Kota Lhasa dan dikejauhan tampak Istana Potala yang anggun
berada diatas bukit.
Istana yang eksotis dibangun megah diatas sebuah bukit ditengah kota Lhasa.
Hari kedua di Lhasa :
Tempat yang pertama dikunjungi tentu Istana Potala -
tempat eksotis inilah yang menarik kami untuk datang ke Tibet .
Istana yang dulu milik Dalai Lama ini, berada di tengah kota Lhasa,
dibangun diatas sebuah bukit ( yang sangat jarang ada disana), dan
didepan istana itu ada sebuah lapangan yang luas.
Istana Potala bentuknya anggun, seakan sebuah benteng diatas bukit,
bagian bawahnya berwarna putih dipadu warna merah - coklat di
bagian atasnya.
Bagian istana yang berwarna putih itu bukan bagian religius dari istana,
tetapi merupakan bagian pendukung istana dimana ada dapur, perumahan
dan lain2.
Sedangkan bangunan bagian atas istana yang berwarna coklat adalah
bagian suci istana dimana terdapat ruangan2 tempat patung dewa2 dan
kitab suci disimpan - termasuk ruangan audiensi dimana ada singgasana
Dalai Lama yang terkenal itu, dan tentunya tempat tinggal Dalai Lama
sendiri.
Istana Potala ini merupakan istana musim dingin, istana musim panasnya
yang juga ada di kota Lhasa , dinamakan Norbulingka - yang juga masuk
dalam rencana tempat yang akan kami kunjungi.
Memasuki komplek Potala itu, rupanya turis asing mendapat perlakuan
istimewa, kalau wisatawan lokal harus berjalan kaki mulai dari arah depan
istana, yaitu dari bagian benteng yang paling bawah kemudian harus naik
tangga mendaki bagian2 istana yang lumayan tinggi ber- tingkat2 itu,
sedangkan kami boleh naik bus yang mendaki bagian samping kanan istana
sampai dipertengahan tinggi benteng itu.
Disitu kami harus turun dari bus, diteruskan berjalan kaki mendaki jalan
yang ada dibagian luar benteng menuju kebagian belakang istana -
dimana ada sebuah pintu, yang rupanya pintu belakang istana.
Sebelum memasuki istana kami dipesan untuk mempersiapkan diri dulu
antara lain agar mentaati berbagai larangan misalnya memotret, apalagi
shooting video.
Melanggar larangan itu akan dikenai denda besar :
90 yuan kalau ketahuan mengambil foto dibagian istana yang terlarang
dan untuk video dendanya sampai sebesar 900 yuan,
dan tentu saja fotonya disita.
Juga kami dianjurkan ke Toilet dulu karena didalam istana tidak ada.
Maka kami memasuki Toilet yang rupanya seperti kebanyakan WC umum
di Cina : tidak tersedia air.
Hebatnya melalui lubang toiletnya kita bisa melihat dasar jurang nun jauh
dibawah - maklum saja WC itu dibuat menjorok di tebing bukit curam
yang lumayan juga tingginya.
Lubang WC itu hanya berupa lubang yang dibuat dilantai semen, dengan
ukuran lebarnya sejengkal dan panjangnya 50 cm .
Jadi apa yang kita buang melalui lubang WC itu akan langsung terjun bebas
menuju kaki bentengan ini; tapi tentu aman-aman saja karena lokasi WC itu
tidak dibagian depan benteng yang banyak orang lalu-lalang .
Kami mulai memasuki pintu belakang yang sempit, dan mulailah perjalanan
sepanjang lorong sempit yang sedikit penerangan, belok kiri-kanan dan terus
mendaki, masuk keluar berbagai ruangan dari bagian istana yang dari luar
terlihat berwarna coklat .
Ruangan2 itu juga tidak terlalu luas, didominasi warna merah-coklat-kuning,
dibeberapa tempat kami harus agak berdesakan karena banyak pengunjung
yang kelihatannya penduduk setempat yang datang untuk bersembahyang.
Dalam ruangan2 itu banyak terdapat ber-macam2 patung Budha, Kwan Im,
berbagai Dalai Lama ( kecuali yang terakhir/yang hidup di pengasingan ),
dan banyak sekali kitab suci yang kelihatan sudah kuno/lusuh sekali.
Disatu ruangan tampak kitab2 suci ditaruh berderet disepanjang dinding
bagian atas, kita bisa berjalan dibawahnya, katanya siapa yang berjalan
sambil agak merunduk dibawahnya akan mendapat Hokkie.
Beberapa teman termasuk teman Surabaya itu terlihat sangat khusuk ber-
sembahyang diberbagai ruangan itu dengan menggunakan hio ukuran besar2.
Kami dipesan untuk tidak lepas dari rombongan karena istana luas sekali,
banyak sekali lorong-lorong dan ruangan, yang memang membingungkan
karena terlalu banyak arahnya apalagi saat itu cukup banyak pengunjung.
Akhirnya kami memasuki satu ruangan agak luas, tapi penerangannya tetap
kurang terang, disitu terlihat banyak tempat duduk berupa deretan bangku
pendek yang dilapisi kain warna kemerahan.
Dan didepan deretan bangku itulah terletak singgasana Dalai Lama !!
Walaupun niat kami berfoto didepan singgasana begitu menggebu, tapi
tidak mungkin kami berani curi2 ambil foto.
Selain banyak CCTV (closed circuit TV) yang memonitor setiap ruangan,
juga banyak Lama yang bertugas mengawasi setiap pengunjung.
Tiba-tiba saya lihat teman Surabaya kami, mengeluarkan dari tasnya
berbagai macam barang antara lain Sabun - Sikat Gigi, ( rupanya diambilnya
dari kamar hotel) dan beberapa buah celana pendek putih yang masih baru.
Sempat saya keheranan - mau diapain barang2 itu, ternyata diberikannya
kepada beberapa orang Lama yang bertugas menjaga di ruangan itu.
Mereka terlihat girang sekali, dan surprise !! - mendadak kami
diperbolehkannya berfoto disana, dengan satu syarat :
memakai satu buah kamera saja.
Tanpa pikir panjang lagi segera kami mejeng bergantian berpose didepan
singgasana Dalai Lama itu, kesempatan langka ini sayang kalau dilewatkan.
Sampai sekarang saya masih bingung, koq bisa2nya teman Surabaya ini
mempunyai kiat yang begitu jitu - pantas saja dagangnya maju.
Setelah ruangan audiensi itu, barulah kami keluar dari ruangan2 yang gelap
dan mencapai bagian puncak istana Potala.
.
Bagian atap dari puncak istana itu lantainya terbuat dari semacam tanah liat putih
yang dipadatkan dengan cara ditumbuk2 memakai semacam batu bulat tipis yang diberi tangkai sebuah tongkat panjang.
Asyik juga menyaksikan wanita2 Tibet yang sedang bekerja me-numbuk2
lantai sambil bernyanyi bersama - semua itu boleh kami rekam dengan
foto/video camera karena atap istana itu bukan daerah yang suci.
Pemandangan dari atap istana ke seluruh kota Lhasa lapang sekali
karena hanya lokasi istana inilah yang berupa bukit.
Sejauh mata memandang sampai kekaki pegunungan yang cukup jauh
hanyalah dataran saja - terasa aneh ditempat begini tinggi ada plateau
yang begitu luas dan panjangnya sampai puluhan kilometer .
Saya sempat mengira bisa melihat Mt.Everest dari lokasi itu , tapi ternyata
puncak tertinggi didunia tersebut masih berjarak 600 kilometer dari Lhasa.
Setelah puas berfoto dipuncak istana, mulailah jalan lagi mengarah keluar
istana, perjalanan santai karena berjalan menurun, dan tidak lagi keluar -
masuk ruangan2 yang agak gelap tadi, tapi melalui ruangan besar2 yang
dari luar terlihat berwarna putih yang digunakan untuk tempat tinggal para
Lama , dapur dan lain2.
Akhirnya keluar dari komplek istana, menuruni tangga luas menuju bus
kami yang sudah menunggu dikaki istana Potala.
foto2 bisa dilihat di :
http://smulya.multiply.com/photos/album/16
bersambung bagian ketiga : Mengunjungi berbagai Monastery di Lhasa.
Atap Dunia - Tibet.
Part 1 : Tiba di Lhasa
Perjalanan keliling China tahun 1999 , kembali rutenya hasil rancangan
istri saya bersama temannya yang biasa membawa rombongan ke China.
