Thursday, January 5, 2012

flashpackerindonesia : Menulis Catatan Perjalanan

deedee

<deedee_caniago@yahoo.com>
Fri, Jan 6, 2012 at 12:19 PM
To: "flashpackerindonesia@yahoogroups.com" <flashpackerindonesia@yahoogroups.com>
Cc: "smulya@gmail.com" <smulya@gmail.com>
Flashpackers,

dibawah ini ada tulisan kang Bondet yang sangat bagus, patut disimak mengenai dunia tulis menulis

makasih Om Sindhi yang udah ngenalin aku sama Kang Bondet

enjoooyyy :-)

salam,
Deedee Caniago
*they don't care how much you know until they know how much you care*



Menulis Catatan Perjalanan Versiku
Sigit Susanto*
Pengantar:

Kuslan Budiman, orang lekra yang kini masih bermukim di desa kecil di Belanda pernah suatu kali mengirim email kepadaku, kira-kira berbunyi:
“Nyoto dulu pernah menganjurkan kawan-kawan agar menulis dalam bentuk REPORTASE LITERER, namun belum ada yang melakukan.”

Sebelum aku dapat email dari Kuslan Budiman di atas, tahun 2001 aku sudah mulai menulis bentuk catatan perjalanan saat bepergian ke Kuba. Awalnya tulisan itu kumaksudkan untuk dikirim ke kawan-kawan dekat dan milis-milis yang kuikuti. Tidak bertendensi dikirim ke media dimuat atau dibukukan.

Seperti biasa tulisan menuai komentar dari pembaca. Mungkin ini termasuk bentuk penulisan yang baru, sehingga realitas yang kupaparkan, sering dianggap negatif, naif oleh pembaca. Dua pembaca dan sekaligus kawan baikku, ketika kukirimi tulisan via email dulu itu, berseloroh:
“Si Anto saja ke Madagaskar, tidak bilang-bilang.”
Kawan yang lain berkomentar, “Kamu suka pamer. Istri lagi, istri lagi ditonjolkan.”
Aku jawab kepada mereka dengan alasan logikaku. Pelan-pelan aku ingin mencari tahu lewat referensi buku. Baru tahu ternyata sejak abad 18, Goethe sudah menulis bentuk catatan perjalanan ke Italia dan Swiss. Tolstoi juga bepergian ke Jerman, Mark Twain juga bepergian keliling Eropa, Flaubert ke Mesir, Simone de Beauvoir dan Camus ke Amerika, Thomas Mann ke Venesia, Hermann Hesse ke India sampai Palembang, terakhir Naipaul ke Asia, Afrika, dan Latin Amerika serta ke Indonesia. Mereka menulis dalam bentuk catatan perjalanan atau novel.
Mengetahui para penulis dulu juga menulis catatan perjalanan, kenapa kita dianggap pamer ketika menulis dalam bentuk yang sama?

Versiku:
Sudah menjadi kelayakan, setiap penulis punya styling, corak, versi sendiri. Jika seseorang mencoba mengimitasi penulis terdahulu, mungkin hanya sebatas di permukaan. Tapi tetap saja corak tulisan asli akan muncul kembali.
Ketika aku mulai menulis catatan perjalanan, 10 tahun silam, aku tak paham apa itu “Reportase Literer?” Yang kutahu beberapa hal sepele.

1. Cara menulis seperti ngobrol dengan tetangga:
Menyadari ini bukan menulis kisah fiksi, tapi riel, maka ketika aku menulis sambil membayangkan ketika aku nongkrong di tembok depan rumah sambil ngobrol dengan tetangga di desa.

A. Tema hangat:
Seperti dalang, penulis tahu apa yang akan diceritakan dari tema ke tema yang lain. Sebab itu, tema yang membuat para tetangga antusias, gembira, sedih. Seharusnya yang temanya juga mudah dipahami oleh mereka. Syukur tema itu menarik sehingga bisa membangkitkan emosional mereka untuk terus mengajak bicara. Tema yang memikat akan berlanjut dengan tongkrongan berikutnya.
Jika sang pejalan suka masakan, barangkali porsi cerita tentang dunia kuliner akan banyak. Jika sang pejalan suka arsitektur, maka porsi tulisan arsitektur akan gendut. Jika sang pejalan suka nilai-nilai humaniora, politik dan sastra, maka sastra humanis dan politik akan gemuk pula. Tergantung interes sang pejalan.

