Friday, December 23, 2011

Xijiang Qianhu Miao Village - The Largest Miao ethnic village all over the World.




Kebetulan sebulan sebelum mengunjungi propinsi Guizhou, saya menjemput
Agustinus Wibowo di bandara Soekarno Hatta, saat itu Agus cerita bahwa
tadi didalam pesawat disebelahnya duduk orang dari propinsi GuiZhou, di
China itu propinsi miskin katanya.

Memang propinsi yang terletak di selatan mainland China itu alamnya sulit -
wilayah baratnya merupakan bagian dari Yunnan-Guizhou Plateau, konturnya
tidak rata dengan begitu banyak puncak gunung dan lembah yang dalam.
Maka tranportasi serta lahan pertanian menjadi sangat terbatas, ditambah seperti
wilayah-wilayah selatan mainland China yang lain, sering mengalami kekeringan.

Ekonominya jadi sulit berkembang, pendapatan per kapitanya nomer buncit di China,
tapi kini justru diketahui tanahnya itu kaya akan sumber daya alam seperti batubara,
fosfor, aluminium, sampai emas dll. Saking begitu berlimpah kandungan batubaranya
sampai-sampai dijuluki "home of coal in south China".

Propinsi ini mulai menggeliat, pembangunan infrastruktur menyebar dengan dahsyat,
dan turisme juga mulai berkembang. Alam pegunungan yang cantik dan unik,
tradisi-kebudayaan dan sejarah panjangnya, disertai suhu subtropical yang nyaman
antara 10-20 derajat C mengundang turis berdatangan.
Disana ada 120 obyek wisata, tiga obyek spektakuler diantaranya akan kami kunjungi
yaitu Huangguoshu Waterfalls - the biggest and most famous waterfall in China and
Asia, Dragon Palace - spectacular underground Karst cave, dan Maling River Valley.

Jumat pagi, 11 Nopember 2011, dihalaman parkir hotel FengHuang, telah menunggu
bus dan local guide yang baru karena perjalanan kami akan berpindah dari propinsi
Hunan memasuki propinsi Guizhou.
Kalau tadinya busnya hijau keren dua lantai, sekarang bus turis biasa yang warnanya
kuning ngejreng norak mencolok mata.
Local guidenya kalau kemarin si A-Mei yang tinggi gagah modis, sekarang SiaoWang
cewek kecil kurus sederhana, maklum dah kan katanya mau masuk propinsi miskin.

Tapi SiaoWang kecil-kecil cabe rawit, kami jadi terpesona lihat dia dengan ber-api2
dan begitu ekpresif menceritakan berbagai keunikan dan kehebatan Guizhou.
Misalnya tentang Ketua MaoTseTung yang konon pertama kali menyusun kekuatan
Tentara Merah di wilayah itu, sebelum memulai LongMarch-nya yang legendaris dan
membuahkan Tiongkok Baru.
Ketua Mao katanya pernah diramal, anehnya si peramal cuma nyebut angka 8341,
tentu menjadi pertanyaan besar. Sampai Ketua Mao meninggal barulah orang tahu
artinya, yaitu meninggalnya diusia 83 tahun dan 41 tahun pimpin rakyat Tiongkok.

Perjalanan hari itu jauh sekali, tapi menyenangkan karena melewati jalan mulus terus,
dimana-mana ada jembatan antar puncak gunung, kalau ketemu perut gunung main
tembus bablas saja pakai terowongan, dan lewat tengah hari barulah kami tiba di :
Xijiang Qianhu Miao Village, inilah "The Largest Miao ethnic village all over the World".
Xijiang artinya marga Xi dan Qianhu berarti seribu rumah.
Memang dilokasi itu terdapat seribuan rumah yang dihuni sekitar 6.000 orang suku
Miao, inilah pemukiman suku Miao terbesar di China dengan adat istiadat serta
budaya yang masih terjaga kelestariannya.

Suku minoritas Miao terkenal dengan sejarah panjangnya yang penuh gejolak,
entah berapa kali memberontak dijaman pemerintahan kekaisaran Ming dan Qing.
Semua ditindas dengan keras, akibatnya berpencaran kesana kemari, sampai ke
luar negeri seperti Laos, Vietnam yang dikenal dengan sebutan suku Hmong.
Suku minoritas ini dalam sensus terakhir berjumlah sekitar 9 juta dan berada di
peringkat ke lima dari total 56 suku di Tiongkok.
Jumlah ini kalau di bandingkan dengan peringkat pertama yaitu suku Han yang
jumlahnya 1,2 milyar orang, maka hanyalah sekitar 0,75 % saja.
Tapi di propinsi Guizhou 12% penduduknya adalah suku Miao yang menempati
peringkat kedua setelah suku Han (62%), jadi mencapai seperlima-nya.

