Saturday, December 30, 2006

SANTORINI - Puisi Alam Nan Romantis.




Atlantis, legenda benua yang hilang tenggelam ke dasar samudera,
hingga kini masih jadi misteri.
Di mana letaknya, para peneliti mengarah ke lebih dari seratus lokasi,
mulai Mediterrania sampai ke Antartika. Termasuk Indonesia.

Saat ini dugaan keberadaan Atlantis mengarah kuat ke Santorini,
pulau paling selatan dari Kepulauan Cyclades yang berada di
Laut Aegean, Yunani.

Dahulu kala Santorini merupakan sebuah pulau gunung berapi besar,
tingginya 1.000 m dengan diameter 14 - 15 km.
Sekitar tahun 1550 - 1500 SM, gunung berapi itu meledak dengan tak
terperikan dahsyatnya, sehingga dijuluki :
The Most Violent Explosion in the History of the Earth.
Kerucut gunung terlontar dan separuh gunung runtuh, lalu tenggelam,
menimbulkan tsunami maha dahsyat setinggi 210 m yang menyapu
kawasan sekitar.
Akibatnya, peradaban Minoan yang saat itu sedang berada di puncak
kejayaan musnahlah sudah.

Kini, gunung berapi besar itu tersisa sebelah saja, bentuknya yang
semula bulat menjadi mirip bulan sabit.
Tinggi tebingnya tinggal 150 - 300 m saja.
Bekas kaldera sedalam 400 m sudah terisi air laut sehingga kapal
ukuran besar pun bisa leluasa keluar masuk ke dalamnya.

Panoramanya yang begitu unik, musim panas yang nyaman berangin,
ditambah daya tarik legenda Atlantis, membuat Santorini menjadi
tempat tujuan wisata musim panas yang didambakan banyak orang.

Keinginan saya menginjakkan kaki di pulau unik dan cantik itu
akhirnya terpenuhi pada Jumat sore, 7 Juli 2006.
Pesawat B737-400 Aegean Airlines lepas landas dari Bandara
El Venezuelo, Athena.
Penerbangan singkat hanya sekitar 30 menit, sehingga baru saja
pramugari membagikan minuman, mereka tergesa-gesa mengumpul-
kan lagi gelas bekas pakai.
Karena tiba di sana sudah menjelang malam, kami langsung menuju
Greco Tavern untuk bersantap. Makan malam terasa nikmat sekali,
bukan saja karena makanannya enak, juga karena rasa lega sudah
berhasil tiba di pulau cantik itu.

Kami bermalam di The Majestic, hotel berbintang lima yang berjarak
hanya 500 m dari Fira, ibukota Santorini.
Ternyata kaldera tepat berada di seberang hotel sehingga alih-alih
masuk kamar, kami semua malah menyeberang jalan menuju tepian
kaldera. Dalam keremangan malam, semua terpana melihat
pemandangan yang spektakuler.
Di depan kami membentang bekas kaldera, seakan sebuah circular
lagoon yang luas sekali. Pulau kecil Therasia dan Aspronisi tampak
di kejauhan melatarbelakangi kaldera.
Air laut yang memenuhi bekas kaldera seluas 32 mil persegi itu
berada jauh di bawah kaki kami, karena tepian kaldera tempat kami
berdiri tingginya sekitar 150 m dari permukaan air laut.
Sebuah kapal ferry meluncur pelan, lampunya gemerlapan, cantik
sekali, tampak kontras dengan kegelapan yang ditebar sang malam.


Esok hari, setelah breakfast, kami check-out dari hotel, naik bus
menuju Ancient Thera, permukiman kuno di atas bukit yang sudah
ada sejak abad ke-9 SM.
Setelah 20 menit berkendara, tibalah kami di Kota Kamari.
Kami turun untuk berganti mobil yang lebih kecil, agar bisa mendaki
Gunung Meso Vuono setinggi 369 m.
Semua penumpang tampak tegang, bukan saja karena jalan sempit
dan cukup terjal, tapi terutama karena tepian jalan itu tidak dipagari
pengaman.

Setelah 20 menit mendaki, tibalah mobil di ujung jalan itu.
Kami turun dari mobil dan ternyata sebagian besar teman
mengurungkan niat mengunjungi Ancient Thera.
Mereka tak sanggup harus berjalan kaki mendaki bukit yang terlihat
amat curam itu.
Dengan perlahan dan hati-hati sekali kami mendaki jalan setapak
berbatu itu agar tidak tergelincir, sambil repot menahan tiupan angin
yang sangat keras.
Tapi pemandangan ke arah bawah gunung sungguh cantik -
tampak pantai Kamari dengan payung pantainya yang berjejer indah
sekali, dan sesekali tampak pesawat terbang di kejauhan terbang
melintas menuju bandara.
Setelah mendaki dengan susah payah sekitar setengah jam, tibalah
kami di puncak gunung, tempat bertengger kota tua itu.
Ancient Thera tentu tinggal reruntuhan bebatuan saja, tapi beberapa
relief masih tampak jelas, seperti singa yang melambangkan Apollo,
elang (Dewa Zeus), dan lumba-lumba (Poseidon).