Kali ini highlight-nya adalah ke Tibet dan Silk Road, selain juga ke :
Kunming - Emeishan - Leshan - Chengdu - Xian - Guilin dan Guangzhou.
Tentu saja perjalanan yang memakan waktu sekitar 3 minggu ini cukup
melelahkan, banyak memakai pesawat terbang , take-off-nya saja sampai
14 kali !!
Dan uniknya perjalanan ini banyak "waduh"-nya.
( berbeda dengan "wah" yang muncul kalau kita kaget tapi senang -
maka "waduh" itu tercetus kalau kita kaget dan disusul hati jadi ciut ).
Waduh yang pertama muncul sewaktu teman istri saya itu ( yang sangat
berpengalaman dalam meng-guide ke China ) - hanya seminggu sebelum
keberangkatan memberitahukan bahwa dia tidak bisa berangkat karena
ibunya sakit keras.
Dia digantikan oleh suaminya yang notabene tidak berpengalaman urusan
guide-meng-guide ini, dia hanya fasih berbahasa China saja.
Tentu saja hal ini bikin bingung karena perjalanan saya ke China kali ini
bukan menempuh rute yang umum.
Jarang ada biro tour yang menawarkan perjalanan ke Tibet dan
Silk Road, karena peminat biasanya tidak banyak.
Kami bisa berangkat inipun karena aktif menawarkan kepada orang
yang kebetulan mempunyai minat yang sama.
Maka kalau tour leadernya bukan orang yang berpengalaman tentu
bikin hati jadi ciut.
Perjalanan ini begitu panjangnya, maka saya hanya menceritakan
tentang Tibet dan Silk Road saja.
Tibet :
Untuk bisa memasuki wilayah Tibet lewat udara, penerbangan international
ternyata hanya bisa dari Nepal.
Semula kami merancang memakai jalur ini - tapi akhirnya batal, karena
ternyata terlalu banyak prosedur yang merepotkan.
Maka diputuskan memakai penerbangan domestik China saja, yang bisa
terbang dari kota : Beijing, atau Chongqing, atau Xian, atau Chengdu.
Kami pilih Chengdu - karena paling dekat , hanya butuh 2 jam terbang
saja mengarah ke barat.
Di kota Chengdu, kami diberitahu bahwa pesawat esok akan take-off
jam 7.00 pagi, wuaaah berarti morning call jam 4.30 !!.
Tentu peserta ada yang mengeluh : ngapain sih pilih penerbangan yang
begitu pagi !! - kenapa engga yang agak siang saja, kan engga nyaman
harus bangun sepagi itu.
Ternyata memang penerbangan kekota Lhasa itu harus pagi2 sekali ,
landasan airport disana berada diketinggian sekitar 3700 meter yang di
siang hari sering tertutup kabut; maka diusahakan pagi2 sudah sampai
disana sebelum datang kabut menutupi landasan..
Kalau kita ingat tinggi puncak Gunung Semeru yang merupakan gunung
tertinggi di pulau Jawa adalah 3676 meter, maka mendarat di landasan
airport Lhasa sama saja seperti mendarat di puncak gunung Semeru !!
Mengingat tingginya kota Lhasa itu maka kami semua diberitahu untuk
mempersiapkan diri akan menghadapi udara yang tipis Oksigen -
saya lihat pimpinan tour membawa Oxycan (O2 dalam kaleng).
Selain itu diumumkan pula bahwa berbeda dengan tour ke tempat2 lain,
yang kalau biasanya setiba di suatu tempat langsung city tour,
maka rombongan nanti setiba di kota Lhasa - walau masih siang -
tidak ada city tour !
Rombongan akan langsung dibawa ke hotel dan diharuskan istirahat
menyesuaikan diri dengan kondisi tipis Oksigen itu.
Walau hati agak ciut juga mendengarkan berita-berita serem gitu,
tapi tentu semangat kami tetap tinggi karena kami sudah ngebet sekali
ingin sampai ke tempat eksotis yang disebut "atap dunia " itu.
Tanggal 29 Agustus 1999 jam 5 pagi, bus kami sudah meninggalkan
hotel menuju airport Chengdu.
Udara masih gelap dan kabut dimuka bus begitu tebalnya sampai bus
berjalan sangat pelan karena lampu-nya hanya bisa menembus
belasan meter saja.
Fikiran saya melayang ke cerita kemarin, kalau disini saja kabut
sudah setebal gitu - gimana di Tibet sana ??
Check-in tidak ada kesulitan dan kami memasuki boarding lounge
airport yang berupa hall besar yang sederhana, dan alamak !! -
diumumkan penerbangan delay akibat kabut masih tebal menutupi
landasan (entah sudah berapa kali "waduh" sejak kemarin tuh).
Setelah sejam menunggu, pada jam 8 pagi diumumkan penumpang
boleh boarding masuk pesawat, dan surprise sekali karena pesawatnya
ternyata Airbus A 340 yang bagus dan besar.
Tempat duduk penumpang sebarisnya saja 8 seat.
Tadinya saya kira akan pakai kapal model pesawat capung doang,
maklum kita kan mau pergi ke Tibet yang masih "udik" itu.
Tapi setelah duduk dan pasang seat belt; pesawat bukannya berangkat
malah diumumkan bahwa delay lagi selama satu jam karena kabut tebal
masih menutupi landasan, bayangkan saja siapa yang kaga stress harus
duduk terkurung sekian lama didalam pesawat.
Sampai-sampai saya pikir jangan-jangan kesulitan beruntun ini karena
ada teman perjalanan yang "bawa sial" nih.
Dia itu seorang usahawan sukses dari Surabaya, yang sejak lama niat/kaul
mau ke Tibet khusus untuk bersembahyang.
Dia sudah dua kali mencoba datang tapi gagal terus, dan ceritanya
"mengenaskan" juga :
Pertama kali dia datang sendiri ke HongKong, sudah punya visa RRC
dan di HongKong itu dia baru tahu bahwa untuk memasuki Tibet
tidak cukup hanya mempunyai visa RRC
tapi harus punya satu surat ijin lainnya berupa pas khusus masuk Tibet
(karena Tibet merupakan daerah yang masih bergolak).
Jadi dia harus ke Beijing dulu mengurus pas itu selama beberapa hari !!.
Karena dia tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusnya maka
dia membatalkan perjalanan dan kembali lagi ke Indonesia.
Upaya yang kedua - dia berangkat lagi ke HongKong ,
kali ini sekeluarga bersama istri dan 2 orang anaknya.
Sebelumnya, jauh-jauh hari dia sudah booking ke satu biro perjalanan
HongKong, biaya tour sudah dibayarnya full , visa China dan pas
khusus Tibet sudah ditangan.
Pokoknya kali ini sudah benar-benar matang persiapannya, tinggal
berangkat saja ke Tibet . Tapi ternyata setibanya di HongKong tetap
dia tidak bisa berangkat ke Tibet
Kali ini karena biro tour HongKong itu dengan begitu saja membatalkan
keberangkatan grup dengan alasan peserta grup tour itu tidak cukup
yaitu hanya terkumpul 8 orang saja.
Karena niat bersembahyang yang begitu kuat, maka untuk ke tiga-
kalinya dia mencoba berangkat lagi ke Tibet - kali ini ikut grup kami .
Akhirnya setelah sekitar 2 jam terlambat, maka pesawat berangkat,
terlihat semua peserta merasa lega sekali.
Setengah jam sebelum mendarat penumpang pesawat sibuk melihat
keluar jendela karena kami terbang diatas pegunungan yang puncaknya
tertutup es, indah sekali melihat hamparan pegunungan berwarna putih
dibawah pesawat.
Sewaktu hendak mendarat saya sempat berfikir, bagaimana caranya
mendarat diatas pegunungan setinggi itu ?, ternyata landasan berada
disebuah plateau - berupa satu koridor dataran tinggi yang diapit dua
deretan puncak pegunungan yang berjarak cukup jauh.
Sehingga ada cukup ruang untuk pesawat itu bermanuver berputar
menurunkan ketinggian di sela-sela puncak gunung bersalju itu.
Turun dari pesawat tidak memakai aerobridge, hanya dengan tangga
biasa saja.
