, dan teringat pesan teman untuk juga
jangan melewatkan mencoba duren disana.
Maka kami berhenti dan berniat asal coba saja karena tidak lama lagi
kami akan sampai di Padang Panjang untuk menikmati sate Padang
Mak Syukur itu.
Eh durennya ternyata enak sekali - kami sampai menghabiskan 3 buah
duren yang harga sebutirnya 10.000,- itu,
lupa deh bahwa sebentar lagi akan makan sate.
Cara pedagang duren menunjukkan kwalitas durennya cukup unik, yaitu
bukan membuka sedikit kulitnya tapi dengan menusukkan lidi dan mencium
bau isi buah duren yang menempel pada lidi itu.

Benar saja belasan menit kemudian sudah memasuki kota Padang Panjang
dan dipertigaan yang kekanan arah Bukittinggi - kekiri ke kota Padang,
kami belok kekiri dan tak jauh dari situ sudah sampai di Mak Syukur.
Restoran Mak Syukur berlantai dua, dilantai bawah bisa menerima sampai
100 orang, kebetulan saat itu masih ada kursi kosong dilantai bawah.

Saya sempat melihat dapurnya yang secara atraktif berada dibagian depan,
satenya dipanggang memakai arang dari batok kelapa, dan kuah kuningnya
juga dipanaskan diatas bara api itu dalam panci besar.

Kuah kuning disajikan dalam piring beralaskan daun pisang (boleh minta
pakai ketupat didalamnya), dan satenya dalam tusukan lidi panjang.

Wah, luar biasa - satenya empuk sekali enak dicolek ke kuah kuning sedap ,
setiap orang rata2 habis belasan tusuk, malah seorang teman ada yang habis
sampai 18 tusuk ( dengan catatan ada duren mengganjal di perut nih).

Karena "merasa terganggu" oleh duren itu , maka esok sore kami balik lagi !

Dan esoknya lagi "tidak sengaja" lewat dekat Padang Panjang sehingga
"terpaksa" mampir lagi !!

Belakangan sepulang dari perjalanan ini, istri saya ditertawakan temannya,
karena cuma makan sekian belas tusuk saja -
suaminya kalau makan sate Mak Syukur itu sampai 50 tusuk !! .

Friday, August 26, 2005

Marco Polo : Dali Is The Geneve of Orient.





Pesawat B737-400 China Eastern -
seperti biasanya penerbangan di China, penuh penumpang,
termasuk puluhan turis barat.
Dan dalam penerbangan selama 50 menit dari kota Kunming mengarah
ke kota yang terletak northwest propinsi Yunnan itu kami hanya dikasih
minum doang.


Kota Dali ( dibaca : Tali), adalah kota kuno sejak jaman dynasti Tang.
Penggemar cerita silat Sia Tiauw Eng Hiong tentu ingat nama beken
Tjioe Pek Thong - si nakal yang bikin skandal dengan istri kakaknya,
yaitu permasuri-nya Toan Hong Ya - raja Dali.

Kota berpenduduk 3 juta jiwa ini (1-2 % Muslim) berada diketinggian
1974 meter dan terletak ditepi danau Erhai yang luas sekali.
Mr.Su, local guide Dali yang menjemput kami bilang Singapura muat
kalau dimasukkan kedalam danau dengan panjang 40 km dan luas
250 Km2 itu.
Air dari Lake Erhai ini akan mengalir masuk ke sungai Mekong.

Dibelakang kota Dali ada Mt.CangShan, gunung setinggi 3500 meter -
puncaknya yang diselimuti salju abadi itu menambah indah kota Dali.

Paduan warna putih puncak bersalju Mt.Cangshan dengan warna hijau
clear crystal water Lake Erhai yang laksana emerald jade,
dan langit biru laksana sapphirine sky -
membuat Dali sangat indah.
Sampai-sampai Marco Polo mengatakan : Dali is the Geneve of Orient.

Pesawat mendarat di landasan yang terletak di punggung bukit gersang
dan tampak dikejauhan danau Erhai.
Sesampai diujung landasan pesawat berputar U-turn, lalu ber-taxi melalui
landasan tempat tadi mendarat.
Rupanya landasan pacu itu sekaligus berfungsi sebagai jalan menuju ke terminal airport dan pesawat berhenti persis dimuka gedung airport.