Perjalanan kami berikutnya menuju Oia, untuk melihat kota kecil
yang disebut One of the Most Beautiful Places on the Island.
Di kota ini rumah dibangun pada dinding tebing kaldera.
Maka posisinya unik sekali, rapat bersisian dan susun menyusun -
halaman depan rumah yang satu menjadi atap rumah berikutnya.
Ada pula rumah yang berupa troglodyte karena dibangun dengan
cara melubangi dinding tebing volkano. Ini rumah kaum miskin
yang bisa dibangun dengan biaya murah.
Bahan bangunan pun diambil dari bebatuan vulkanik yang banyak
tersedia di sana seperti black stone, red stone, pumice, ash, dan
puzzuolana (semen volcanic rock).

Turun dari bus, kami menapaki jalan kecil yang beralaskan
pecahan marmer, dan berjalan turun naik melewati rumah yang
bentuknya sangat tidak beraturan.
Ada tangga yang begitu curam sehingga kalau dilihat dari bawah
seakan menuju ke langit saja.
Di antara rumah-rumah, kami mendapatkan pemandangan ke arah
kaldera yang luar biasa indah, yang membuat napas terhenti
sejenak.
Di latar depan tampak atap rumah aneka bentuk berwarna putih
diselingi kubah bulat gereja berwarna biru, sedang di latar
belakang menghampar permukaan air laut kaldera yang berwarna
biru gelap -
sangat kontras dan menyihir mata - luar biasa indahnya.

Bersama begitu banyak turis, tak bosan-bosannya kami
menyusup ke sana kemari di antara rumah-rumah itu untuk
mendapatkan berbagai sudut pandang ke arah kaldera,
sambil sesekali mampir ke toko suvenir.
Banyak pula turis duduk santai di berbagai kafé, sambil
meresapi pemandangan indah yang membuat mereka jadi
malas beranjak.

Di akhir perjalanan kami menyambangi Fira, ibukota Santorini
yang dibangun di atas bibir tebing kaldera, pada ketinggian
sekitar 260 m dari permukaan laut.
Arsitektur spektakuler Kota Fira berupa rumah putih yang
tampil mencolok terhadap gelapnya kaldera, membuat Fira
dipromosikan sebagai :
One of the Most Breathtakingly Beautiful Places on the Earth.

Memang di sinilah tempat paling bagus untuk bisa memandang
ke seluruh lebar kaldera, dan di sini jugalah lokasi stasiun
cable car yang bisa membawa pengunjung turun ke dasar
kaldera, yang tepat di tepiannya membentang Meso Yialos,
pelabuhan Kota Fira, yang terletak tepat di bibir laut.

Saat gondola yang kami tumpangi perlahan-lahan menuruni
lereng yang sangat terjal itu, pemandangan sungguh sangat
dramatis mempesona.
Kalau pandangan ke samping tertumbuk pada dinding kaldera
yang curam dan berwarna warni, maka pandangan ke bawah
menampakkan kapal-kapal besar dan kecil berseliweran di
atas laut.
Keluar dari cable car, saya berada di atas dermaga sempit dan
di depan mata tampak air kebiruan dari laut luas sedalam 400 m
yang sebenarnya bekas kaldera.
Menengok ke atas tampak Kota Fira, kecil menyembul jauh
di atas tebing, sehingga sempat terbersit perasaan aneh
bercampur seram berada di dasar sebuah kaldera dari gunung
yang pernah meletus demikian dahsyatnya.

Sebenarnya, perjalanan kembali ke Kota Fira di atas tebing itu
bisa dengan cara menapaki tangga sebanyak 500 anak tangga
atau naik keledai tunggang yang pasti akan sangat berkesan.
Tapi karena waktu terbatas kami, memilih naik cable car lagi.

Menelusuri jalan-jalan di Kota Fira terasa sekali nuansa
kosmopolitannya. Begitu banyak turis lalu lalang, sebagian
memenuhi berbagai kafé, restoran, diskotik, dan pub yang saling
berlomba menawarkan pemandangan memukau ke arah kaldera.

Saat senja menjelang, kilau Matahari mulai redup, tapi
keheningan awal malam hanya bertahan sejenak, menyerah
kepada suara musik atau tawa ceria yang menyeruak dari
berbagai taverna, kafe, dan diskotik.

Santorini seolah tercipta untuk pasangan yang sedang dibakar
asmara. Keindahan alam yang begitu menakjubkan, berpadu
dengan keunikan bangunan kota, sungguh amat romantis.

Betul kata orang Yunani, berlibur di Yunani dengan teman
bolehlah ke mana saja, tapi kalau berdua dengan pasangan,
sudah pasti ke Santorini !



Note :

Cerita ini telah dimuat di kolom LangLang majalah Intisari,
edisi Nopember 2006.
http://www.intisari-online.com/majalah.asp?act=205&tahun=2006&edisi=520


Foto lengkap Santorini di : http://smulya.multiply.com

Greco Tavern : http://smulya.multiply.com/photos/album/136
The Majestic Hotel : http://smulya.multiply.com/photos/album/137
Ancient Thera : http://smulya.multiply.com/photos/album/138
Kamari Beach : http://smulya.multiply.com/photos/album/139
Oia : http://smulya.multiply.com/photos/album/140
Fira : http://smulya.multiply.com/photos/album/142

Monday, December 25, 2006

Hampir saja Kangaroo naik ke meja makan.




