Tuesday, July 1, 2008

The Town that Time Forgot - Takayama.




Perjalanan kami membelah pulau Honshu dari timur kebarat, berawal
dari Osaka yang terletak di pantai timur, menembus pegunungan tinggi
bersalju dari Japan Alps, untuk akhirnya tiba di kota Kanazawa yang
berada ditepi Laut Jepang.
Jumat pagi 4 April 2008 perjalanan dilanjutkan, kini start dari Kanazawa
kembali menyebrangi Japan Alps, untuk nanti akhirnya mencapai Tokyo
yang berada di pantai timur Honshu.

Dipelukan Japan Alps itu terdapat Takayama - sebuah kota tua kecil,
dengan penduduk hanya 60 ribu orang. Lokasinya yang begitu terpencil,
ditambah sepanjang winter terbenam salju tebal, menjadikannya luput
dari gelombang modernisasi yang menyapu Jepang.
Bangunan, budaya dan tradisi masa lampau masih terjaga keasliannya
sehingga saat menelusuri kota tuanya para turis akan merasa seolah
berada pada Jaman Edo (1600-1868).

Perjalanan menuju Takayama menelusuri lereng-lereng pegunungan
tinggi bersalju, tapi asyiknya tidak bikin mabuk karena boleh dikata
jalan bus kami "lurus" saja, tidak banyak ber-belok2 seperti di Puncak.
Ini karena jalan mulus itu kalau tidak melalui jalan layang maka nerobos
tunnel-tunnel yang rasanya tidak habis2nya entah berapa puluh buah.
Maka kami bisa menikmati pemandangan diluar jendela dengan santai,
melihat salju menutupi puncak dan lereng gunung sampai ke tepi jalan,
serta jurang-jurang dan sungai terisi air kehijauan - cantik sekali.

Setiba di Sannomachi, bagian paling antik dari Old Town Takayama,
kami turun dari bus, lalu berjalan kaki menelusuri jalan kecil yang
dipagari deretan rumah kayu tua tanpa halaman.
Kampung kuno itu dipenuhi rumah-rumah tua yang kini menjadi toko-
toko yang menjual barang2 tradisional atau souvenir, ada warung kopi
sampai rumah pembuat sake yang unik ditandai dengan sebuah drum
besar dari kayu cedar tergantung diatas pintu masuk.
Semua merasa senang, bisa masuk dan melihat isi rumah tradisional
Jepang yang selama ini lihatnya di film2 saja.

Sebenarnya dengan membayar 6000 Yen bisa nyantai naik Rickshaw
yang ditarik orang, keliling2 kampung selama 30 menit.
Tapi ternyata tidak ada teman kami yang mau mencobanya, maklum
saja - masa naik beca doang bayarnya sampai 600 ribu rupiah.

Kemudian kami menuju Takayama Matsumi Museum, yang berada
diluar kota Takayama, komplek Cultural Resort of Tradition ini besar
sekali, lapangan parkirnya bisa menampung 60 bus dan 1000 mobil.
Selain restoran besar, disitu ada berbagai museum seperti museum
Tea Ceremony, sampai ruang penyimpanan Yatai /Kendaraan Hias
yang menakjubkan karena dibuat dengan melubangi sebuah bukit.
Konon sengaja Yatai disimpan disitu agar awet, karena temperatur
didalam gua relatif stabil ketimbang diluar yang bisa dingin sekali.

Setelah makan siang, kami diajak melewati semacam tunnel yang
pendek saja, mengarah ke perut bukit dan sampailah kami diruang
bawah tanah yang luas dengan atapnya yang tinggi.
Disitulah disimpan berbagai kendaraan hias aneka bentuk yang
menakjubkan, dengan tinggi sekitar 10 meter, penuh ukiran warna
warni yang cantik sekali. Kendaraan beroda itu dibawa berkeliling
kota saat festival spring dan autumn, saat itu jumlah penduduk kota
bisa mendadak menjadi empat kali lipat.
Didalam ruang besar itu, juga terdapat berbagai benda unik, mulai
dari boneka2 kayu yang bisa di-gerak2an dengan menarik tali,
tambur ber-diameter 2,67 meter yang disebut The World Largest
Japanese Drum, sampai The Biggest Portable Shrine of Japan yang
cantik sekali berwarna keemasan.