Udara mendung berkabut, dingin sekitar 13 derajat, dan melalui highway
kami menuju bagian baru kota Dali yang berjarak 15 kilometer.
Kami makan pagi dibagian baru kota yang memang didominasi gedung2
bertingkat, tapi Mr.Su memberitahu bahwa hotel kami - Asia Star Hotel
yang berbintang empat berada dibagian kota lama.

Ternyata hari itu cuaca kurang bersahabat, udara tidak saja dingin juga
turun hujan sehingga kami harus berpayung ria saat mengunjungi landmark
kota Dali yaitu Three Pagoda's Temple, pagoda kuno yang dibangun
dijaman dynasti Tang , berwarna kuning dan bentuknya unik karena
seakan-akan bersirip banyak.

Kami makan siang di March Market dan disuguhi makanan khas daerah
Yunnan yaitu bihun besar-besar yang mirip laksa beras Tangerang dengan
kuah kaldu yang terasa pas sekali dengan cuaca Dali yang diguyur hujan.

Acara dilanjutkan dengan kunjungan ke pusat kebudayaan suku Bai -
(dibaca : pai) suku terbesar di Dali.
Sesampainya disana kami langsung diantar masuk ke sebuah ruangan
dengan bangku2 dan meja2 mungil, sebuah panggung ada di depannya.

Acara yang disuguhkan berupa "three courses of tea", yaitu suguhan teh
yang khas dari suku Bai untuk menyambut tamu2 mereka, yang terdiri
dari 3 cangkir teh, yang pertama teh terasa pahit (bitter taste), yang ke-
dua dan paling enak karena terasa manis (sweet taste) dan terakhir
terasa tawar (after taste).
Acara minum teh tersebut disertai dengan pertunjukan tari-tarian khas
suku Bai dan acara wedding ceremony suku Bai yang cukup menarik
karena calon pengantin perempuan harus memakai kacamata hitam
sebelum resmi menjadi suami istri dan pakai acara dicubiti oleh sanak
saudara dan tetangga dari pihak pengantin laki-laki.

Selanjutnya kami menuju ke stasiun cable car yang akan membawa
kami naik ke lereng Mt.Cangshan.
Semula kami ragu-ragu karena walau memang hujan sudah reda tapi
hari sudah sore, tapi akhirnya kami sepakat jadi naik juga walau tetap
was-was karena kota Dali mempunyai julukan Kota Angin -
sering ada angin besar disini.

Saat itu sudah tak ada pengunjung lainnya, saat mau naik kami diberikan
jas hujan yang terbuat dari plastik tipis - lho koq pake jas hujan segala ? -
waduh ! ternyata cable car-nya bukan model tertutup.
Kami duduk berdua-dua seakan naik beca - tanpa atap dan kaki juga
cuma bertumpu pada sebatang besi saja.
Kami kembali dipesan untuk jangan sampai menjatuhkan barang-barang
berharga seperti tas atau kamera karena kalau jatuh akan susah dicari.

Sudah kepalang, kami naik saja dan ternyata kereta itu jalannya macam
nenek-nenek - pelan banget, mana udara dingin dan khawatir hujan lagi.
Waduh, udah jalannya lambat ternyata lereng gunung dibawah kaki kami
penuh batu nisan - rupanya komplek kuburan yang luas sekali.

Letak memunggungi gunung dengan menghadap sungai/danau dipercaya
sebagai letak HongSui yang paling bagus untuk rumah orang hidup maupun
bagi orang yang sudah mati - tapi buat kami yang sedang numpang lewat
lambat-lambat tergantung-gantung diatasnya tentu sungguh tidak nyaman.

Betul saja, naik dari ketinggian 1974 meter ke ketinggian 2500 meter itu
memang makan waktu lama sekali : 25 menit !
Di stasiun atas kami turun, lalu mengunjungi komplek temple yang tampak
sudah kuno sekali, dan memasuki anjungan untuk menikmati pemandangan
kearah kota Dali dan danau Erhai yang terlihat indah sekali.
Karena sudah sore maka kami tentu tidak berlama-lama disana, segera
turun lagi dan kembali numpang lewat diatas "pemukiman" abadi itu.

Kami masih sempat mengunjungi sisa kota tua Dali yang masih utuh yaitu
gerbang masuk ke kota lama yang disebut South Gate, yang memang
masih megah berdiri.
Memasuki gate itu kami kemudian melewati deretan rumah kuno yang
sekarang beralih fungsi jadi toko-toko souvenir yang begitu banyak dan
ramai dipenuhi turis.