Minggu sore, 24 Desember 2006, jam 17.45 dibawah gerimis kecil
kami berempat berjalan kaki menuju Gereja St.Laurentius Jl.Sukajadi
Bandung, untuk mengikuti Misa Natal yang akan dimulai jam 18.00.
Kami santai saja karena tidak akan dipusingkan dengan urusan parkir
yang pasti akan sulit sekali, dan juga sudah pasrah bakalan tidak
kebagian tempat duduk didalam gereja.
Betul saja, boro-boro didalam gereja, di-teras gereja saja sudah penuh.
Kita ke Aula saja, kata Nuke - ternyata sami mawon -
sudah penuh sesak.
Naik lagi ke lantai atas aula, waduh kepala orang terlihat dimana-mana,
tapi untunglah pas benar ada empat kursi tersisa dibarisan depan.
Maka jadilah kami mengikuti Misa Natal, walaupun hanya dengan
melihat relay tayangan dari dalam gereja di layar lebar.
Misa berjalan dengan lancar dan hikmat sampai jam 20.00.

Kembali jalan kaki kerumah dan ambil mobil untuk pergi makan malam.
Dimobil sempat bingung, biasanya kan kalau ke Bandung selalu ingin
mencoba restoran yang baru, tapi ini sudah jam 20.30.
Kalau masih nyari2 restoran saat holiday begini, turun hujan pula bisa-
bisa kena macet dan jadi masuk angin karena telat makan.
Maka sepakat cari yang dekat saja, yah sudah ke Vienna saja kata
Nuke, ada live music juga disana tambahnya.

Kami pernah ke resto dijalan Sukajadi itu, suasana nya asyik tidak
sumpek karena didesign se-akan makan ditengah taman,
selain itu makanan yang disajikan selalu ditata dengan apik.

Memasuki resto, kami memilih meja favorit kami dibagian belakang,
dengan pandangan kearah tengah yang lapang dan dekat pepohonan
yang asri. Tapi sayang sekali ternyata malam itu tidak ada live music.

Menu yang ditawarkan unik-unik, aneka ikan dan daging, antara lain
Norwegian Salmon, Australian Veal, Lebanese Venison, dan Kangaroo !!.
Di menu tertulis Char Grilled Kangaroo - bistik daging Kangaroo
disajikan dengan tumis kentang tabur wijen, beetroot dan saus tarragon.
Tapi walau merangsang rasa ingin tahu, kami berempat tidak ada yang
tega memesannya, soalnya kebayang tuh anak Kangaroo mungil yang
ada di kantung perut induknya - masa kita makan emak-nya.

Nuke menawarkan mencoba The Hot Stone Steak, tertulis di menu :
Cook your own meat or fish on the hot stone to your like.
Pilihan dagingnya Norwegian salmon/Australian veal/Australian venison.
Tapi tidak jadi karena ragu apakah bisa memasak nya dengan baik.

Akhirnya saya tertarik dan memesan menu yang disediakan khusus
antara tanggal 24 Desember 2006 - 1 Januari 2007, yaitu :
Roasted Stuffed Turkey - Our special roasted US Turkey stuffed
with brunoise apple, served with tarragon potato and enriched with
berries sauce.

Yang lain memesan :
Seaweed Salmon yaitu grilled Norwegian Salmon served with
turning potato, apple chutney and lemon seaweed sauce.
Beef and Prawn on Skewer, bistik daging sapi haas lulur luar
dengan udang bakar, bawang bombay, paprika, dan saus spesial.
Filetto al Funghi Con Podomoro, bistik daging sapi haas lulur-
dalam disajikan dengan salada, roti prancis dan saus krim jamur.

Mungkin karena saat itu tamu tidak banyak, tidak lama pesanan
kami sudah datang dan betul saja ditata dengan begitu cantiknya.
Kebetulan ke empat jenis makanan itu beda2 warna sausnya,
ada yang berwarna hijau - merah - coklat dan putih susu.
Tampilan begitu cantik membuat kami sayang merusaknya,
dan rasanya juga enak, hanya sayang bistik pesanan istri saya
agak alot/melawan, terpaksa tukaran dengan Turkey pesanan
saya. Total kerusakan malam itu 205.000,-

Seperti biasa di setiap akhir long week-end, saya selalu pulang
dari Bandung masih siang, untuk menghindari macet di pintu tol
Padalarang. Maka esoknya, Senin siang jam 14.00 kami sudah
meninggalkan kota Bandung.

Tol Cipularang ramai sekali, dan memang berkendara di jalan
tol ini harus sangat hati-hati. Jalan kurang mulus, menurun dan
dibeberapa titik aspalnya tidak rata.
Saat itu turun hujan dan saya perhatikan dibeberapa tempat
ada air bercampur tanah merah keluar dari aspal - mungkin
rembesan tanah dari bawah aspal.
Jalan yang labil ini memang masih di bongkar pasang terbukti
ada badan jalan yang digali lagi, membuat jalan menyempit.
Siang itu saya hanya tersendat sedikit disitu, tapi teman yang
berangkat sore dari Bandung harus antri sekitar 6 kilometer.

Mendekati Cikampek, jalan tersendat dan terjadi kemacetan,
ternyata ada tabrakan beruntun yang melibatkan hampir
sepuluh mobil.
Terbayang luar biasa jengkelnya yang kena musibah itu,
pulang dari jalan-jalan harus mengalami kejadian yang
memusingkan. Bagian depan atau belakang mobil hancur dan
biasanya memicu pertengkaran sesama pengemudi karena
dalam tabrakan beruntun sulit menentukan siapa jang salah


Catatan :
Vienna Resto & Lounge
Jl. Sukajadi No: 205.
Bandung.
Telpon : (022)-2031277.