Sewaktu menuruni tangga itu hidung kembang-kempis mencoba
merasakan seperti apa udara yang tipis oksigen itu.
tapi kok rasanya biasa2 saja, engga ada perbedaan apa2.
(ternyata pengaruh kekurangan oksigen akan terasa belakangan).
Kami dijemput local guide, lalu menaiki sebuah bus kecil,
dan didalam bus diberitahu bahwa jarak dari airport ke kota Lhasa
adalah 96 kilometer !!.
Seingat saya engga ada kota lain yang mempunyai airport sejauh ini.
Dataran tinggi Tibet ini merupakan dataran yang lebarnya sekitar
2 - 3 kilometer yang diapit dua deret pegunungan.
Bus kami melaju dijalan yang lumayan lebar beraspal mulus sepanjang
kaki pegunungan, dan saya heran sekali karena perjalanan puluhan
kilometer itu tidak pernah ketemu jalan yang menanjak maupun
menurun - benar2 rata !!
Malahan setengah perjalanan kami itu menyusuri tepian sebuah sungai
yang lebar sekali, rupanya itu anak sungai Brahmaputra yang akan
menuju India.
Bayangkan diketinggian 3000-an meter ada sebuah sungai yang
begitu lebar !!.
Sepanjang perjalanan itu hanya sekali2 saja bertemu perkampungan
orang Tibet , selebihnya tanah kosong saja.
Sesekali ada pepohonan tapi lebih banyak terlihat dataran yang
berumput pendek, sehingga pemandangan kedepan dan kearah kaki
pegunungan diseberang dataran menjadi lapang dan menyenangkan.
Si local guide beberapa kali bisa ber-halo2 menggunakan handphone -
saya coba cari2 dimana menara BTS-nya tapi tidak terlihat satupun.
Heran juga koq di peloksok dunia ini rupanya tidak ketinggalan
dalam soal tehnologi.
Didekat sebuah perkampungan kami minta bus diberhentikan sejenak
dipinggir jalan dan kami sempatkan berfoto dengan orang Tibet yang
parasnya mirip dengan orang Indian.
Pakaiannya juga mirip2, cuma mereka ini kelihatannya jarang mandi -
pakaiannya tampak lusuh
Mereka berdatangan menghampiri bus kami, dan tampak senang
sewaktu diberikan roti/kue, tapi makin lama makin banyak mengikuti
terus sampai ke pintu bus, dan akhirnya diusir oleh si local guide.
Banyak yang berjalan sambil me-mutar2kan semacam alat sembahyang
yaitu sebuah silinder logam kecil bertangkai yang didalamnya berisikan
gulungan kertas bertuliskan doa2.
Diperjalanan selama dua jam itu kami sempat heran juga kok engga
kerasa ada bedanya berada di udara tipis oksigen itu.
Tapi setiba di kota Lhasa - sewaktu turun dari bus memasuki restoran,
tiba2 terasa melayang dan didalam restoran beberapa orang teman
menceritakan hal yang sama yaitu mulai terasa pusing/sakit kepala
dan sempoyongan sewaktu berjalan.
Selesai makan siang langsung menuju hotel :
Lhasa Hotel yang cukup besar dan banyak tamunya.
Uniknya kami diberikan sebuah bantal karet berisikan oksigen, yang
bisa digunakan dengan membuka ikatan selang oksigennya.
Memang mengisap oksigen melalui ujung selang itu banyak membantu
meringankan rasa sakit kepala .
Disetiap dinding kamar juga ada terpasang saluran oksigen, yang mirip
dengan peralatan standard di kamar rumah sakit.
Botol Aqua yang kami bawa dari Chengdu, sewaktu dibuka tutupnya
terdengar berdesis seakan2 kita membuka tutup botol Coca Cola, dan
seorang teman terkejut karena sewaktu membuka tutup obat tetes mata
ternyata isinya muncrat - akibat perbedaan tekanan udara itu.
Keesokan pagi sewaktu bertemu saat breakfast pembicaraan kami
ramai dengan keluhan macam2 :
ada yang mimisan - sakit kepala - sempoyongan - jantung terasa
debar2 kalau kita jalan agak sedikit cepat.
Kota Lhasa tidak seperti diperkirakan semula, walau terpencil
jauh dipeloksok dan diatas pegunungan, tapi bukanlah sebuah
kampung - malah saya pikir hampir seluas kota Bogor.
Walau tak banyak bangunan bertingkat tapi banyak toko berlantai
dua, jalanan cukup lebar dan bersih, kendaraan juga cukup banyak
malah Toyota Land Cruiser yang harganya 600 juta rupiah itu terlihat
banyak berseliweran, mobil lux ini ternyata bukan kendaraan milik
penduduk yang kelihatan hidup sederhana itu - tapi mobil yang
disediakan untuk pejabat pemerintah/partai komunis disana.
Harga bensin 3,8 RMB (Renminbi) dan terlihat cukup banyak taxi
yang ongkosnya jauh dekat 10 RMB (asal masih dalam kota Lhasa).
Temperatur sebenarnya enak sekali ( 11 - 21 derajat), tapi sinar
matahari sangat terik, mungkin karena lokasinya yang begitu tinggi
dari permukaan laut.
foto bisa dilihat di :
http://smulya.multiply.com/photos/album/15
bersambung part 2 : Istana Potala.
Ini tulisan putri saya : dr.Nuke Yuliana, saat ini sedang mengikuti
pendidikan spesialisasi Anak di FK Unpad - Bandung.
Foto lengkap di : http://smulya.multiply.com/photos/album/14
Mesjid Pintu Seribu - Kp.Bayur Tangerang.
Sekitar lima tahun lalu, secara kebetulan sekali saya "menemukan"
lokasi Mesjid Pintu Seribu, bangunan sangat unik yang belasan tahun
yang lalu pernah saya baca ceritanya di sebuah majalah ibukota
(Tempo/Express ?).
Saat itu saya sedang supervisi kegiatan pembangunan jamban keluarga
yang diberikan Pemda Kota kepada keluarga tidak mampu didaerah
Kampung Bayur - kampung yang terpencil dipinggiran Kota Tangerang,
ternyata rumah warga yang dibantu itu hanya beberapa ratus meter saja
dari komplek Mesjid Pintu Seribu itu.
Bangunan yang dari luar berbentuk bentengan itu begitu besar, karena
kami tidak tahu yang mana pintu utamanya maka kami masuknya
dari pintu belakang, dan sempat naik sampai ke lantai dua dari bangunan
besar berlantai empat itu .
Kami tidak berani menelusuri lebih lanjut karena selain bangunan seluas
sekitar satu hektar itu begitu banyak lorong dengan kamar-kamar dan
persimpangan2 - juga saat itu tidak ada satupun orang lain disana.
Bangunan itu memang banyak pintunya karena disana sini ada kamar.
Diluar komplek bangunan benteng ini ada sebuah Mesjid yang biasa
dipakai untuk sholat Jumat.
Tidak jelas sebenarnya bangunan ini dibangun untuk apa, selintas
seperti untuk asrama siswa pesantren karena begitu banyaknya
kamar berukuran kecil.
Setelah itu saya masih beberapa kali lagi kesana, mengantar teman-
teman yang tertarik mengunjungi bangunan unik ini,
karena ternyata orang Tangerang sendiripun banyak yang pernah
dengar tapi tidak tahu lokasinya dimana.
Setiap kali kesana saya mempunyai kesan bahwa memang bangunan
ini "tumbuh" terus, selalu saja ada tembok yang baru lagi -
memang bangunan ini dibangun dengan sistim tumbuh,
tidak sekaligus sampai selesai.
Dilihat dari luar, komplek bangunan seluas sekitar satu hektar yang
kelihatan berbentuk seperti benteng ini, temboknya kelihatan miring2
(kabarnya sedikit sekali memakai besi beton)dan banyak yang belum
di plester/disemen.
Kabarnya setiap ada dana masuk, maka dibelikan bahan bangunan
dan bagian mana yang dibangun tergantung "petunjuk" yang diterima
pemilik bangunan itu.
Bulan lalu dengan membawa kamera, saya dengan dua orang teman
kesana, kali ini berencana masuk dari pintu depan yang selalu terkunci,
untuk itu kami menghubungi pemegang kunci -
H.Abdul Karim , yang kami panggil engkong.
Engkong membuka pintu besi, dan menuntun kami memasuki lorong
sempit dari lantai satu yang mirip basement karena tidak ada jendela
sama sekali.