Malam hari menginap di lantai enam/teratas Star Asia Hotel, lokasinya
dibagian kota lama yang dekat dengan South Gate.
Karena berada di ketinggian/lereng gunung maka view dari kamar hotel
kearah kota dan danau Erhai bagus sekali.
Lobby hotel luas sekali, spacenya 1680 square meter, tinggi sampai ke
lantai enam, dan reiling tangga/balkon-nya dibuat dari Dali woodcarving
yang penuh ukiran bagus sekali.
Tapi yang paling menarik adalah lukisan Guanyin-Buddha (the Goddess
of Mercy) yang dilukis di satu dinding lobby - besar sekali mulai dari
dinding lantai dua atrium lobby itu sampai mencapai lantai enam.

Makan malam berupa Chinese buffet di restoran yang luas dengan
pemandangan kearah puncak gunung Cangshan yang putih bersalju.
Dan saya bengong melihat makanan buffet yang berderet tersaji :
banyak macam sekali beraneka ragam, saya hitung roti ada 11 macam,
bapao ada 4 macam.
Malah masakan utama berupa nasi/sop/sayur/daging ada : 57 macam !!
Saya sampai tiga kali menghitung jumlah masakan itu, penasaran
apakah saya engga salah hitung saking banyaknya yang disajikan itu.
Masakannya juga banyak yang unik :
- crisp young cucumber
- sea weed
- deep fried local ginseng.

Melengkapi makan malam unik itu, terdengar suara musik tradisional
Dali yang dimainkan sekelompok pemain musik,
sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi kami semua.


.

Tuesday, August 9, 2005

WuLingYuan Scenic Area - ZhangJiaJie




Huangshi Village - WuLingYuan Scenic Area :

Inilah kawasan wisata ternama yang merupakan highlight tour
kami di propinsi Hunan.
Dengan kota Zhang Jia Jie sebagai kota terbesar, kawasan wisata
WuLingYuan ini yang mempunyai 12 scenic area - di tahun 2002.
mampu menyedot 7 juta turis !!.

Di wilayah ini ada 400 hotel (20 berbintang) dengan 30.000 bed,
restoran dan ada 50 travel agencies - membuktikan tingginya daya
tarik dari wilayah yang juga masuk Unesco's World Heritage .

Sekitar jam 20.30 kami baru mendarat di airport Zhang Jia Jie,
karena sebelumnya pesawat delay lebih satu jam di airport Changsa -
tapi fihak airline cukup bertanggung jawab dengan memberikan
makanan dan minuman dalam kotak.
Setiba di dalam kota Zhang Jia Jie, langsung menuju restoran untuk
makan malam, lalu ramai2 menyebrang jalan masuk ke hotel.
Kami juga diberitahu untuk hati-hati kalau berjalan di pertokoan
dekat hotel - banyak pencopet katanya.
Wuah, katanya tempat wisata terkenal , koq kayak gini.

Hotel International tempat kami menginap - bintang 4 dan besar,
dan tampak lobbynya penuh tamu.
Tapi kami menjadi bengong karena diberitahu bahwa dari rencana
tiga malam menginap disitu ternyata jadinya hanya semalam saja,
karena esoknya kamar hotel akan dipergunakan pejabat RRC,
jadi kita esok pagi harus angkat koper pindah ke hotel lainnya.

Waduh !, tadinya udah terfikir bakal bisa relax ternyata kembali
harus repot bongkar pasang koper lagi.

Esok pagi kami sudah menuju bus dengan bersemangat karena hari
itu akan melihat pemandangan alam pegunungan yang dalam VCD
terlihat sangat indah seperti halnya di HuangShan.
Setelah berkendara sekitar satu jam sampailah di satu scenic area :
Huangshi Village.

Turun dari bus, berjalan kaki santai sekitar 15 menit untuk mencapai
terminal shuttle bus yang akan membawa kami ke stasiun cable car.
Pemandangan sekitar sudah menarik karena suasana pegunungan
yang bentuk gunungnya unik - tinggi langsing, asri hijau dimana mana.

Pengunjung juga kelihatan lumayan banyak, tapi saat antri masuk ke
stasiun cable car kami bisa langsung naik karena kebetulan sekali
saat itu rombongan turis lainnya belum datang.