Wednesday, December 20, 2006

Jokes : Onions and Christmas Trees.

 



A family is at the dinner table.
The son asks his father,
"Dad, how many kinds of boobies are there?


The father, surprised, answers,
"Well, son, there's three kinds of breasts.
In her twenties, a women's breasts are like melons,
round and firm.


In her thirties to forties, they are like pears,
still nice but hanging a bit.
After fifty, they are like onions."


"Onions?"


"Yes, you see them and they make you cry."


This infuriated his wife and daughter so the daughter said,
"Mom, how many kinds of 'willies' are there?"


The mother, surprised, smiles and answers,
"Well dear, a man goes through three phases.
In his twenties, his willy is like an oak tree, mighty and hard.
In his thirties and forties, it is a birch, flexible but reliable.
After his fifties, it is like a Christmas tree."


"A Christmas tree?"


"Yes, dead from the root up and the balls are for decoration only."


 

Saturday, December 16, 2006

Mesjid Pintu Seribu - Kp.Bayur Tangerang, foto oleh Bpk.Eddie Karjono




Mesjid Pintu Seribu - Kp.Bayur Tangerang,
foto dibuat oleh Bapak Eddie Karjono,
pada tanggal 24 Agustus 2005.


Tentang Mesjid Pintu Seribu yang unik ini bisa dibaca di :

Mesjid Pintu Seribu - Kp. Bayur Tangerang
http://smulya.multiply.com/photos/album/13

Mesjid Pintu Seribu Kp Bayur Tangerang.
http://smulya.multiply.com/journal/item/22

Friday, December 15, 2006

Tiruan Terusan Panama di Sungai Cisadane.




Sungai Cisadane mengalir dari arah Bogor, melewati Serpong
dan kemudian tepi barat kota Tangerang, disini bercabang dua.

Cabang utama tetap lurus keutara dan akan melalui bendung
besar buatan Belanda yang disebut Bendung Sengego yang
terdiri dari 10 buah pintu air.

Cabang satunya lagi membelok kekanan - mengarah ke timur
menuju Pesing/Jakarta yang dikenal sebagai Kali Mookervart.
Diawal kali Mookervart ini ada dua buah pintu air, pintu air yang
pertama berupa pintu air Tunggal yang terdiri dari satu pintu air.

Tapi pintu air satunya lagi unik sekali, karena bisa digunakan
untuk melewatkan getek bambu atau perahu, mekanisme
kerjanya mirip dengan pintu air Terusan Panama.
Pintu air ini terdiri dari dua buah pintu air yang membentuk
sebuah kanal sepanjang 50 meter.

Kalau ada getek bambu mau melewati pintu air tersebut, maka
dengan perlahan lempeng besi pintu air pertama diangkat,
sehingga air sungai Cisadane masuk ke dalam kanal yang
berada diantara kedua buah pintu air tersebut.
Akhirnya air akan memenuhi kanal dan ketinggian air didalam
kanal menjadi sama tinggi dengan tinggi air dihulu pintu air
pertama dimana getek masih berada menunggu.
Sekarang getek bisa memasuki kanal dengan cara melewati
kolong lempeng besi pintu air, kemudian lempeng besi pintu air
pertama itu diturunkan kembali.
Lalu lempeng besi pintu air kedua pelan-pelan diangkat, maka
air dari dalam kanal akan lolos menuju ke hilir (kali Mookervaart).
Tinggi air didalam kanal pelan-pelan turun dan akhirnya tinggi air
didalam kanal sama dengan tinggi air di hilir pintu air kedua tsb
Lempeng besi pintu air kedua itu diangkat tinggi-tinggi dan kini
getek bambu dari dalam kanal bisa lewat dibawahnya, menuju
kali Mookervaart.

Sayang sekali keunikan kerja pintu air tersebut sekarang tidak
bisa lagi disaksikan.
Pintu air sudah macet tidak lagi difungsikan, dan getek bambu
yang dialirkan dari arah Serpong/Bogor itu kini diangkut pakai
truk menuju Jakarta.

Monday, December 4, 2006

Puncak, 0h Puncak.




Sebenarnya istri saya sudah lama pengen banget bisa ikutan
tiwok (tea-walk) di perkebunan teh Gunung Mas Puncak.
Tapi setiap ada yang ngajak, selalu saja waktunya tidak pas,
terakhir kali beberapa bulan lalu, saat liburan panjang - yang
selalu saya hindari . Lha, weekend biasa saja Puncak suka
macet parah, apalagi holiday.

Akhirnya kesempatan ikut tiwok terbuka pada hari Minggu
3 Desember 2006, ikutan grup jalan kaki pagi Tangerang.
Kami tidak ikut dalam rombongan yang pakai bus karena
setelah tiwok kami akan meneruskan ke Cianjur - ini akibat
ter-provokasi tayangan Wisata Kuliner pak Bondan tentang
Sate Maranggi Cianjur .
Lokasi shootingnya di Jalan Warujajar, jalan dimana nenek
saya almarhum bertempat tinggal.
Selain pengen nyobain sate itu juga bisa sekalian nostalgia
saat-saat masa kecil suka menginap di Cianjur sana itu.