Sore hari kami meninggalkan Takayama, saat didalam bus menuju
kota Matsumoto, Elly - local guide kami yang selalu ceria dan lucu,
cerita bahwa dua minggu lagi koridor es Tateyama akan dibuka.
Saat itu pengunjung akan bisa melewati jalan yang kiri kanannya
ada dinding salju setinggi 20 meter yang begitu spektakuler.
Sayang sekali kami tidak berkesempatan melihatnya, karena
waktunya tidak pas, kami datang ke Jepang ini tujuannya melihat
Sakura berbunga - yang sudah rontok di akhir April.

Mendadak terlihat dari dalam bus - ada monyet berjalan di salju,
Elly cerita lagi bahwa monyet disini unik, tahan dingin dan tidak
tidur (hibernasi) disaat winter.
Malah suka ikutan mandi di Onsen pria (kolam air panas alami -
kalau mandi disitu harus bugil) yang banyak terdapat disitu.

Cuma monyetnya jadi pada heran kata Elly lagi, karena teman-
teman mandinya itu koq ekornya salah posisi - ada didepan !.

17 comments:

  1. Menu sehatnya rasanya bagaimana, pak?

    ReplyDelete
  2. Diikut kan lomba foto tema makanan di milis jalan sutra dokt ...

    ReplyDelete
  3. memang sayang sekali kalau tidak dapat melawati tateyama...

    ReplyDelete
  4. wahh,seru juga yaa....
    jadi pengen...(^__^)

    ReplyDelete
  5. Vit,
    kalo di Jepang koq rasanya semua makanan disana enak2 dan
    sehat, kita percaya banget kalo bahan makanan dan prosesnya
    bagus/higienis, memang saya suka makanan Jepang,
    berbeda dengan Korea - yg saya kurang cocok.

    ReplyDelete
  6. ikut lomba ? he3- nggak ah, lupa nyatet nama2nya.

    ReplyDelete
  7. memang mestinya ke Tateyama itu, fantastis banget,
    saya baca naiknya mesti dari Toyama, pakai cable car,
    nerobos tunnel dll, dan melihat Dam tertinggi di Jepang.

    ReplyDelete
  8. ..yang saya pernah dengar katanya beras kualitas 1 memang buat rakyat jepang, yg diekspor itu kelas 2 nya (terbalik sama di indonesia), makanya nasi di jepang uennnak banget..

    ReplyDelete
  9. memang nasi di Jepang bagus dan cocok,
    yang paling sengsara makan nasi di Srilanka
    karena "pera" - nggak cocok buat lidah kita.

    ReplyDelete
  10. kalo diperhatikan orang Jepang memakai peralatan
    makan yang muacem2 bentuknya, sehingga makanan
    yang ditaruh didalamnya jadi cakep2 penampilannya,
    cuma kata bu KimSoan yang menetap di Jepang -
    abis makan jadi cape sebab begitu beragam dan
    banyaknya peralatan yang mesti dicuci, he3

    ReplyDelete
  11. Wah, Takayama ! Sebenarnya saya kepengen sekali kesini, tapi waktunya kurang memungkinkan. Kepengen juga "ngonsen" ke Gero.
    Keliatannya damai sekali disini ya pak Sindhi ?

    ReplyDelete
  12. betul, rumah tradisional kayu yang dempet2an
    terawat apik sekali, kebayang masa lalu disitu
    kayak apa.
    kalau ke daerah sana sekalian ke Tateyama tuh
    yang kelihatannya spektakuler

    ReplyDelete
  13. Sepertinya begitu, makanya saya heran kalo lagi liat di film2, apa gak capek gitu cucinya... di sana kan gak pake dishwasher, hehe :D

    ReplyDelete
  14. bagus banget, artistik sekali!

    ReplyDelete
  15. kalo kita mah piring mangkok cakep2 gitu
    dipajang di lemari pajangan he3

    ReplyDelete