Cable car-nya unik karena tidak saja tiap gondolanya bisa memuat
sekitar delapan orang berdiri, juga tiga buah gondola-nya sekaligus
disatukan nempel berjejer sama lain sehingga sekali jalan banyak
yang bisa diangkut.

Cable car naik dengan kecepatan 9 meter/detik, dan segera saja
tampak pemandangan yang aduhai - kami melayang didekat gunung -
gunung yang tinggi langsing dengan aneka bentuk yang indah.

Puncak gunung-gunung itu diberi nama yang cantik2 pula :
- Flying Cloud Cavern.
- Five Finger Peak.
- Goddess Scattering Flowers.
- Jade vase Peak.

Selintas mirip pemandangan di HuangShan, disana sini tampak
gunung batu curam dengan sedikit pohon tumbuh dari sela-sela
dinding gunung.
Hanya disini lebih banyak pohon besar,sedangkan di Huangshan
lebih banyak pohon ukuran bonsai.

Setelah tiba di stasiun atas pada ketinggian sekitar 1300 meter,
maka kami kini berada di scenery area seluas 16,5 Ha yang bisa
dijalani dengan menapaki 3878 steps, berkeliling sejauh 3000 meter.

Tentu kami tidak sanggup sejauh itu, bukan saja makan banyak
waktu juga sangat berat jalan harus turun naik gunung.
Melihat undakan tangganya saja sebagian besar peserta sudah
pada angkat tangan.
Kami cukupkan saja menuju ke satu menara pemandangan yang
dibangun diatas sebuah gunung - dari atas menara kami bisa melihat
keliling gunung dimana tampak berbagai puncak gunung yang unik
dan indah itu.

Monday, August 8, 2005

Awas Kesenggol Topi Judge Bao !!


 


Awas Kesenggol Topi Judge Bao !!


Kai Feng adalah kota tua yang menyimpan banyak cerita kuno,
selain pernah menjadi ibukota Dynasti Sung selama 168 tahun -
juga menjadi ibukota pemerintahan dari 7 dynasti lainnya.


Saat paling makmur bagi rakyat adalah semasa Dynasti Sung itu,
penduduk kota ini sampai 1,5 juta orang -
sekarang penduduk Kai Feng malah tinggal separuhnya saja.


Sampai tahun 1954 kota ini menjadi ibukota propinsi Henan,
setelah itu ibukota pindah ke kota Zhengzhou.


Sekian tahun yang lalu di televisi Indonesia pernah ditayangkan
serial yang menarik yaitu kisah tentang Judge Bao - hakim yang
hebat, terkenal cerdik dan adil dijaman dulu itu.


Rupanya dia adalah salah satu walikota Kai Feng, yang karena
posturnya pendek  yaitu hanya 162 cm maka raja mengeluarkan
maklumat bahwa siapapun tidak boleh tersentuh/tersenggol
bagian topi Judge Bao yang berupa semacam pita kaku menjulur
setengah meter kekiri kanan. (foto pertama).
Siapa yang melanggar - kesenggol pita itu tak ampun akan
dihukum potong leher.


Perjalanan ke kota tua ini hanya setengah jam saja dari
Zhengzhou karena kami melalui highway yang mulus sekali.
Saat memasuki kota ini terlihat selain banyak sepeda juga
bangunan2 tua - antara lain gerbang kota kuno.
Cuma sayangnya bangunan2 modern juga banyak sehingga
agak mengganggu keindahan kota kuno ini.


Kebetulan sekali bus kami bisa parkir dekat gerbang masuk
Judge Bao's Temple, sehingga kami dapat jalan cepat2 untuk
segera berlindung didalam temple itu dari udara berangin yang
dingin sekitar 10 derajat.


Temple itu mempunyai taman dengan pohon2 dan bunga2 yang
indah (foto kedua) apalagi terletak ditepi danau yang bersih sekali.


Sayang sekali pemandangan diseberang danau adalah gedung2
bertingkat/modern yang mengganggu ke-kunoan kota lama ini.


Didalam komplek ada dua hal yang menarik, salah satu-nya
adalah sebuah diorama dengan patung-patung lilin yang sangat
terlihat begitu hidup.
Luar biasa - bagus sekali memakai kostum kuno, mukanya
sangat hidup sekali - saya pikir buatannya tidak kalah dari
patung lilin Madamme Tussaud.