Minggu jam 6 kami berdua berangkat, dijalan tol istri saya
mendadak nyeletuk : koq tumben kamu engga ngebut !.
Padahal speedometer menunjuk angka 120, OK deh di-
jejeg dah tuh pedal gas.
Alhasil sekitar jam 7 sudah sampai di lampu merah Ciawi.
Lalu lintas memang lancar, di lokasi biang macet seperti
Megamendung dan Pasar Cibulan malah super lancar.
Rupanya Puncak hari itu berbaik hati menyambut kami
yang setidaknya sudah tiga tahun tidak lewat sana.

Setelah membayar tiket masuk di gerbang Perkebunan Teh
GunungMas, kami memasuki komplek perkebunan teh itu
dan menemukan bus teman kami yang berangkat lebih pagi
dari kami juga baru saja tiba disitu.
Segera mempersiapkan diri, sekitar jam 8 dengan dipandu
seorang petugas, rombongan sejumlah 48 orang mulailah
berjalan kaki dalam penuh canda tawa.
Setelah melewati perumahan karyawan perkebunan, kini
memasuki kawasan kebun teh, dengan memilih jalur tiwok
yang ukuran menengah : 10 Km.
Jalan mulai menanjak, kami berjalan dengan santai, sayang
jalan yang dilalui beralaskan pecahan batu kali sehingga
pandangan mata harus sering kearah bawah agar tidak salah
injak yang bisa mengakibatkan keseleo.

Disepanjang jalur yang kami lalui, tidak ada satupun gubuk
tempat berteduh, kalau turun hujan memang bisa repot juga.
Sesekali saja kami bertemu dengan penjual minuman atau
rombongan lain, tetapi walau agak sepi tetap terasa aman.

Ternyata walau jalan-nya santai dan menanjak tidak terlalu
berat, tetap saja peserta berguguran.
Ada yang membelot - mengambil jalur tiwok yang Enam Km,
ada pula yang malah naik ojeg balik ke lapangan parkir.

Perjalanan memang menyenangkan, berjalan diudara yang
sejuk dan bersih, pemandangan yang serba hijau asri terasa
menyegarkan mata dan hati.
Akhirnya sekitar jam 10 semua peserta berkumpul kembali
di tenda yang sengaja disewa untuk beristirahat.
Setelah menikmati nasi kuning yang dibawa, sekitar jam 11
saya dan istri minta diri untuk berpisah.
Sebelum berangkat istri sempat beli kesukaannya :
Rujak Bebeg !, kayaknya buah2an seisi Kebun Raya masuk
semua ke lumpang kayu dan ditumbuk jadi satu.
Uenaak sekali kata istri saya, buah2an nya seger banget,
tiga rebu perak saja sudah rame banget.

Perjalanan melewati Puncak sampai ke kota Cipanas juga
sangat lancar, malah saat kami mampir di komplek villa
Cipanas Bersemi, dari sekian banyak villa disitu cuma satu
saja yang ada orangnya.
Sepi sekali terasa tidak nyaman, maka kami tidak jadi
beristirahat disana dan langsung menuju rumah adik sepupu
di jalan Warujajar Cianjur.

Adik saya ini menawarkan mengantar ke Sate Maranggi dan
restoran Sunda Rasa yang ditampilkan diacara Wisata Kuliner.
Dia juga bilang nanti kita ke Sate Maranggi lainnya yang ada
didepan Lapas Cianjur - lebih mahalan tapi lebih besar-besar
tusukannya dan lebih enak katanya.

Juga dia menawarkan melihat mata air ajaib di perumahan
Pesona Cianjur. Bulan lalu ada anak kecil iseng mengorek
tanah dipinggir kali, mendadak muncul mata air yang muncrat
setinggi beberapa meter.
Kejadian ini ditayangkan TV dan konon air-nya juga berkhasiat
dahsyat, penyakit sa-jagat raya bisa sembuh dengan air itu.
Wong anak autis saja langsung sembuh setelah minum air
ajaib itu katanya.
Maka berbondong-bondonglah orang datang dari mana-mana,
sampai ber-bus2 dan merepotkan Satpam perumahan.

Kami membungkus Sate Maranggi Warujajar, dan Sate Maranggi
didepan Lapas juga dibungkus saja, karena sudah sepakat akan
makan siangnya di restoran Sunda Rasa.
Padahal nasi uduk warna kuning dan lotek yang disantap tamu di
Sate Maranggi sebrang Lapas terlihat sangat menggoda selera.

Sunda Rasa lokasinya sekitar 6 kilometer arah ke Sukabumi,
cukup banyak tamu, tapi tidak lama pesanan kami sudah datang.
Sop kakinya memang sedap, pepes2-an nya juga enak2, dan
Goreng Kulit nya juga empuk.

Di perumahan Pesona, mata air itu adanya di perkampungan
penduduk di pinggiran perumahan.
Jadi kami harus masuk perumahan dulu, parkir dan diteruskan
berjalan kaki melalui lorong rumah penduduk yang sekarang
ekonominya jadi berdenyut, banyak yang berjualan macam2
termasuk jeriken untuk mengambil air ajaib itu.
Mata air di dinding tebing sungai sudah diturap dan airnya malah
dialirkan pakai pipa pralon kesebrang sungai untuk memudahkan
pengunjung mengambil airnya.
Lumayan banyak orang saat itu, tempat mengambil air dipisah
antara pria-wanita, karena ada juga yang langsung mengguyur
tubuh dengan air itu.

