Sunday, November 28, 2010

Rumah Kayu Goen




Minggu pagi, 28 Nopember 2010 kebetulan baca Kompas dihalaman 27,
ada artikel berjudul atraktif : Makan siang di "Kandang Kebo".
Ternyata itu bangunan tua usia 100-an tahun yang merupakan salah satu
dari tujuh bangunan kayu lain di dalam komplek rumah milik Gunawan W.

Tepat didepan bangunan bekas kandang yang kini difungsikan sebagai
gubuk tempat makan, ada rumah kayu khas China Benteng.
Didalam rumah kabarnya banyak terdapat barang2 antik, dan juga terdapat
telaga kecil yang berdampingan dengan pesawahan yang menghijau.
Dihalaman juga berserakan barang2 kuno dan ada rumah kayu yang di-
jadikan gallery.

Membaca artikel yang menarik itu, berdua dengan istri setelah dari Mie 88
di Gading Serpong kami menuju ke Rumah Kayu Goen itu, nekat saja hanya
berbekal alamat Kp Cipari, Desa Panongan - Cikupa.
Sempat saya lihat di peta dan mendapat gambaran bahwa lokasinya kira-kira
diselatan Perumahan Citra Raya.

Perjalanan lancar, kami memakai jalan tol kearah Serang, exit di Bitung lalu
lewat jalan biasa menuju Cikupa, hanya 20 menit dari Lippo Karawaci sudah
tiba didepan gerbang perumahan Citra Raya.

Memasuki boulevard, kami menelusuri boulevard itu sejauh sekitar 6 kilometer,
lurus terus nyaris tidak belok2, setelah dekat Sekolah Citra Berkat yang besar,
baru belok kanan melewati Pos Polisi Polsek Panongan.

Akhirnya ketemu pertigaan jalan desa, sempat bertanya ke warga setempat,
ternyata persis di pertigaan itu ada papan nama jalan : Rumah Kayu Goen,
kami belok kekiri.
Jalan aspal kini agak sempit dan sedikit rusak, dan sekitar 1 kilometer terlihat
jalan kecil dikanan dengan gerbang/gapura.

Kami disambut penjaga dan seorang wanita yang rupanya memang siap untuk
menerima tamu yang berkunjung, pak Goenawan sendiri rupanya tinggal di
Tomang dan biasanya lewat tengah hari baru datang.

Parkir cukup luas di komplek yang rimbun pepohonan, dikanan terlihat lumbung
padi yang rupanya difungsikan untuk kamar tamu, sebuah mesin diesel kuno
warna hitam gagah menjaga halaman.

Rumah China Benteng dengan meja abu persis setelah pintu utama, dan
dibelakangnya masih ada satu ruangan lagi sebelum ruang belakang yang luas.
Didalam kamar tidur ada ranjang kuno yang masih pakai kelambu.

Disebelah rumah kuno ini ada rumah kayu lain yang isinya banyak barang antik,
rupanya jadi gallery/toko.

Kami kemudian jalan menuju kebelakang dan sampai ditepi telaga kecil yang
asri, ada getek yang bisa membawa kita menuju sebuah gubuk ditengah telaga
yang katanya dipakai untuk menenangkan diri, memang suasana mendukung
untuk tenang disitu sambil memandang hijaunya pesawahan disebelahnya.

Sayang pak Goen tidak sempat jumpa, tapi dari name-card yang diberikan
saya sempat menilponnya, dan beliau welcome bagi siapapun yang ingin
datang berkunjung, termasuk rombongan Jalansutra.

Dari pak Goen saya baru tahu kalau pak William Wongso udah duluan sampai
kesana, demo masak masakan Benteng katanya di "Kandang Kebo".

Rumah Kayu Goen
Jl. Rumah Kayu Goen
Kp Cipari - Ds Ciakar - Kec. Panongan
Tangerang - Banten
021-70302988
hp: 0812 9259 132.

Tuesday, October 19, 2010

Nyoba Bonek ke Cirebon.




Mau kondangan ke Cirebon, tadinya terfikir mau nyetir saja karena
lebih leluasa, tapi sedang banyak turun hujan sehingga akhirnya
diputuskan naik Bonek saja alias CirebonEkpres.
Kebetulan Nuke & Wimpie mau kondangan juga, mereka dari
Bandung bawa mobil jadi tetap ada kendaraan selama di Cirebon.