Belasan patung ini memperlihatkan Judge Bao sedang mengadili
seorang laki-laki yang menelantarkan anak istrinya karena diam-
diam kawin lagi dengan putri raja yang sangat cantik.


Yang lainnya adalah satu papan batu hitam, dimana terukir nama-
nama para walikota yang pernah memerintah di KaiFeng, termasuk
nama Judge Bao yang lahir di tahun 999.
Judge Bao meninggal pada usia 64 tahun.


Para pengunjung menggosokkan jari ke nama Judge Bao yang
terukir di batu hitam itu.
Konon kalau jarinya menjadi hitam maka berarti punya kesalahan
berat dalam hidupnya.
Saking banyaknya yang menggosokkan jari ke bagian nama
Judge Bao itu, maka bagian nama Judge Bao tidak saja terkikis
hilang, tapi juga bagian dinding batu itu sampai "ceglok" kedalam.
(foto ketiga).


 


 

Monday, August 1, 2005

Kisah Nyata : Bujugbuneng .............

 


Kisah nyata yang sangat menarik dari teman yang tinggal di Perth :
 
 
Pak Sindhi,
 
Seperti anda tahu, aku kembali ke Perth hari Minggu malam Senin
tgl. 25 /07/05 yang lalu.
Ternyata penerbangan dengan QANTAS ini membawa pengalaman
baru bagi kami ( istri & cucu 7 thn ).
 
Begini ceritanya :
Kami bertiga berangkat ke Cengkareng hari Minggu jam 10 malam,
seperti biasa check-in dll
 
Masuk ke kapal jam 00.35 (pagi) dan kapal take-off tepat jam 01.05
pagi.(jam 02.05 waktu Perth/WA).
Perjalanan akan menempuh jarak 4 jam terbang.
Dicabin kita ‘tidur2-ayam’ dan jam 03 kita dibagikan makanan
(makan sahur kali ya?),
dan apesnya kita berdua tidak dapat jatah makanan,
- entah pramugarinya lupa atau sengaja - aku dan istri jadi bengong aja.
 
Untung cucu sudah lebih awal dikirimin kids mill,
kebetulan istri juga ogah makan sahur, cucu juga tidur nyenyak,
aku dah yang ngembat kids mill-nya cucu.
 
Dengan perut agak ngambek karena kurang supplies-nya,
aku nonton film humor QANTAS dan mencoba untuk tidur.
 
Mungkin aku tidur selama 1 sampai 1½  jam aku bangun ketoilet untuk
 ‘buang hajat kecil’ dan melihat jam tanganku waktu sudah jam 06.05
(waktu Perth/WA), tapi pesawat masih terbang dengan kecepatan tinggi,
tanpa ada tanda2 mau mendarat -
juga tidak ada announcement dari si Pilot.
Aku sudah mulai waswas kemana kita dibawa terbang?.
 
Jam 06.25 baru si Pilot bekoar : karena fog pesawat tidak bisa mendarat.
Dalam pikiranku masa International Airport seperti Perth tidak ada
peralatan untuk menanggulangi hal tsb.
 
Jam 06.35 si Pilot bilang : pesawat akan balik lagi keutara menuju kota
EXMOUTH dan akan landing di Pangkalan Udara Militer /
AUSTRALIAN AIR FORCE.  
 
Nah lu !!!  aku mikir lagi, ngapain kita dibawa keutara lagi dengan
jarak terbang 1½ jam dari Perth ? 


Aku mulai curiga ketika diumumkan, kita semua harus turun dari pesawat
dan masuk keruang tunggu sampai ada pengumuman lebih lanjut.
 
Sampai di EXMOUTH jam 07.30 yang ternyata jauh dari pusat kota
dan di Airportnya jangan kata ‘restaurant’, kantin aja kaga ada,  
(Aku rasa lebih besar airportnya kota Cirebon)
kami semua disuruh masuk diruang tunggu sebesar 10 M X  15 M.
 
Kami semua dilarang untuk keluar dari ruangan tersebut, dan didepan
pintu yang tertutup berdiri 2 orang polisi berseragam,
dan kami semua diberitahu harus menunggu 3 – 4 jam dengan alasan :
Mengisi ‘bensin’ pesawat yang sudah hampir habis.
Menunggu pilot baru yang akan datang dari Perth.
(pilot lama jam terbangnya habis)
 
Sesudah menunggu 2 jam minuman dingin mulai dibagikan, 2 jam
kemudian keluar jatah sandwich/roti bule untuk kita pangan rame-rame.
 