Beliau menghidupkan lampu senternya karena lorong itu gelap sekali.
Kami harus sangat hati2 karena atap lorong pendek dan banyak sekali
melewati kusen pintu (tanpa daun pintu) sehingga kalau tidak menunduk
jidat bisa benjol.
Kami bertiga "nempel" terus ke punggung engkong karena selain gelap
gulita, lorong itu belok sana belok sini dan sepanjang lorong itu banyak
lubang pintu baik sebelah kiri maupun kanan yang entah menuju kemana.
Kalau tertinggal, bisa dipastikan kaga bakal bisa mencari jalan keluar
sendiri, apalagi kami juga lupa bawa lampu senter.
Akhirnya kami sampai di satu kamar yang terang karena ada lampu listrik,
didindingnya ada lubang berteralis, dalam lubang itu ada tasbih berukuran
besar yang bijinya sebesar kepalan tangan.
Kami tidak berlama lama disana karena engkong bilang bangunan itu
sedikit sekali memakai besi beton, padahal kita merasa berada dibagian
basement, maka kami minta diantar naik ke lantai atas saja tidak usah
berkeliling lagi di basement itu.
Kami merasa lega setelah tiba dilantai dua yang terang dan luas,
kemudian naik lagi ke lantai tiga dan empat dimana bisa melihat ke
seluruh komplekdan dikejauhan tampak gedung-gedung tinggi dari Lippo
Karawaci.
Awal tahun 2004, dalam acara Tangerangsutra - puluhan anggota Jalansutra
telah mengunjungi Mesjid yang unik ini.
Mengapa PolPot begitu kejam terhadap bangsanya sendiri ?
Hotel Sunway tempat kami menginap terletak didekat pusat kota,
tidak jauh dari Wat Phnom - pagoda yang unik karena dibangun
diatas bukit ( rasanya ini bukit satu2nya di Phnom Penh, karena kami
tidak melihat ada bukit lainnya selama disana) dan pada malam hari
terlihat bagus sekali karena dipasangi lampu2.
Didalam hotel berbintang 4 itu rasanya sih seperti berada dinegara
maju, orang penting seperti Ramos Horta pun menginap disana -
saya sempat berfoto dengannya saat breakfast (foto).
Di lobby hotel itu malam hari-nya saya sempat ngobrol lama dengan
Mr. Sok Chamroeun , operation manager dari biro tour yang
menerima rombongan kami (foto).
Saya ngobrol dengannya sampai malam karena penasaran mengapa
Pol Pot bisa membunuh sampai 2 juta orang bangsanya sendiri,
dan kebetulan sekali Mr Sok ini bisa menceritakan banyak karena
di tahun 1975 itu dia sudah berusia 10 tahun dan mengalami kejadian
itu di Phnom Penh.
Pertanyaan pertama yang diajukan tentu :
kenapa sih Pol Pot bisa begitu tega.
Dijawab : saya tidak tahu apa alasannya, semua orang Kamboja juga
engga tahu kenapa, yang tahu cuma Pol Pot sendiri.
Di lobby hotel itu lalu Mr.Sok bercerita dengan panjang lebar :
Raja Sihanouk sewaktu keluar negeri dikudeta oleh Jenderal Lon Nol,
dan Khmer Merah yang komunis mengadakan perlawanan.
Khmer Merah yang dikomandani Pol Pot itu basisnya petani/orang
desa - yang rupanya memusuhi "orang kota"
Akibat perang itu berkecamuk didaerah pinggir kota orang tua Mr.Sok
membawa keluarganya mengungsi dari pinggiran kota Phnom Penh
masuk ke kota yang saat itu lebih aman.
Inilah yang menjadi masalah nantinya karena siapa yang berada didalam
kota saat Pol Pot menang perang, di cap musuh juga oleh Pol Pot.
Dia ingat sekali tanggal 17 April 1975 saat tentara Pol Pot menang
dan bisa memasuki kota Phnom Penh, disaat itu juga Pol Pot meme-
rintahkan semua penduduk kota baik Phnom Penh, Battambang
dan kota2 lainnya agar segera meninggalkan kota dengan alasan
pesawat Amerika akan segera membombardir kota, di informasikan
3 hari kemudian mereka akan boleh kembali ke dalam kota.
Tentara petani itu meng-sweeping dari rumah ke rumah untuk
meneruskan perintah itu.
Siapa yang menolak tanpa ampun langsung di bunuh.
Jadi saat itu begitu kacau balau, boleh dikata penduduk kota
meninggalkan rumahnya dengan hanya sempat membawa pakaian
dan barang seadanya saja.
Jalan utama keluar kota Phnom Penh yang cuma ada beberapa
saja itu, penuh sesak dengan iring2an manusia yang digiring keluar
menuju ke pedesaan.
Di beberapa tempat tentara Pol Pot memasang meja dan pengu-
muman antara lain agar tentara/polisi pemerintahan Lon Nol
bisa mendaftar ulang disana, akan dikasih pekerjaan lagi dan
di naikkan pangkat.
Ini ternyata jebakan saja, karena mereka yang mendaftar malah
ditangkap sekeluarga dan dibunuh semuanya.
Selain itu sepanjang jalan tentara Khmer Merah juga menyeleksi
siapa saja yang dicurigai sebagai musuh dan ditahannya.
Pol Pot rupanya mempunyai obsesi akan kembali di tahun Nol
dimana rakyatnya hanya murni dari golongan petani saja, yang hidup
dari bercocok tanam.
Maka semua yang berbau kota, modern dan berpendidikan akan
dihapusnya.
Dimasa kekuasaannya antara tahun 1975 - 1979 itulah Kamboja
begitu terisolasi dari dunia luar, hanya pernah datang satu-satunya
delegasi dari dunia luar yaitu dari China.
Dan dimasa kekuasaannya itulah dia memerintahkan untuk membunuh
orang yang dianggapnya tidak sejalan dengan doktrin-petani nya :
para pegawai pemerintahan Lon Nol; intelektual baik guru - siswa -
dokter - perawat, artis.
Termasuk biksu2 karena semua orang harus loyal hanya kepada
Angkar ( pemerintahan PolPot) - kalau beragama berarti ada ada
loyalitas ganda.
Kaca mata berarti si pemakai adalah orang intelektual yang bisa
membaca, maka termasuk orang yang harus dimusnahkan.
Mereka ditahan diberbagai penjara, di siksa dan dibunuh
dengan kejam - untuk menghemat peluru maka anak bayi cukup
dibantingkan ke batang pohon dan orang dewasa dengan di pacul
kepalanya, atau kantong plastik dimasukkan ke kepala lalu
diikatkan dibagian leher sehingga mati lemas.
Kekejaman itu tiada tara, kalau ada seorang kepala keluarga
masuk kategori lawan maka keluarganya juga dibunuh.
Mottonya : cut the grass must dig the root also.
Motto lainnya : Kill wrongly better than release wrongly.
Penguburan itu dilakukan secara massal juga, dan antara lain di
wilayah Choen Ek, daerah yang begitu banyaknya jenasah manusia
sehingga dinamai Killing Field.
Mr. Son cerita bahwa di wilayah Choen Ek itu telah diketemukan
ada sedikitnya 126 lubang kuburan massal; dan baru 86 lubang
yang digali - disitu ada sekitar 9000 tengkorak - laki perempuan,
dewasa sampai bayi, dan ada 9 orang barat.
Diperkirakan keseluruhan korban ada sekitar 20.000 orang yang
dikubur massal di wilayah Killing Field Choen Ek itu.
Saya sempat tanya kenapa engga semua lubang digali, dia bilang
bahwa medannya begitu sulit karena ada juga yang di-rawa2.
Di tengah Killing Field itu sekarang dibangun sebuah pagoda yang
penuh dengan tengkorak, yang bisa disentuh oleh pengunjung .
Pagoda itu dibuat sebagai peringatan akan kekejaman satu rezim
yang telah membantai hampir sepertiga bangsanya sendiri.
Saat dipaksa keluar kota itu Mr. Son ikut dengan keluarganya ke -
pingggir kota Phnom Penh dan disana harus bertani untuk bisa
makan, hasilnya tidak seberapa dan malah sebagian besar diambil
oleh tentara Pol Pot.
Dia cerita menu makannya berupa sedikit beras yang dibuat bubur
yang begitu encernya.
Mereka sangat sengsara, banyak yang meninggal karena berbagai
penyakit antara lain malaria.