Turun dari bus kami antri mobil shuttle, setelah berkendara sekitar dua kilometer
tibalah di gerbang perkampungan suku Miao itu, kini diharuskan berjalan kaki.
Melewati gerbang kami disambut meriah oleh penduduk kampung itu, diawali
seorang tetua suku yang siap memberikan secangkir arak kepada para tamu.
Kami sudah diberitahu bahwa kalau tidak mau minum arak itu maka kedua tangan
harus dilipat dibelakang tubuh.
Kemudian kami melewati barisan pemusik pria, yang memainkan alat musik unik
semacam suling bambu tapi dibentuk mirip saxophone, bunyinya ramai melengking.
Berikutnya kami melewati deretan wanita Miao pakai busana biru hitam dengan
sulaman warna warni ditambah aksesoris perak dan ada beberapa yang dikepalanya
terpasang aksesoris mirip tanduk kerbau, atraktif sekali.

Memasuki perkampungan kami terpesona dengan pemandangan yang menyejukkan
mata dan hati, didepan tampak jalan utama yang sejajar sungai dangkal yang airnya
jernih sekali, membelah tengah-tengah perkampungan.
Rumah kayu berlantai tiga berwarna hitam kecoklatan tampak susun-menyusun
begitu rapatnya sampai keatas pebukitan yang memagari jalan/sungai itu.
Warna hitam kecoklatan rumah tampak keren sekali dilatar belakangi warna hijau
dari pegunungan, terasa benar kedamaian berada ditempat yang asri seperti itu.

Setelah menonton pertunjukan tari2an dan musik tradisional, dengan mobil shuttle
kami dibawa mendaki bukit kesatu tempat dimana pemandangan terbuka kearah
bawah yang sungguh indah sekali.
Saat itu sore mulai berganti malam, jauh dibawah /dikejauhan tampak sebuah aliran
sungai memisahkan dua pebukitan yang dipenuhi rumah berwarna coklat kehitaman.
Cuaca makin gelap dan mulailah bintik-bintik lampu muncul dari arah perkampungan
menyeruak kegelapan malam. Makin lama makin banyak dan sungguh indah sekali
akhirnya ratusan bintik terang itu bagaikan kunang-kunang memenuhi bukit dari
bawah sampai kepuncaknya, sungguh pemandangan yang menakjubkan.

bersambung : Malinghe canyon - "Beautiful Scar of the Earth"


16 comments:

  1. Senang sekali membaca tulisan-tulisan bapak, seolah2 saya diajak jalan-jalan :) keep writing ya

    ReplyDelete
  2. katanya kalau asap dari dapur rumah2 membubung dari
    banyak rumah disana akan lebih kelihatan bagus lagi

    ReplyDelete
  3. thanks, saya sedang mempersiapkan lanjutannya,
    tentang Malinghe River Canyon Scenic Spot,
    yang dijuluki :
    'A Beautiful Scar of the Earth'

    ReplyDelete
  4. rumah ini kayaknya bikin krasan yang nempati

    ReplyDelete
  5. ada beberapa orang dg kamera segede bazoka + tripod
    pada nunggu dideket situ ngincer kebawah, atuh hasilnya
    bakalan beda banget sama pocket camera saya yang
    megangnya aja gemeter ketiup angin dingin hehe

    ReplyDelete
  6. hahaha, itu jelas pak Sin, apalagi pake 3pod dan bazoka, tp kalau pergi2 gitu males bawanya .. enak yang simpel tinggal dikantongi

    ReplyDelete
  7. Mestinya setidaknya prosumer bawanya ya.

    ReplyDelete
  8. Liat bentuk atap bangunan di China, korea, Jepang sy ga bisa bedain. Pa Sindhi tau ga bedanya?

    ReplyDelete
  9. nngak pernah perhatiin, selintas mirip

    ReplyDelete
  10. pak+bu Bruriadi Kusuma adalah sosok yang saya kagum dengan tulisannya yang selalu lengkap dengan data sejarah sehingga bermanfaat untuk dunia pendidikan.

    ReplyDelete