Sudah 4 jam tunggu punya tunggu belum ada tanda2 mau berangkat,
baru 2 jam kemudian (jam 13.30) baru kita disuruh masuk kepesawat
untuk take off. 
 
Jam 15.10 kami mendarat di Perth dengan perasaan lega meskipun
badan lelah dan otak dipenuhi segala macam pertanyaan.
 
Belum terjawab pertanyaan-pertanyaan itu kami semua disuguhkan
‘pertunjukan’ berikut :
 
Biasanya setelah pesawat landing, dan pesawat menuju tempat
 ‘parkir’, dan tanda/sign seat-belt dipadamkan,.
Kita semua berdiri mau ambil tas/luggage yang diatas kepala kita,
lagi kejutan dari pilot yang tidak mengijinkan kita berdiri alias
harus duduk diam.
 
Dari luar, masuk 4 orang Police WA lengkap dengan senjatanya
dipinggang,  mengambil/menciduk seorang penumpang,
yang seatnya berjarak beberapa bangku dari tempat aku duduk.
 
Baru setelah 5 menit kami diijinkan untuk turun/keluar dari pesawat
dengan seribu-satu pertanyaan dibenakku.
 
Dengan demikian (jam terbang : 7 jam) +  (menunggu : 7 jam) +
(dari rumah-airport-rumah : 4 ½ ) ;
total jendral = 18 ½  jam (sampe dah ke LONDON)
 
Aku penasaran dan mencoba mencari informasi via teman di Perth,
jawaban dari teman yang bekerja di travel bureau :
ada issue dipesawat terbang kami ada TERRORIST.
Bujugbuneng………..
 
Pak Sindhi satu hal yang aku imani,
aku lupa sembahyang waktu berangkat dari Jakarta,  Amin.
 


J&N
 

Friday, July 29, 2005

James Bond Island - Phang Nga Thailand


entah apakah pulau cantik ini tidak ikut hancur kena hempasan tsunami

James Bond Island - Phang Nga :

Dua puluh lima tahun yang lalu sebuah pulau kecil dipakai untuk
lokasi shooting film James Bond yang dibintangi Roger Moore,
berjudul The Man with the Golden Gun.
Sejak itulah pulau indah yang semula bernama Khao Ping Kan ,
menjadi tenar dan dijuluki James Bond Island.

Walau turis mengenal James Bond Island adanya di Phuket,
sebenarnya lokasinya bukanlah di pulau Phuket, tapi masuk
wilayah Phang Nga, yang berada di mainland Thailand,
sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Patong Beach kearah utara.

Saat meninggalkan pulau Phuket, bus melewati jembatan yang
panjangnya hanya 350 meter untuk tiba di wilayah Phang Nga
yang berada di mainland Thailand.

Phuket adalah sebuah pulau berukuran 48 kali 22 kilometer
yang unik - terputus dari benua Asia hanya oleh sebuah gap selebar
350 meter saja. Jadi pulau ini seakan-akan tetesan air yang mau lepas.
Kalau saja tidak terputus maka Phuket itu sebenarnya adalah sebuah
semenanjung yang menusuk laut Andaman.

Dan tidak lama kemudian kami sampai di sebuah dermaga kecil,
setelah memakai jaket pelampung, maka kami menaiki sebuah
longboat mesin beratap dengan kapasitas 30 orang -
kami duduk berdua-dua berdampingan.

Semula saya kira dermaga itu berada ditepian sungai karena airnya
berwarna hijau lumut menyeramkan, tapi ternyata sudah ditepi laut
yang dipenuhi hutan mangrove berupa pulau2 kecil yang bertebaran
disana sini.
Perahu kemudian berjalan cukup kencang diantara pulau2 tak
berpenghuni yang dipenuhi pohon mangrove/bakau.
Selama 20 menit perjalanan kami hanya melalui sela2 pulau yang
tidak enak dipandang itu, jarak antara pulau-pulau itu dari 10 meter
sampai 100 meter.