Suatu ketika seorang kakak iparnya sakit parah sampai terpaksa
dibawa ke Rumah Sakit, setelah memasukkan si sakit ke rumah sakit
mereka kembali ke kampung karena tidak diperbolehkan menunggu
di rumah sakit itu.
Saat tiba kembali di kampung ternyata sedang ada pengumuman
bahwa orang sekampung itu harus segera pindah ke propinsi
Battambang yang lebih makmur, maka dia segera balik lagi ke
rumah sakit untuk membawa pulang kakak ipar, tapi jangankan
dikasih pulang- bertemu saja tidak boleh.
Maka kembali ke kampung, dan oleh kepala kampung keluarganya
tidak diizinkan untuk ikut pindah karena satu keluarga harus terus
ber-sama2.
Ternyata kakak iparnya itu sampai sekarang tidak pernah ditemukan
lagi - hilang begitu saja di rumah sakit; belakangan dikabari bahwa
ada yang melihat dia disiksa dan dibunuh.
Mr. Sok cerita bahwa dia sangat ber-hutang nyawa kepada almarhum
karena ternyata semua tetangganya yang dipindah ke Battambang itu
akhirnya mati disana;
termasuk kakak ibunya sekeluarga sebanyak 40 orang.
Mereka bukan dipindah ke daerah yang subur tapi ke daerah tepian
hutan yang alamnya sangat ganas.
Foto pertama : didepan tengkorak korban Toul Sleng.
Foto kedua : bersama Mr. Ramos Horta di hotel.
Foto ketiga : bersama Mr.Sok di lobby hotel
Toul Sleng Prison - Phnom Penh:
Saat city tour di PhnomPenh, saya kecewa berat sekali karena
ternyata tidak ada acara mengunjungi Killing Field yang berada
di wilayah Choen Ek.
Saya bilang kepada Tour Leader rombongan kami bahwa
"sama aja boong" kalau ke Kamboja tidak menelusuri
kejadian dramatis di jaman Pol Pot yang begitu hebat itu.
Sebenarnya lokasi Killing Field hanya 15 kilometer saja dari kota
Phnom Penh, tapi waktu tempuhnya bisa 40 menit karena jalannya
kecil dan rusak, dikatakan pemandu bahwa kalau rombongan mau
juga kesana bisa saja tapi harus pakai mobil yang kecil -
bus kami tidak bisa masuk ke sana.
Sebagian peserta ragu karena perjalanan kesana selain rawan,
juga akan kehilangan city tour yang sudah di program semula.
Tadinya saya dan Benny tetap ingin pergi kesana, kami sudah
bilang kalau gitu sebagian saja yang mau - yang berangkat ke
Killing Field dengan menyewa sebuah mobil kecil dan sewa
satu orang lokal guide lagi.
Tapi akhirnya pikir2, kami khawatir juga kalau berpisah karena
situasi di Phnom Penh sendiri tidak begitu aman, apalagi city tour
yang sudah disiapkan ada acara naik perahu di sungai Mekong.
Kalau saya dengan sebagian peserta pria ke Choen Ek , maka
rombongan ibu-ibu nanti tidak ada yang menjaga.
Maka dengan berat hati saya batalkan saja rencana ke Killing Field.
Kemudian saya teringat bahwa di kota Phnom Penh ini ada tempat
yang dijadikan penjara oleh rezim Pol Pot dulu.
Penjara itu terkenal karena menjadi tempat penyiksaan orang yang
dicurigai melawan rezim Pol Pot.
Ternyata tempat itu memang ada di kota Phnom Penh bagian
selatan dan kini telah menjadi Genocide Museum yang dibuka
untuk umum.
Kami sepakat minta optional tour kesana; dan setuju membayar
extra 2 US dollar per peserta.
Maka jadilah kami mengunjungi Toul Sleng Genocide museum
yang ternyata memang tidak kalah menyeramkan kisahnya dari
Killing Field itu.
Semula bangunan berlantai tiga yang lokasinya didalam kota
Phnom Penh itu adalah sebuah sekolah menengah.
Sekeliling komplek sekolah itu penuh dengan rumah penduduk,
hanya saja tembok berlapis dan kawat berduri (dahulu dialiri
listrik) membuat komplek itu dari luarpun sudah tampak
menyeramkan.
Memasuki halaman dari komplek seluas 400 kali 600 meter;
terlihat dua blok bangunan berlantai tiga yang membentuk
huruf L, dengan halaman rumput yang cukup luas.
Disalah satu sudut halaman tampak kuburan dari 14 tahanan
yang masih sempat dibunuh Khmer Merah pada saat2 terakhir
tentara Vietnam datang menyerbu masuk kota Phnom Penh ,
yaitu tanggal 7 Januari 1979.
Saat penjaga penjara melarikan diri itu hanya tersisa 7 orang
tahanan saja yang masih hidup, mereka berfoto bersama yang
dipamerkan di salah satu ruangan.
Tentara Vietnam datang memasuki Phnom Penh dengan mudah
karena selain jauh lebih unggul, juga jarak dari border ke kota
Phnom Penh hanya 127 km.
Sekitar 2 - 3 juta tentara Vietnam menduduki Kamboja sampai
tahun 1989.
Dimasa kekuasaan Pol Pot ( 1975 - 1978 ) komplek Toul Sleng
ini dijadikan penjara dengan nama S-21 ( Security office - 21),
satu penjara utama yang dimiliki oleh Khmer Rouge.
Dan hebatnya semua orang yang dimasukkan kedalamnya di foto
dulu dan rapih didata riwayat pribadinya mulai dari lahir sampai
saat ditangkap itu.
Dari sebagian dokumen2 yang bisa diselamatkan itu bisa diketahui
selama 4 tahun , total ada 10499 orang dimasukkan kedalam
penjara ini.
Angka itu belum termasuk anak-anak yang juga dibunuh Khmer
Merah didalam Toul Sleng ini, diperkirakan ada sekitar 2000 anak.
Dari begitu banyaknya orang yang dimasukkan kedalam S-21,
ternyata hanya 7 orang saja yang bisa keluar masih bernyawa.
Dari catatan yang diketemukan itu bisa diketahui pula bahwa korban
kekejaman ini diambil dari seluruh wilayah Kamboja, dan dari
beragam profesi.
Memang sebagian besar adalah warga Kamboja sendiri, tapi juga
ada yang berkebangsaan Vietnam, Laos, Thai, India, Pakistan,
British, Amerika, Kanada, New Zealand, dan Australia.
Profesinya antara lain : workers, farmers, engineers, technicians,
intellectuals, professors, teachers, students, artists, malahan juga
ministers dan diplomats.
Seluruh famili dari orang yang ditangkap juga dimasukkan kedalam
penjara ini, seluruhnya - termasuk bayi yang baru dilahirkan.
Di tempat itulah mereka di interogasi dan disiksa, termasuk oleh
anggota Khmer Merah yang masih berusia 10 -15 tahun.
Sungguh mengerikan anak anak petani yang tadinya lugu ini bisa di
trained oleh Khmer Merah menjadi iblis yang begitu tega menyiksa
para tahanan itu sampai tewas mengenaskan.
Anak2 itu menyiksa dengan cara memukuli dan menyetrum untuk
mendapatkan pengakuan bahwa si tahanan itu memang melawan
rezim Pol Pot, dan hebatnya pengakuan itu juga direkam.
Tidak mengaku bisa mati disiksa, mengaku juga dibunuh sekeluarga.
Kami bersama2 memasuki ruangan2 kelas yang pernah dipakai
menjadi kamar penyiksaan, terlihat bed dari besi tempat mengikat
orang yang disiksa sampai mati dengan alat2 penyiksaan-nya.
Pada tembok ruangan dipasang foto dokumenter yang memperlihatkan
orang2 yang sudah setengah hancur disiksa sampai mati itu;
Benar2 menggiriskan hati dan saya perhatikan peserta rombongan kami
tidak ada yang memisahkan diri selama berkeliling keluar masuk
berbagai ruangan itu.
Ruangan dilantai bawah itu ada yang di-sekat2 dengan batu bata
untuk menjadi sel2 tahanan berukuran kecil.
Berbeda dengan sel penjara umumnya - sel itu tidak memakai pintu
atau teralis besi - tapi tahanan tidak akan bisa melarikan diri karena
salah satu kakinya diikat dengan rantai besi yang ujung satunya
ditanam kedalam lantai beton, tidak ubahnya merantai anjing saja.