Tapi sayang istri saya tidak mau waktu saya tawarkan minum
air ajaib itu, padahal siapa tahu bukan saja jadi awet muda tapi
jadi muda lagi, he3.

Akhirnya kami pamit pulang, dan adik saya menganjurkan lewat
Padalarang - tol Cipularang saja, lha koq muter jauh lewat sana ?.
Daripada kena macet di Puncak katanya, orang Cianjur sih
lebih sering pakai jalur itu kalau ke Jakarta.
Ah tadi kan sepi banget, jadi rasanya bakalan lancar, maka
lewat Cipanas lagi saja dah.

Memasuki Cipanas memang lancar, kami sempat beli Pisang
Goreng restoran Sudi Mampir yang mantap sekali, karena
memakai pisang tanduk yang tua, empuk dan manis.
Saya tidak pernah melewatkan membeli kalau ke Cipanas,
Wimar Witoelar juga selalu mampir disitu kalau lewat.

Kami mampir juga di Roti Unyil Okeke, yang varian isinya
sampai 37 macam, termasuk Cappucino, dan isi durennya
duren beneran, bukan essence. Istri saya bilang rasa rotinya
lebih enak daripada yang di Bogor.

Saat tepat jam 16 akan meninggalkan Okeke, HP saja bunyi,
ternyata dari Iwan - teman di dalam bus rombongan.
Dia menawarkan gabung makan di Super Kitchen Serpong -
jam 17 katanya. Wah saya bilang kami masih di Cipanas nih.
OK, kalo gitu ditunggu sekitar jam 17.30 katanya.
OK deh, kalau ngebut rasanya keburu nih, kan jalan lancar.

Saat tiba persis di pertigaan Cibodas, koq mobil didepan
berhenti, kebetulan tidak jauh ada seorang Polisi Lalu Lintas,
saya buka jendela dan nanya :
Pak - koq macet yah ?
Iya, sudah nyambung !
Saya teriak lagi : Nyambung apaan pak ?
Yah ini, ekornya sudah sampai sini !
Astaga-naga !! - rupanya kemacetan sudah mulai dari Ciawi
dan ekornya sudah sampai kesini !!

Benar saja, berhenti total disitu, jadi lah saya parkir gratis
ditengah jalan kira-kira setengah jam.
Semua berhenti menunggu arus dari Ciawi habis dan akan
diberlakukan arus satu arah menuju ke Ciawi itu.
Saya telpon Iwan memberitahu batal join di Super Kitchen,
tentu tidak mungkin terkejar ikut makan bareng itu.

Sekitar jam 16.45 terdengarlah yang ditunggu-tunggu yaitu
sirene petugas penyapu lalu lintas, dan kini semua mobil
bergerak cepat sambil mengambil seluruh lebar badan jalan,
karena kendaraan dari arah berlawanan sudah tidak ada.
Sebenarnya tidak nyaman dan cukup riskan ikut dalam
arus seperti ini, rawan tabrakan beruntun, dan sering pula
dikagetkan oleh ulah pengendara sepeda motor yang mungkin
merasa mempunyai nyawa rangkap, mereka dengan bandelnya
berkendara melawan arus.

Memasuki Puncak jalan masih ramai lancar, tapi turun hujan
dan kabut tebal yang membuat harus lebih hati-hati lagi.

Eh, selepas Riung Gunung, arus tersendat dan berikutnya cuma
bisa pamer (padat merayap) sampai pertigaan Taman Safari.
Akhirnya sekitar jam 18.15 barulah memasuki jalan tol Jagorawi.

Jagorawi mula-mula sih lancar, tapi di Cibubur sudah "pamer" lagi,
minta ampun dah !.
Akhirnya saya tidak tahan lagi, rasanya dipintu tol Taman Mini
bakalannya antrian panjang sekali, maka belok keluar Jagorawi.
dan mengambil tol arah Bintaro.
Kini jalan lancar sekali, sekitar jam 19.30 tiba di Tangerang.

Kalau saja saya ikuti nasihat adik di Cianjur yaitu menuju ke
Padalarang dan masuk tol Cipularang, mungkin jam 18.30 sudah
tiba di Tangerang.

Puncak, oh Puncak, hebat amat daya tarikmu,
koq mau2nya orang tetap saja datang walau disiksa macam gini.


Catatan :

Roti Unyil & Kue OKEKE
Jl.Raya Cipanas No:8.
Telpon (0263)-517515 , Cipanas.
Jl. Raya Padalarang No:263.
Telpon : (022)-6805852. Ciburuy Bandung


Sate Maranggi/Nasi Uduk Kuning/Lotek
Rumahan - sebrang Lapas Cianjur.
Jl. Aria Cikondang - Cianjur.

Saturday, December 2, 2006

Nyaris tertimbun longsoran gunung batu - SongPan, Sichuan China.


view ke lembah HuangLong yang tertutup kabut sungguh cantik sekali

Tidak jauh dari kota SongPan - Sichuan Province, terdapat dua buah
lembah yang menjadi tempat tujuan wisata sangat populer di China.
Dilatar belakangi puncak pegunungan yang bersalju, didalam lembah
itu banyak terdapat danau dan air terjun yang spektakuler, serta
hutan yang menjadi habitat binatang yang sangat langka - Panda.

Itulah HuangLong Valley dan JiuZhaiGou Valley.
Berada diketinggian sekitar 2000-3000 meter kedua lembah ini sejak
tahun 1992 telah ditetapkan menjadi Unesco's World Heritage.