Sabtu siang perjalanan lancar dari Tangerang ke Gambir, jadi tiba
kepagian, tapi tidak masalah kami jadi sempat santai makan siang
dulu di HokBen di stasiun Gambir yang tampak tertib dan rapih.
Ternyata si Bonek nya datang telat sekitar 10 menit, setelah para
penumpangnya turun, barulah kami masuk kedalam gerbong Kelas
Eksekutif yang sejuk nyaman ber-AC.
Sempat serasa berada didalam pesawat, bedanya kursinya bisa
diputer arah agar penumpang bisa duduk menghadap kedepan.

Selama perjalanan guncangan tidak banyak, malah rasanya cukup
empuk beda banget dengan kereta jaman dulu yang gejrag gejreg.
Kecepatannya juga lumayan, sayangnya banyak berhenti2 sehingga
benar saja nantinya tiba di Cirebon telat hampir satu jam.

Sayangnya pula, terjadi satu hal yang memang sejak awal sudah
kami khawatirkan yaitu pelemparan batu, yang mengejutkan sekali
karena bukan saja suaranya keras juga kaca jendela penumpang
dua baris didepan bangku kami itu sampai pecah.
Untunglah batunya tidak menembus masuk, tapi sedikit serpihan
kaca sempat bertaburan kedalam.

Tiba di stasiun Cirebon yang masih dipertahankan bentuk lamanya,
di halaman stasiun banyak yang menawarkan kendaraan, baik itu
taksi maupun becak.

Selama di Cirebon kami menginap di Apita, hotel bintang tiga ini
berlantai 17 - merupakan bangunan tertinggi di kota Cirebon, lengkap
dengan kolam renang dan Grand Ballroom tempat resepsi pernikahan
yang akan kami hadiri Sabtu malam itu.
View dari jendela kamar hotel kearah gunung Ciremai cantik sekali,
selintas Ciremai mirip Mount Fuji yang berdiri sendiri tidak berupa
pegunungan, tapi Fuji bentuknya lebih perfek dan puncaknya di-
selimuti salju jadi jauh lebih menawan.

Esok paginya, datang kiriman Ketan Apun pemberian Sianna Kaur,
sayang "Walikota" Jalansutra Cirebon ini sedang berada di Solo
sehingga tidak bisa bertemu langsung.
Kiriman ketannya nggak tanggung2 sampai 40 bungkus, tapi Sianna
via bbm wanti2 bilang bahwa belum ke Cirebon kalau belum menikmati
Ketan Apun ini.

Kami sempat ke Trusmi, awalnya saya kira Trusmi itu nama toko batik,
rupanya itu nama kawasan dimana disitu memang sentra toko batik,
yang uniknya mengharuskan pengunjung lepas alas kaki kalau masuk.

Sempat nyobain Tahu Gejrot, dan juga Empal Gentong Darma yang
legendaris tapi bikin deg2an karena banyak lemaknya, cuma sayang
warung Nasi Jamblang yang di rekomen bukanya jam 16 sedangkan
si Bonek yang membawa kami balik ke Jakarta "take-off"jam 15.

Yohan Handoyo sempat heran, dia bbm : "kereta koq take-off ?"
saya bilang "Sssttt, biar kedengeran keren atuh"

Telat sekitar 30 menit kami tiba di Gambir, dan dengan termehek-
mehek saya nenteng koper, box isi puluhan bungkus Ketan Apun
ditambah lagi kantong plastik isi Mangga Gedong Gincu.
Setelah nge-drop sebagian Ketan Apun di Kopitiam Oey Sabang,
barulah kami meluncur pulang ke Tangerang.

Bingung tagihan Matrix bengkak, ternyata.......... :((



Seperti biasa saya akan membayar biaya pemakaian Matrix
pakai klik BCA,  begitu lihat lha koq bengkak tagihannya !.

Memang bulan lalu HP saya bawa keluar negeri, tapi
rasanya nggak punya salah, yaitu BB dimati-in dan
nggak sekalipun dipakai nilpon, koq biayanya gede gini.

Tadi saya datangi gerai Satelindo, si mbak customer
dengan ramah dan sabar setelah ketak ketik komputer,
bilang bapak ada pemakaian international roaming yaitu
se-besar  561.780,- 

Apa-an tuh mbak ??
Ya, bapak tercatat beberapa kali menilpon.
(Haaaah, sakit kepala deh, apa iya gue lupa nilpon2 ?)
Bisa tolong kemana aja tuh mbak?