Berfoto dimuka salah satu sel itu dilakukan dengan cepat cepat saja
karena aroma kekejaman di ruangan itu membuat bulu kuduk berdiri.
Adik saya Lanny yang memfoto saya ngomel2 sebab sebenarnya
rombongan telah berada diruangan lain tapi saya mengajaknya kembali
ke ruangan sel itu karena saya belum mengambil foto disitu,
memang terasa seram sekali diruangan itu.
Sel individual itu untuk tahanan "kelas kakap" yang dianggap perlu
ditahan sendiri2 dalam masing2 sel; sedangkan tahanan lainnya dirantai
ramai2 dilantai dua, yaitu kakinya digari dengan cara satu atau kedua
pergelangan kakinya dimasukkan kedalam lingkaran2 besi yang dilas
ke satu batangan besi panjang.
Posisi para tahanan itu tiduran bersisian ramai2 selang seling -
disebelah kepala seorang tahanan adalah kaki tahanan lainnya.
Mereka harus tiduran terus diatas lantai tanpa alas, selimut maupun
kelambu, dan masing2 diberikan tempat buang hajat berupa sebuah
kotak plastik, mandinya juga cuma disiramkan air saja beberapa hari
sekali oleh si penjaga.
Karuan saja hidup dalam situasi sanitasi yang begitu buruk cepat
menimbulkan berbagai penyakit, padahal sama sekali tidak disediakan
fasilitas pengobatan.
Kami tidak berselera untuk melihat sampai ke lantai dua dan tiga,
cukup keliling di lantai satu saja itu, tapi terlihat beberapa pengun-
jung orang barat yang naik turun ke lantai atas itu.
Di beberapa ruangan bekas kelas itu juga dijadikan museum,
disana bisa melihat tengkorak2 korban yang disimpan dalam
sebuah lemari, ada juga peta wilayah Kamboja dengan penuh
tengkorak - warna air danau TonleSap dan sungai Mekong
memakai warna merah mengisyaratkan darah telah mengalir
dimana-mana .
Juga dipamerkan patung dada Pol Pot didepan batangan2 besi
yang dulu dipakai mengikat pergelangan kaki tahanan secara
massal dan ditembok ada foto mengerikan dari lokasi diketemu-
kannya kuburan massal dari para tahanan itu, disana sini terlihat
tengkorak diantara lubang lubang kuburan massal itu.
Dinding ruangan museum banyak foto2 para korban; sangat meng-
harukan melihat wajah orang2 yang tampak tertekan sewaktu di-
foto untuk registrasi awal dulu itu; dan disatu ruangan ada foto
dari Killing Field.
Hanya dari satu lubang saja itu sudah tampak begitu banyak
tulang tengkorak berserakan ber-tumpuk2.
Hanya beberapa orang tahanan saja yang bisa lolos dari maut;
foto bersama dari mereka yang lolos itu juga ditampilkan museum.
Tahanan yang lain baik laki - perempuan, dewasa - anak anak ,
semua tewas dan dikubur secara massal di Killing Field Chuen Ek.
Foto2 lengkap Toul Sleng Prison :
http://smulya.multiply.com/photos/album/11
A mother was working in the kitchen,
listening to her five-year-old son playing with
his new electric train in the living room.
She heard the train stop & her son saying,
"All of you bastards who want off, get the hell off now,
'cause this is the last stop!
And all of you bastards who are getting on, get your ass
in the train, cause we're going down the tracks."
The horrified mother went in & told her son,
"We don't use that kind of language in this house.
Now I want you to go to your room & stay there for TWO HOURS.
When you come out, you may play with your train,
but I want you to use nice language."
Two hours later, the son came out of the bedroom &
resumed playing with his train.
Soon the train stopped & the mother heard her son say,
"All passengers who are disembarking the train,
please remember to take all of your belongings with you.
We thank you for travelling with us today & hope your trip
was a pleasant one."
She hears the little boy continue,
"For those of you just boarding, we ask you to stow all of
your hand luggage under your seat.
Remember, there is no smoking on the train.
We hope you will have a pleasant and relaxing journey
with us today."
As the mother began to smile, then the child added,
"For those of you who are pissed off about the TWO HOUR delay,
please see the fat bitch in the kitchen."
Berkesempatan secara tidak sengaja bisa melihat dari dekat lukisan asli Black Madonna di Gereja Jasna Gora - Polandia.
Membaca tulisan Jalansutra pak Bondan : To Krakow with Lemper ,
saya sependapat bahwa memang perjalanan darat di Eropa Timur
berbeda dengan di Eropa Barat yang banyak memakai highway,
tapi justru disitulah asyiknya perjalanan dinegara Eropa Timur.
Kita banyak melalui jalan2 antar kota yang kadang-kadang seperti jalan
dipedesaan, sehingga mata justru engga mengantuk, engga bosan-bosan
kita menikmati suasana pedalaman/pedesaan itu, kadang2 mobil berjalan
nyelip diantara rumah-rumah desa.
Saya memakai rute yang terbalik dengan pak Sudaryomo, karena saya
memulai perjalanan darat yang panjang dari Budapest, melewati border
Slovakia untuk kemudian memasuki Polandia, di kedua border itu
pelayanan imigrasinya minta ampun lelet-nya sampai2 kami kehilangan
kesempatan lunch di Krakow (Polandia).
Setelah menginap semalam di Krakow, esoknya kami menuju Warsawa,
dengan mampir dulu di gereja Black Madonna yang kharismatik.(foto)
Komplek gereja itu besar sekali, saat itu penuh pengunjung, mula2 kami
dibawa kesuatu ruangan dimana ada repro dari lukisan Black Madonna.
(foto)
Kami kecewa sekali karena tidak bisa memasuki ruangan dimana lukisan
asli-nya disimpan yaitu diruang utama gereja, karena diruangan itu sedang
berlangsung misa.
Pintu masuk ke ruangan tersebut sudah ditutup karena sudah dipenuhi
pengunjung yang kabarnya banyak orang-orang penting Polandia.
Jangankan bisa masuk atau mengintip dari pintu, mendekati ruangan
misa saja tidak bisa karena orang sudah berjejalan dimana-mana.
Tapi rupanya suster yang menerima dan menjadi guide selama kami
berada di komplek gereja yang luas itu merasa iba kepada kami yang
sudah jauh-jauh datang dari Indonesia.
Kami diajaknya berkeliling komplek masuk keluar ruangan, melihat
berbagai tempat sampai ke basement dan akhirnya masuk dari pintu
belakang kedalam sebuah ruangan yang rupanya ruang petugas misa.
Ruang petugas itu letaknya bersisian dengan ruang misa dimana ada
lukisan asli Black Madonna itu.
Surprise sekali !! - secara bergantian kami diperbolehkan masuk
kedalam ruangan misa itu, padahal misa sedang berlangsung.
Saya yang masuk duluan sendirian , dan groggy juga karena ternyata
saya nongol disisi samping kanan depan dari ruangan misa itu !! -
hanya beberapa meter saja dari altar dimana lukisan berada.
(pintu itu rupanya tempat keluar masuk petugas upacara misa).
Tentu saja munculnya saya langsung menjadi sorotan/perhatian orang-
orang didalam gereja yang sedang penuh itu, mereka tentu heran kok
ada orang bukan kulit putih mendadak muncul disitu.
Masa bodoh, saya langsung menoleh kekanan dan tampak lukisan
Black Madonna asli itu tidak jauh dari tempat saya muncul.
Tentu saya tidak bisa ber-lama2 disitu, segera keluar lagi untuk
memberikan giliran kepada teman yang lain.
Kami bergantian nongol dari pintu itu, dan setelah giliran teman yang
terakhir, saya nyelonong masuk lagi karena penasaran ingin sekali lagi
memandang lukisan yang begitu legendaris.
The Ultimate Ten : Landmark - 10 Monumen Bersejarah.
Suatu malam Metro TV menayangkan sebuah serial dari : Ultimate 10,
yang kali ini topiknya : Landmarks - 10 monumen bersejarah.
Seperti biasa tayangan Ultimate 10 selalu diawali dari nomer 10 dulu.
Saya bersama istri selama satu jam itu asyik menonton karena ingin tahu
apa saja ke sepuluh tempat2 itu dan apakah kami pernah mengunjunginya.