Walaupun merasa tegang, saya berusaha menahan diri untuk tidak
ngomong sama istri bahwa "apa iya engga ada buaya disini ?".
( belakangan ternyata istri saya juga punya fikiran yang sama).
Terasa tegang karena selain perahunya dari kayu, juga hanya sesekali
bertemu dengan perahu turis yang lain, padahal lihat kiri kanan hanya
pulau pulau penuh pohon bakau.

Akhirnya perahu meninggalkan kawasan hutan mangrove dan mulai
terlihat disana-sini dikejauhan pulau-pulau berupa bukit kecil yang
muncul mencuat dari permukaan air, selintas seperti di Halong Bay,
hanya disini bukitnya lebih besar (tapi tidak sebanyak Halong Bay).

Disebuah pulau yang agak besar ternyata ditengahnya ada gua yang
cukup besar sehingga perahu kami bisa molos melaluinya, saat
berada didalam gua terlihat banyak stalaktit diatap gua dan sempat
terkejut juga karena ada ular cukup besar yang melintas diair.

Dilaut yang sudah jauh dari pantai itu perahu berjalan makin ngebut
sehingga air sesekali masuk membasahi penumpang.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, terlihat sebuah pulau tinggi besar
- Khao Panya, yang menjulang tinggi diatas air, dan ada sebuah
perkampungan nelayan yang nempel dipinggir pulau itu.
Setelah mendekat barulah terlihat jelas bahwa perkampungan yang
disebut Kampung Muslim itu tidak dibangun diatas pasir pantai tapi
dibangun diatas tonggak yang ditancapkan kedalam laut.
Tidak ada rumah yang bisa dibangun di pulau itu, karena pulau yang
berupa bukit berdinding curam itu sama sekali tidak mempunyai pantai.

Kami mendarat disalah satu bangunan besar berderet yang rupanya
restoran diatas laut yang bisa sekaligus menampung ratusan tamu.
Makanan sea foodnya sih biasa saja, tapi perasaan makan diatas laut
sambil melihat daratan dikejauhan tentu meninggalkan kesan tersendiri.

Setelah makan siang, kami diajak berkeliling melalui lorong perkam-
pungan yang penduduknya dari etnik Melayu, kalau kami tidak melihat
kekolong rumah tidak terasa bahwa kami berada diatas laut.
Memang sebagian besar dari puluhan rumah itu dibangun memakai
bahan sederhana seperti papan, tapi ada juga beberapa yang mem-
punyai dinding dari tembok bata/semen.
Ada sebuah sekolah yang terdiri dari beberapa kelas, dan ada lapangan
olahraga yang lantainya disemen, dan uniknya saya lihat rumah-rumah
itu mempunyai meteran air dan listrik.
Sebuah mesjid dengan kubah warna keemasan juga terdapat diper-
kampungan yang kabarnya dihuni sekitar 400 jiwa itu, mereka hidup
dari turisme dengan membuka restoran dan menjual souvenir.

Perjalanan dilanjutkan sekitar 15 menit dan sampailah di JamesBond
Island, yang terletak cukup jauh dari pantai Phang Nga itu.
Terlihat ada dua bukit/pulau agak besar yang berdekatan dan di selat
antara kedua pulau tampak muncul sebuah bukit kecil yang bentuknya
seperti kuku - unik dan cantik sekali, yang bernama Ko Tapu.
Bentuk yang unik itu terbentuk karena pulau batu kapur itu selama
sekian lama tergerus angin dan hempasan air laut.

Perahu bisa mendarat di pulau yang agak besar karena ada pantai yang
berpasir putih dan terlihat disitu sudah banyak pengunjung yang antri
berfoto dengan latar belakang Ko Tapu - pulau kecil yang cantik itu.
Kami bisa berkeliling pulau walau agak sulit karena naik turun tangga
yang ada sepanjang lereng bukit, dan juga bisa melihat stalaktit yang
terus meneteskan air.

Yang menakjubkan adalah bukit yang terbelah dua dari puncak sampai
kedasarnya, dinding bukit yang terbelah itu rata sekali seakan akan
sepotong keju dipotong dengan pisau yang tajam.
Bagian dinding yang terbelah itu dasarnya tergeser cukup jauh dari bukit
induknya, tapi bagian atasnya seakan menyender kebagian bukit asalnya.
Unik sekali dan pengunjung bisa lewat diantara belahan bukit itu dan
memasuki sebuah cave yang buntu.