Karena kami tanggal 26 April 2002 itu berada di kota Zhengzhou,
maka perjalanan menuju SongPan diawali dengan terbang menuju
kota Chengdu yang terletak dibagian tengah selatan mainland China.
Dari situ dengan bus akan menelusuri pegunungan sejauh 320
kilometer sampai ke kota SongPan.

Karena akan melakukan perjalanan jauh, maka morning call di hotel
Zhengzhou ditetapkan pada jam 5 pagi, untuk kemudian jam 6.30
kami sudah harus meninggalkan hotel menuju airport.

Pesawat B 737 China Southern menempuh jarak 1100 kilometer
dalam waktu 1 jam 40 menit, dan mendarat dengan mulus di airport
ChengDu yang tertutup kabut, udara dingin sekitar 16 derajat.

Rombongan kami ber-20 orang itu segera bergegas naik bus dan
menuju kota DuJiangYan untuk makan siang.
Selesai makan siang sudah sekitar jam 14, kami diberitahu bahwa
perjalanan ke kota SongPan masih sekitar 8 jam lagi, itupun kalau
tidak kena macet katanya.
Maka diperkirakan sekitar jam 9 malam baru bisa tiba di SongPan,
untuk makan malam dan bermalam disana.

Mendengar ini kami deg-degan juga, karena perjalanan ratusan
kilometer sampai malam hari akan merayap diatas gunung tinggi
terpencil yang merupakan bagian selatan dari MinShan mountain.

Dipesan pula bahwa nanti setiba di SongPan jangan mandi malam,
karena dikota dengan ketinggian 2000 meter itu suhunya 2 derajat,
tentu info tambahan ini membuat hati kami semua makin ciut.

Kami pergi ke supermarket dulu membeli makanan kecil supaya
tidak kelaparan diperjalanan jauh sampai malam itu, dan barang
lainnya seperti baju dingin tambahan, sampai ada pula yang
membeli Oxycan untuk mengantisipasi udara tipis disana.

Berbeda dengan perjalanan dari ChengDu ke DuJiangYan yang
melalui highway mulus, ternyata perjalanan selepas kota
DuJiangYan tidak bisa cepat karena jalan hanya berupa jalan
antar kota yang lebarnya nge-pas untuk dua bus berpapasan.

Jalanan sejauh ratusan kilometer itu unik sekali, yaitu berada
didalam lembah sempit yang berada diantara dua deretan
pegunungan, dan sepanjang dasar lembah itu ada sungai yang
merupakan anak sungai YangTze.
Posisi jalan kadang berada di dasar lembah dekat pinggir sungai,
kadang-kadang tinggi sekali diatas lereng gunung sehingga
sungai menjadi terlihat kecil nun jauh dibawah.

Sopir yang membawa bus turis didaerah ini harus mempunyai
SIM khusus, mereka harus lulus persyaratan ketat, antara lain
telah berpengalaman menyetir selama 6 tahun didaerah ini.
Memang selain jalannya berbahaya, ternyata kira-kira separuh
jalan yang dilalui adalah jalan yang dibuat dengan cara memapas
tebing lereng gunung, akibatnya mobil berjalan ditepi jurang yang
dalam menyeramkan.

Sore hari kami memasuki kota MaoXian yang terkenal, karena
disanalah habitat asli Panda yang berada dialam bebas.
Kota ini masih dua jam perjalanan ke SongPan (120 km lagi).

Pemandangan kini makin menarik karena makin lama makin
tinggi diatas gunung dan sungai deras ber-batu itu kini tampak
makin kecil dibawah.
Jalan juga sepi mungkin selain berada di pegunungan yang
terpencil, saat itu sudah jam 19.15.

Mendadak saat bus kami keluar dari sebuah kelokan tampak
didepan ada dua mobil sedang berhenti.
Astagaaa - didepan mobil itu ada tumpukan batu2 besar !!.
Rupanya telah terjadi tebing longsor yang menutup jalan !!.
Terdengar pekikan2 kecil penumpang bus yang terkejut saat
menyadari ada halangan begitu besar didepan.

Setelah bus berhenti kami segera turun melihat situasi dan
bertanya pada pengemudi sedan dan bus kecil yang berhenti
sekitar 100 meter dari tumpukan batu-batu besar itu.
Mereka memberitahu bahwa longsoran baru saja terjadi
beberapa menit yang lalu .
Kami semua terdiam, membayangkan kalau saja kami tiba
beberapa menit lebih awal - bisa saja lolos dari longsoran
atau malah sebaliknya yaitu hancur tertimpa batu-batu besar
atau malah bisa terdorong masuk jurang sedalam ratusan meter.

Tidak mungkin kami bisa menyingkirkan batu-batu besar yang
ukurannya ada yang sampai sebesar mobil sedan itu.
Kecil pula kemungkinan mengharapkan alat-alat berat cepat
datang ke gunung yang begitu tinggi ini, lokasi longsor ini
jauh dari mana-mana.

Kami sebenarnya juga tidak boleh berlama-lama disana,
sangat berbahaya karena tempat kami berdiri dekat tebing
gunung yang terlihat sudah retak-retak.
Sekitar setengah jam kami berunding dalam penuh ketegangan,
akhirnya diputuskan untuk kembali saja kekota MaoXian untuk
menginap disana dengan biaya sendiri.