Ada tujuh kali nilpon pak !
(Astaga, boro2 tujuh - sekalipun aye kagak inget nilpon kemane)

Coba sebut nomernya mbak, trus saya tilpon nomer itu,
ternyata itu nomer pak Vincent, teman tur ke Belitung
yang udah sekian tahun nggak kontak.
(Busyet deh, ada urusan apa gue nilpon die?)

Yang atunya lagi mbak ?
Ternyata itu restoran Pagar Alam !, lha urusan apa jauh2
dari China nilpon ke restoran itu ?

Ternyata nilpon ke Vincent terjadi berturutan selang sekian
waktu dan pada hari yang sama, begitu pula ke restoran
Pagar Alam pada hari lain dan beberapa kali berturutan pula.

Nah saya test dah, pencet huruf V di handphone - ternyata
memang muncul nama Vincent, begitu pula saat pencet
hurup P muncullah si Pagar Alam Restoran.

Waaaah, jelas dah duduk perkaranya - jadi HP yang saya
selalu taruh dikantong celana itu keteken huruf itu dan nggak
sengaja kemudian keteken pula tombol send nya

Lemess dah, ya udah salah sendiri, mau diapain.

OK dah mbak, apakah ada keringanan kalau kejadian kayak gini ? 
Nggak bisa pak, karena semua sudah tercatat.

Yaah sudah, nasib deh.
Sampai rumah langsung buka klik BCA dan beresin tagihan.

Kenapa bisa kejadian kayak gitu ya ?
atau ada yang pernah mengalami hal yang sama ?
Ada saran/kiat untuk tidak terjadi kejadian itu lagi.?

Monday, September 27, 2010

XinJiang - a fabolous place to visit, part 1 - menuju Beijing.




Sekian lama tidak ke China (terakhir 2005), dan mendengar bahwa kini
sudah banyak kemajuan disana, istri saya kutak-katik rute lagi, selama
ini memang selalu dia yang merancang rute perjalanan kami.

Pilihannya, apakah ke China bagian timur yang serba maju misal nonton
Shanghai Expo, atau sebaliknya masuk daerah pelosok yang unik/eksotis.
Mendengar antrian masuk Expo yang bisa dua jam, tentu mending ambil
pilihan yang kedua, apalagi ada kabar bahwa kini sudah terbuka wisata
masuk sampai pedalaman XinJiang, propinsi China yang paling barat.
Dalam satu brosur wisata XinJiang, ada tulisan :
XinJiang - a fabolous place to visit, membuat makin mantap niat kesana.

Sebetulnya tahun 1999 kami pernah ke Xinjiang ini, tapi hanya ke Urumqi
(baca wu-lu-mu-qi) - kota terbesar di bagian barat Tiongkok ini terdaftar
dalam Guinness Book of Records sebagai kota terjauh dari laut, sekitar
2.648 km dari garis pantai terdekat, dan ke kota Turpan (baca tu-lu-fan).

Waktu itu kami terkesan sekali dengan ke-eksotisan wilayah Turpan, di
wilayah tepian gurun yang sekitar 150 meter dibawah permukaan laut itu
suhu udara bisa diatas 40 derajat, malah di satu pegunungan saat suhu
mencapai 70 derajat C, lerengnya tampak membara sehingga dijuluki
Flaming Mountain !
Tapi kotanya bisa begitu hijau dengan perkebunan anggur yang luas sekali.
Rupanya sistim irigasi kuno bawah-tanah yang disebut Karez, yang konon
jaringannya sampai 5,000 km sehingga dijuluki "The Underground Great Wall"
bisa mengubah tanah gurun menjadi lahan yang sangat subur.

Propinsi XinJiang (=SinKiang) luas sekali, kira-kira setara Iran/West Europe,
seperenam wilayah Tiongkok ada disana, dan berbatasan dengan begitu
banyak negara : Russia, Mongolia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan,
Afghanistan, Pakistan dan India.

Wilayah ini seakan dibelah dua oleh pegunungan TianShan yang membujur
barat-timur, kalau diutaranya terdapat Gorbantongut Desert, maka diselatan
terdapat Taklimakan Desert yang luas sekali dan ganas.
Inilah wilayah tempat lewatnya Silk Road - rute perdagangan kuno yang
membentang dari kota Xian di Tiongkok tengah sampai ke Mediterrania.

Untuk kali ini kami pilih mengunjungi bagian utara XinJiang, dengan rute
mengelilingi tepian Gorbantongut Desert dalam arah counter clockwise,
disitu sudah dekat-dekat dengan border Mongolia-Russia-Kazakhstan.
Diwilayah tepi gurun - pegunungan tinggi berselimutkan salju abadi inilah
banyak scenic spot yang unik dan cantik.