Nomer buncit ternyata Gedung Capitol di Washington,
gedungnya memang megah dan anggun, tapi saat kami disana antriannya
mengular membuat kami keburu cape untuk bisa menikmati bagian dalam
gedung itu dengan seksama.
Berikutnya di peringkat ke 9 adalah adalah patung Yesus ukuran raksasa
(setinggi gedung 10 tingkat) yang dibangun dipuncak gunung Corcovado.
Untuk bisa naik kesana kami mempergunakan kereta bergigi yang sudut
kemiringannya aduhai, dan setiba diatas kami mendapatkan pemandangan
dari sebuah platform dibawah patung Yesus kearah kota Rio de Janeiro
sungguh tiada tara indahnya. (foto).
Kita bisa melihat keseluruhan kota Rio, pantai Copacabana yang
berkelok indah sekali dengan bukit Sugar Loaf yang sungguh unik
berbentuk seakan sebuah permen raksasa ditancapkan ditepi pantai.
(foto)
Berikutnya nomer 8 : Menara Pisa, yang termasuk salah satu dari
7 keajaiban dunia, dalam film diceritakan upaya mencegah ambruknya
menara itu, dan berhasil - kabarnya aman untuk seratus tahun kedepan .
Big Ben of London berada diurutan ke 7, lonceng yang ketepatan-
nya sangat akurat ini setelan cepat/lambatnya ternyata hanya dengan
menambah/mengurangi coin uang yang ditaruh di bandul loncengnya.
Biasanya turis diajak memandang Gedung Parlemen dimana ada
Big Ben itu dari seberang sungai Thames, dan pemandangan dari lokasi
itu juga semakin cantik karena disebelah kiri terlihat London Bridge
yang cantik sekali.
Brandenberg Gate dengan Tembok Berlin-nya berada dinomer 6 :
dalam film itu diceritakan sejarah pembuatan maupun penghancurannya.
Dahulu saya sempat berfoto didekat Brandenberg, maupun didepan
sebagian tembok Berlin yang masih disisakan untuk kenangan.
Tembok itu penuh lukisan artis yang bagus2, termasuk gambar dari
Leonid Breznev yang sedang berciuman dengan Erich Honnecker
(pimpinan Jerman Timur) (foto)
Temple Mount - kota tua Jerusalem, ada tiga agama yang mempunyai
tempat suci disana : Tembok Ratapan, Gereja bukit Golgota, dan
Dome of the Rock.
Dalam perjalanan dari Yordania, saat hampir memasuki Jerusalem,
bus kami berhenti ditepi jalan yang letaknya agak tinggi dan tampak
dikejauhan kota tua itu dengan tembok tinggi mengelilinginya dan
kubah emas yang cantik dari Dome of The Rock tampak jelas
menyembul dari tembok kota tua Yerusalem .(foto).
Tembok itu mempunya empat (?) gate, antara lain Dung Gate,
Lion Gate, Damascus Gate, satu lagi lupa, dan kabarnya salah satu
gate itu tidak pernah dibuka.
Saat berjalan kaki memasuki lorong2 kecil didalam kota yang begitu
tua dan bersejarah itu tentu perasaan ikut hanyut kemasa lampau.(foto)
Didalam Gereja Golgota ada papan marmer yang diyakini dulu
dipakai untuk membaringkan Yesus saat diturunkan dari salib.
(foto)
Posisi ke 4 : Red Square Moskow, terasa takjub bisa berdiri di
tengah lapangan yang sering kita lihat dalam TV dimana kendaraan
perang dan senjata yang dahsyat berparade melewati Kremlin
dengan tembok tingginya yang sungguh anggun dan terkesan angker.
Bangunan Mausoleum Lenin sebenarnya mengganggu keharmonisan
Red Square itu, tapi St.Basil Cathedral dengan kubah bawangnya
yang warna warni mempercantik lapangan itu.(foto)
Posisi nomer tiga : Kuil Parthenon yang berada diatas bukit Acropolis,
dulu kami diajak ke satu bukit dimana view ke arah kuil itu bagus sekali,
dan saat mendekati kuil barulah kita menyadari bahwa memang kuil
dibangun se-akan2 sebuah benteng diatas bukit yang sulit diserang.
Kuilnya sendiri sudah begitu tuanya, dan sedang dilakukan proses
renovasi, kami diingatkan untuk tidak boleh mengambil batu walau
sepotong kecil-pun.
Dari kawasan Parthenon itu kami baru menyadari bahwa bukit itu
berada ditengah kota Athena. (foto)
Runner-up diduduki oleh Eiffel Tower, memang menara yang walau
terbuat dari besi tapi bentuknya bisa tampak begitu cantik, apalagi
saat malam hari bermandi cahaya lampu.
Paris memang tidak pelit dengan lampu2 yang warna warni menyinari
berbagai bangunan dan gedung yang antik2, jadi night-cruise di sungai
Seine sungguh memanjakan mata.
Nomer puncak ternyata diduduki oleh : Patung Liberty.
Kami naik kapal ferry dari dermaga dikota New York, dan
rencananya mau naik kedalam patung sampai keketinggian
mahkota (tidak boleh sampai ke obornya).
Ternyata antrian panjang sekali,
sehingga diputuskan keliling pulau saja, dan berfoto dengan latar
belakang WTC yang saat itu masih ada.(foto)
Setelah itu kami kembali ke kota New York, naik kepuncak WTC,
dan pemandangan dari puncak WTC ke pelabuhan New York
sangat indah, dan patung Liberty tampak kecil ditengah laut itu.
(foto).
Kebetulan sekali Kompas hari Kemis-nya memuat foto dan berita
tentang patung Liberty, yang rupanya pada hari Selasa (bersamaan
dengan penayangan di Metro TV) baru dibuka lagi untuk umum.
Rupanya sejak serangan September ke WTC, patung Liberty itu
ditutup untuk umum.
Seorang ibu mau beli telor ayam, dan dia masuk ke sebuah warung,
dan nanya ke si Abang yang lagi berdiri disitu :
Bang, telor berapa sekilonya ?
Telor Ayam apa telor Bebek bu ?
Telor Ayam !
Telornya, telor ayam Negeri apa ayam Kampung bu ?
Ayam kampung aja !.
Ayamnya yang Import punya, apa yang Lokal bu ?
Yah yang lokal aja deh !.
Lokalnya mau yang dari Depok apa yang dari Jakarta bu ?
(nah si ibu mulai sebel, koq beli telor aja ruwet amat)
Yah udah yang dari Jakarta aja !!
Jakartanya Jakarta mana bu ? - Jakarta Barat, Jakarta Utara,
Jakarta Selatan, Jakarta Timur, apa Jakarta Pusat bu ??
(wuaah, engga ketahan deh jengkelnya si ibu )
Si Abang ini mau jualan Telor, apa mau Jalan-Jalan, haahh !!!
Anu bu, saya sih sebenernya tukang Mie Ayam disebelah,
tukang telornya sih lagi buang aer dibelakang,
tadi dia mesen ke saya kalo ada yang belanja supaya diajakin ngobrol dulu ajah.
Kompas Sabtu/6 Maret 2004 ini dihalaman 19 ada artikel berjudul :
Metro di Moskwa ...Wah !, ditulis oleh Rudy Badil dari Moskwa -
menarik sekali untuk dibaca karena penulis menceritakan seluk beluk
kereta/stasiun bawah tanah itu dengan cukup lengkap dan detail.
Membaca tulisan di Kompas itu, saya teringat pada bulan Juni 1995,
sewaktu berada di Moskwa saya sangat kecewa karena walaupun
sempat mengunjungi Lapangan Merah dan masuk ke St.Basil Cathedral,
tapi tidak bisa masuk kedalam Kremlin karena tiba pada hari yang salah -
Kamis - satu hari dalam seminggu dimana Kremlin ditutup untuk umum.
Jadi hanya bisa bengong melihat tembok Kremlin-nya saja dari Lapangan
Merah yang berada di muka Kremlin itu.
Selain St.Basil Cathedral yang unik dengan kubah-kubah bawangnya
yang indah berwarna warni itu, disisi Lapangan Merah lainnya ada
bangunan lain yang juga sangat diminati pengunjung yaitu :
Mausoleum Lenin.
Tapi kami tidak bisa masuk karena juga tutup dihari Kamis itu.