Perjalanan pulang, kembali boat ngebut diatas air laut yang sedikit saja
berombak, lokasi laut yang berada di teluk yang terbentuk karena
adanya pulau Phuket, membuat laut disitu terlindung dari angin barat
Samudra Hindia - kabarnya dibulan November - Januari permukaan
laut bisa begitu tenang datar seperti meja saja.


Foto2 James Bond Island/KhaoPingKan :
1. Pulau kecil yang bentuknya sangat unik dan indah (Ko Tapu).
2. Longboat saat mendarat di pantai.
3. Pantai berpasir putih.
4. Stalaktit yang terus meneteskan air.
5. Bukit terbelah yang menakjubkan.

6. Peta Phuket - Phang Nga - Krabi.
Terlihat KhaoPingKan yang terletak di bagian utara sekali teluk dan
terhalang dari Indian Ocean oleh pulau Phuket -
mestinya tidak terkena hempasan langsung Tsunami, tapi selama
ini tidak ada berita apakah pulau itu dan juga Kampung Muslim
hancur kena Tsunami seperti halnya pantai barat Phuket dan
juga PhiPhi Island (yang terletak di Laut Andaman dan tidak
terhalang oleh pulau Phuket).

Thursday, July 28, 2005

Stalheim - Norway, Summer 1995.




Stalheim - Norway


Setelah meninggalkan kota Bergen, kami menuju kekota
Stalheim dimana nantinya akan naik ferry menelusuri Sognefjord -
yang saking panjangnya dijuluki King of Fjord - 120 Km.

Sesampai di Stalheim, kami diajak memasuki sebuah hotel,
dan ternyata pemandangan dari halaman belakang hotel -
luar biasa cantiknya.
Kesatu sisi kami melihat dinding gunung yang hijau asri dengan
rumah2 penduduk yang damai sekali, sedangkan pandangan
kearah sisi yang lain adalah jurang yang spektakuler cantiknya.


Wednesday, July 27, 2005

Sumur Jolotundo - Dieng


perhatikan air di pojok kanan - diantara rontokan dedaunan diatas air - ada batang kecil warna putih - itulah jenasah orang Perancis, dalam posisi telungkup, kepalanya agak masuk kedalam air, jadi yang kelihatan adalah punggung, bokong dan pahanya.

Sumur Jolotundo - Dieng Jawa Tengah.

Desember 1974 :

Saat berada di dataran tinggi Dieng, setelah mengunjungi
banyak tempat eksotis seperti Kawah Sileri - Gua Semar -
Telaga Pengilon - Kawah Sikidang - sopir yang membawa
kami memberhentikan kendaraan dikaki sebuah bukit.
Rupanya guide lokal yang menyuruhnya berhenti -
ayo kita turun lihat Sumur Jolotundo, katanya.
Dia bercerita bahwa Sumur Jolotundo ini adalah tempat
pertapaan Nagagini.

Kami lalu mendaki bukit yang tidak terlalu tinggi, dan saat
mencapai puncak bukit - ternyata hanya ada tanah selebar
sekitar dua meter saja lalu sudah ada pinggiran dari sebuah
kawah mati yang dalam sekali.
Kawah itu memang mirip sekali sumur raksasa, diameternya
cukup jauh, dan airnya yang kehijauan tampak jauh dibawah.

Kami tentu sangat hati2 - tidak berani terlalu dekat dengan
pinggiran lubang yang dindingnya nyaris tegak lurus itu.

Lalu si guide menunjuk kearah air dibawah - lihat itu jenazah
orang Perancis yang terjatuh dua bulan yang lalu. Haaah !!??

Rupanya orang malang itu mencoba melempar batu ke
seberang kawah - dia tidak hati-hati dan terpeleset masuk
kedalam sumur .

Lho, kenapa engga diangkat ?
Mana bisa pak - dalam sekali, tidak ada alat yang memadai.

Abis gimana ?
Yah sering kayak gini pak, tiap tahun pasti minta korban,
malah sesekali anak penggembala yang jatuh.
Biasanya dibiarin aja karena nanti juga akan hancur sendiri
dan menghilang tenggelam kedalam air.

Jenasah pria Perancis itu, dalam posisi tertelungkup, pakai jeans,
kepalanya agak masuk kedalam air sehingga yang tampak jelas
adalah punggung dan bokong sampai pahanya..
Walau agak tertutup rontokan dedaunan - tetap cukup jelas.