Karena ada teman yang ingin sekalian mengunjungi kota YinChuan di
propinsi Xining dan juga naik bullet train pulang pergi dari Beijing ke kota
TianJin, maka total perjalanan molor menjadi dua minggu.

Tapi ada satu hal yang mengganjal, seperti diketahui 5 Juli tahun lalu
terjadi kerusuhan etnis di dalam kota Urumqi yang cukup hebat dengan
korban jiwa sampai 200 orang, yang luka 1500 orang (versi pemerintah,
konon angkanya jauh diatas itu).

Untunglah berkat bantuan Agustinus Wibowo (anggota Jalansutra yang
tinggal di Beijing), bisa kontak e-mail dengan LamLi, cewek backpacker
Malaysia sobatnya Agustinus ini kebetulan sedang berada di Turpan.
Info dari LamLi sangat melegakan, sudah aman katanya hanya suhu
udara di Turpan sedang mencapai 40 der C.

Kamis pagi 9 September 2010, tepat waktu kami sudah masuk pesawat
China Southern yang akan membawa kami dari Jakarta ke GuangZhou,
nantinya lanjut terbang lagi ke Beijing.
Tapi duduk sekian lama sampai lewat 40 menit dari jam take-off , koq
pesawat masih nongkrong saja, wah bisa berabe nih karena transit time
di GuangZhou cuma 2 jam.
Persoalannya nantinya di GuangZhou itu, selain kami harus antri imigrasi,
juga harus ambil bagasi dan geret ke airport domestik untuk check-in lagi.
Boarding pass tujuan Beijing sih sudah pegang tapi cilakanya bagasi nggak
otomatis pindah pesawat, tapi harus diambil dan di check-in kan lagi gitu.
Kami semua ngedumel, koq aneh-aneh saja, soalnya kan sama-sama
China Southern kenapa mesti pindahin sendiri koper gitu, apalagi airport
GuangZhou kan gede banget - bakalan ribet nih.

Benar saja, jam 16 kami baru mendarat padahal take-off ke Beijing jam 17.
Turun pesawat masih aja ada hambatan - ada nenek2 tua yang jalan harus
dipapah menghalangi arus penumpang dibelakangnya, terpaksa kami
ikut jalan beringsut, apalagi turun tangga karena tidak pakai aerobridge.

Setelah lari-lari sana sini, akhirnya bagasi beres, dan kini mencari gate
keberangkatan, alamak ternyata diujung dunia, sempat rombongan kami
yang 28 orang dinaikkan mobil listrik, tentu lega sekali karena bisa cepat
dan tidak capai lari-lari.
Tidak lama kami sudah diturunkan si pengemudi, kirain sudah sampai,
setelah tanya-tanya, astaga lokasi tujuan bukan disitu, lari-lari lagi jauh
banget - kayaknya nyebrangi lapangan Monas masih lebih deket.

Setiba di gate keberangkatan pas banget jam 17, lega sekali karena
terlihat calon penumpang masih nunggu - ternyata penerbangan delay.
Pesawat B 777 China Southern itu malah jam 18.10 baru lepas landas.
Penerbangan sejauh 1200 miles itu ditempuh 2 jam 15 menit, dan sekitar
jam 20.30 pesawat landing di Beijing dalam suhu 22 derajat.

Segera menilpon Agustinus Wibowo, kami memang janjian dinner bareng
disebuah restoran didalam kota Beijing bersama pasangan JSer Henry
dan XTin yang kebetulan berada di Beijing.
Tapi sampai semua selesai makan, mereka bertiga barulah tiba, rupanya
lokasi mereka terlalu jauh dan sempat kesulitan cari lokasi restoran itu.

Akhirnya kami ngobrol didalam bus saja dalam perjalanan menuju hotel,
Agus sempat diminta bercerita pakai mikropon tentang petualangannya
di Afganistan, dan rencana penerbitan buku keduanya akhir tahun ini.

Sayang sekali esoknya Agus ada janji dan pasangan Henry + Xtin mau
siap2 packing perjalanan ke JiuZhaiGuo, maka di lobby hotel setelah
"trafficking" pesanan Agus yaitu Bumbu Pecel ditambah Arem-arem,
menjelang tengah malam pertemuan super singkat itu usai.

Bersambung :
Nyoba Bullet-train Beijing - TianJin pp.