Sangat beruntung didekat tempat bus berhenti ada sedikit
pinggiran jalan yang memungkinkan bus bisa bermanuver
mundur maju dan berputar arah.
Segera bus menuruni gunung mengikuti mobil yang tadi
berada didepan kami.

Tapi setiba dikaki gunung, bus kami tiba-tiba membelok
mengikuti mobil yang tadi berada didepan itu, keluar dari
jalan raya untuk memasuki sebuah jalan kecil.
Rupanya pak sopir akan mencoba melalui jalan lama kearah
SongPan yang sudah lama tidak dipakai.
Jalan kecil itu tidak begitu terawat, lebarnya pas seukuran
lebar bus kami itu.
Jalan itu berada dekat sekali dengan sungai deras berbatu,
melewati daerah sepi yang tidak berpenduduk karena
merupakan dasar lembah.

Cuaca mulai gelap, ada beberapa kali kami berpapasan
dengan kendaraan yang rupanya karena terhalang longsor
mengambil jalur darurat itu pula.
Kalau berpapasan, maka mobil harus saling menepi dengan
sangat hati-hati sekali karena bagian tepi jalan itu bisa
sungai atau lubang.
Pernah istri saya hampir histeris karena ban mobil dibawah
tempat duduknya sudah setengah melayang diatas jurang
kecil akibat sopir bus terpaksa harus habis-habisan menepi
agar tidak bersenggolan dengan bus yang datang dari arah
yang berlawanan.
Disatu tempat ada jalan yang ditutup karena rusak berat maka
bus kami di kegelapan malam nekat turun ke sungai dangkal
yang penuh batu itu, sampai terdengar suara beledak beleduk
kolong mobil terbentur batu kali yang besar-besar itu.
(esoknya terlihat bumper bus sampai penyok2).

Di satu tempat yang sepi dan gelap mobil berhenti agak lama,
rupanya didepan ada pertigaan dan pak sopir bingung tidak
tahu harus ambil arah yang mana.
Kesal menunggu didalam bus kami turun dan ditengah gelap
malam yang lumayan dingin itu kami berdiri bengong pasrah.
Kami tidak tahu berada diposisi mana dan tidak tahu pula
apakah bisa terus ataukah harus balik lagi.
Semua benar-benar bingung.

Cukup lama menunggu dalam penuh kegalauan, mendadak
muncul truk proyek yang berbaik hati berhenti dan memberi
tahu arah yang benar
Bus meneruskan perjalanan, mulai terasa mendaki tebing
meninggalkan pinggiran sungai.
Kemudian semua lega karena mulai bertemu perkampungan
penduduk dan akhirnya sekitar jam 9 malam jalan kecil itu
tembus kembali ke jalan raya pada posisi sekitar 5 kilometer
lewat dari lokasi longsoran itu.

Bukan main tegangnya perjalanan digelapan malam selama
satu jam tadi itu .
Kalau sampai bus terjerumus ke sungai atau terjebak macet,
berarti kami harus menginap didalam bus ditempat yang
sangat sepi jauh dari pemukiman, ditepian sungai yang gelap,
apalagi belum makan malam dalam cuaca lumayan dingin itu.

Benar-benar kami merasa sangat lega dan bersyukur,
tadinya sudah hampir putus asa.

Perjalanan berikut sudah tidak mendebarkan lagi karena
sudah berada kembali dijalan yang mulus menuju SongPan.

Saat itu bulan purnama terlihat begitu indah menerangi gunung
dan sungai sepanjang jalan, tapi sebagian besar penumpang
tidak menikmati pemandangan indah itu karena sudah terlelap
dalam kelelahan.
Akhirnya jam 11 malam barulah bus tiba di kota SongPan.

Wilayah sekitar kota SongPan ternyata memang daerah rawan
gempa, beberapa hari kemudian dalam perjalanan kembali ke
Chengdu, didekat lokasi kami terjebak longsor itu kami melihat
tempat yang pernah terjadi bencana yang sangat mengerikan.
Saat itu kembali kami berada dilereng gunung dan terlihat jauh
dibawah ada sungai dan deretan danau yang airnya berwarna
kehijauan.
Di satu tempat yang berupa kelokan bus kami berhenti,
ternyata disitulah tempat pernah terjadi sebuah katastrofi :
pada tanggal 25 Agustus 1933, jam 15.50 terjadi gempa maha-
dahsyat berkekuatan 7,5 skala Richter.
Dalam beberapa menit saja kota ThieXi beserta 21 buah desa
suku bangsa Jiang (Ciang) hilang dari muka bumi.
Pusat kota yang berada dilereng pegunungan itu bergeser turun
sejauh 500 - 600 meter dan amblas masuk sungai, disusul
puncak gunung sekelilingnya ikut runtuh pula.
Dalam sekejap saja puluhan ribu jiwa penduduk kota itu tewas
terbenam karena amblas masuk ke sungai Ming, yang berubah
menjadi 11 buah danau antara lain danau ThieXi yang dalamnya
sampai 98 meter.

Kami tentu tidak berani berlama-lama berdiri ditempat dengan
riwayat yang mengerikan itu.
Bus kami kembali berjalan dan tidak lama kemudian melewati
daerah longsor yang menghambat perjalanan beberapa hari
yang lalu dan saat akhirnya bus meluncur memasuki kota
MaoXian - rasanya lega sekali.