Rupanya negara komunis yang serba seragam juga mempunyai kebiasaan
seragam yang unik yaitu mengawetkan jenasah pemimpin besarnya.
(selain Lenin, China - MaoTseTung, Vietnam-HoChiMinh, entah dengan
Korea Utara apakah mereka juga membalsem jenasah Kim Il Sung ?).
Belakangan sewaktu di Beijing, saya juga cuma bisa melihat mausoleum
MaoTseTung dari luar karena sedang di renovasi, dan baru di Hanoi-lah
saya bisa memasuki mausoleum dan melihat dari dekat jenasah bapak
bangsa Vietnam - HoChiMinh.
Untuk mengobati kekecewaan tidak bisa masuk Kremlin, saya minta
kami diantar memasuki Metro - stasiun kereta api bawah tanah-nya
Moskow karena kami dengar interior stasiunnya bagus sekali.
Menuruni salah satu lorong masuk Metro itu, hati sempat dagdigdug
karena bukan saja lorong masuk itu agak kusam dan terkesan kuno ,
juga eskalatornya yang membawa kami amblas masuk perut bumi itu
puaaanjang sekaleee !
Tapi setelah sampai didalam, kesan itu drastis berubah, terlihat banyak
ruangan yang luas dengan kubah cukup tinggi -
dan ditata dengan apik, lantainya marmer, disana sini lampu gantung
antik yang bagus-bagus, dinding dan atap banyak hiasan -
pokoknya interiornya dekoratif sekali.
Cukup lama kami berada di dalam sana, cuma tak ada yang mau coba
naik keretanya karena waktunya sempit - sore hari itu kami akan naik
kereta malam menuju St.Petersberg.
Didepan stasiun sewaktu menunggu kedatangan bus menjemput kami,
saya agak heran koq banyak perempuan tua Rusia berdiri berderetan
panjang di trotoar yang cukup lebar itu.
Mula-mula saya kira mereka sedang antri sesuatu, tapi koq berdirinya
bukan seperti biasanya orang antri yaitu menghadap ke punggung orang
didepannya, tapi mereka berdirinya berdampingan dan anehnya lagi
sambil memegang sepotong barang dengan cara setengah diacungkan.
Ah-ha ! , rupanya mereka sedang menjajakan sesuatu barang,
ada yang memegang sebuah susis besar, sehelai baju, sepotong souvenir
dan lain lain sambil mengepit sebuah kantong plastik besar.
Uniknya mereka berdiri berendeng itu, dengan tatapan kosong saja
kedepan, tak bergerak atau berupaya menawarkan barang yang
dipegangnya itu, semata-mata hanya berdiri dan memegang barang
dagangannya didepan dadanya !
Lho koq tiba-tiba mereka bubar !?, rupanya ada polisi jalan kaki lewat -
mereka segera memasukkan dagangannya kedalam kantong plastik
tentengan dan berjalan hilir mudik membaur dengan pejalan kaki lainnya.
Setelah pak polisi menjauh, mereka segera membuat barisan lagi -
berderet rapih tanpa bersuara.
Memang kasihan, akibat Glasnost/Perestroika-nya Gorbachev yang kurang
rapih, membuat perekonomian rakyat Rusia kacau balau dan banyak orang
kesulitan mencari nafkah sehingga terpaksa berjualan kaki lima itu.
Cuma sayangnya jualan kakilima-nya gaya komunis yang tanpa greget itu,
mestinya mereka study banding dulu ke kaki lima Pasar Tenabang, he3.
A man had been driving all night and by morning was still far from his
destination. He decided to stop at the next city he came to, and park
somewhere quiet so he could get an hour or two of sleep.
As luck would have it, the quiet place he chose happened to be on one of the
city's major jogging routes. No sooner had he settled back to snooze when
there came a knocking on his window. He looked out and saw a jogger running
in place.
"Yes?"
"Excuse me, sir," the jogger said, "do you have the time?"
The man looked at the car clock and answered, "8:15".
The jogger said thanks and left. The man settled back again, and was just
dozing off when there was another knock on the window and another jogger.
"Excuse me, sir, do you have the time?"
"8:25!"
The jogger said thanks and left. Now the man could see other joggers
passing by and he knew it was only a matter of time before another one
disturbed him. To avoid the problem, he got out a pen and paper and put a
sign in his window saying, "I do not know the time!"
Once again he settled back to sleep. He was just dozing off when there was
another knock on the window.
"Sir, sir? It's 8:45!."
Hadiah Ultah :
Seorang pelajar SMP bernama Andy sedang jatuh cinta kepada Ani.
Andy orangnya penakut dan kurang pede, tak berani secara langsung
menyatakan cintanya.
Setelah berfikir lama ia mendapatkan ide, akan memberikan TOPI sebagai
hadiah ulang tahun Ani.
Maka ia bergegas ke Department store, setelah mendapatkan topi itu,
ia menuju kasir yang waktu itu sedang sibuk2nya.
Kasir yang kerepotan itu ternyata keliru memberikan bungkusan topi
yang dibeli Andy, tertukar dengan bungkusan CELANA DALAM yang
dibeli seorang wanita yang antri disebelah Andy.
Andy yang sudah kebelet ingin memberikan hadiah untuk Any itu, tidak
memeriksa lagi bungkusan itu dan langsung memberikan catatan di kado
itu, yang berbunyi :
" Ani; saya sengaja memberikan hadiah ini untuk kamu, karena saya tahu
kalau kamu jarang memakai ini kalau bepergian.
Saya sengaja pilih yang berwarna merah, karena saya pernah lihat kamu
pakai yang berwarna biru.
Saya yakin sekali ukurannya pas untuk kamu, karena sebelum membelinya
saya sudah coba dulu, dan ukuran kita kan sama.
Rasanya saya ingin sekali memakaikan ini ke kamu untuk yang pertama
kalinya.
Ani, kalau kamu senang dengan hadiah ini, saya berharap dapat melihat
kamu memakainya pada hari Sabtu esok. "
temanmu,
Andy.
NB : Oh ya, ini model terakhir yang saya sering lihat di film dan majalah;
memakainya agak sedikit diturunkan kebawah dengan sedikit rambut
terlihat didepannya.
Di Indonesia kita sudah sangat familiar dengan ATM yang di -
Indonesiakan sebagai Anjungan Tunai Mandiri.
Maka saat saya menunggu proses check-in di Itami - domestik
airport dari Osaka ( international airportnya : Kansai) saya melihat
juga sederetan mesin ATM.
Lalu saya menyadari kok penempatannya engga lazim, karena di-
letakkan berderet-deret diantara counter-counter check-in.
Ternyata itu bukanlah mesin ATM yang biasa kita kenal disini, tapi
mesin untuk self-service check-in.
Maka jadilah saya bengong - ngintip cara kerja mesin itu.
Mesin itu baru setahun digunakan, sehingga ada petugas berbaju putih
dan berdasi yang siap membantu calon penumpang yang kesulitan
mempergunakannya.
Mesin itu bisa digunakan untuk membeli tiket pesawat, dan juga
mengurus proses check-in, caranya simple sekali :
Setelah memasukkan lembaran tiket (berupa lembaran boarding pass),
kalau berdua atau bertiga masukkan juga sekalian, lalu muncul tampilan
yang antara lain menanyakan apakah membawa bayi yang digendong.
Bisa pilih apakah mau duduk dideretan muka - tengah atau belakang,
dan memilih sendiri seat nomer berapa yang dikehendaki karena pada
layar terlihat posisi deretan kursi dan seat mana saja yang masih kosong.
Semuanya dengan sistem touch screen, kalau sudah OK maka keluarlah
boarding pass sudah lengkap dengan seat number pilihan sendiri.
Tinggal menuju tempat memasukkan bagasi, lalu masuk ruang tunggu.
Diruang tunggu, saya mengalami bengong lainnya.
Di ruang yang luas itu, terlihat beberapa buah ATM ( kali ini beneran),
karena iseng sendirian (teman rombongan seperti biasa masuk keluar
toko2) saya lihat2 mesin itu, sewaktu berdiri didepannya mendadak
mesin itu aktif sendiri - layarnya nyala, dan terdengar suara halus dalam
bahasa Jepang yang mungkin menyapa atau mempersilahkan.
Maka dapatlah kegiatan pengisi waktu - bolak balik didepan mesin2 itu,
"isengin" tuh mesin - hahaha - dasar .... !