B. Rendah hati:
Dalan ngobrol dengan tetangga atau kawan, pantang tinggi hati atau sombong atau menggurui. Lebih baik rendah hati. Dari sana semakin luas kesempatan untuk menjejali sesuatu dari benak dan bercerita yang kita sukai seluas-luasnya. Apalagi jika catatan perjalanan yang mengusung cerita dari luar negeri. Kesan luar negeri saja sudah wah..., boro-boro bisa keluar negeri, warna paspor hijau dengan lambang burung garuda saja banyak orang kita yang belum pernah lihat. Sebab itu, kalau penuturan dalam tulisan bergaya tinggi-tinggi, maka akan banyak yang tidak bisa mengikuti dan akan menuai kesan sok tahu. Sekali lagi, sebuah tema yang memikat tanpa dipaparkan dengan cara yang ramah, akan mencoreng keunikan tema.

C. Jujur
Ini kunci penting. Sekali lagi kita tidak menulis fiksi. Kejujuran mutlak diperlukan. Jangan memanipulasi cerita atau mengada-ada. Kembali ke teknik nongkrong dengan tetangga, jika ada cerita yang tidak benar, pasti akan kena teguran, protes. Terburuk, tongkrongan akan berkurang dan ujungnya bubar.

D. Emosional
Kalau dalam cerita fiksi kita kenal daya suspensi, agar pembaca terus hanyut dalam kisah, maka pada catatan perjalanan, kupikir sangat dibutuhkan daya “Emosi.” Bagaimana kita melihat suasana, peristiwa baru dan asing, ditakar sebagai orang Indonesia. Khususnya saat menulis aku sering membayangkan diriku seperti masih di desa, Jawa sana yang belum pernah ke mana-mana. Emosionalku akan meloncat-loncat, ini mempengaruhi napas tulisan. Jurang budaya dan kekaguman akan berdampak dalam tulisan. Orang-orang yang kagetan dan heranan (gumunan: Jawa), sangat bagus untuk menghadirkan emosi spontan. Ada sedih, ada humor, ada konyol.
Dari sini penulis mulai sadar, untuk siapa sebenarnya tulisan itu nanti? Untuk kalangan pembaca umum, intelektual, petani? Di mata kaum intelektual atau orang yang banyak pengalaman bepergian, mungkin emosional yang dekat dengan orang biasa, petani, buruh akan dianggap naif. Tapi itu risiko, karena tingkat pengetahuan dan pengalaman pembaca berbeda-beda. Sebaiknya abai-abai saja, entah predikat apa akan disandangkan kepada penulis, naif, narsis, apa lagi?

E. Ritme
Menurutku dalam menulis ada tiga ritme: Ritme Longgar, Ritme Rapat dan paduan antara keduanya.
Ritme Longgar
Kisah perjalanan bisa bermacam-macam, tapi juga teknik menulis bisa mempengaruhi hasil tulisan. Ada penulis yang suka cerita yang penting-penting saja. Penulis jenis ini, sangat abai dengan waktu. Ia bergerak dari objek ke objek yang lain. Loncatannya cepat. Ritme yang dipakai sangat longgar. Efek yang didapat, pembaca akan cepat banyak tahu, cerita akan lekas selesai, tapi ada banyak lubang menganga tak tertuliskan.
Ritme Rapat:
Kalau aku lebih memilih memakai “Ritme Rapat.” Tulisan bergerak dari hitungan menit ke menit. Tentu dengan memakai pertimbangan rasa emosi sesuka hati sendiri. Jika bermenit-menit tak ada yang perlu aku tulis, ya aku lompati. Namun hampir semua suasana dan peristiwa yang sangat menonjol aku rekam dalam tulisan. Efek yang akan timbul, pembaca akan merasakan “Seolah-olah ia sedang berada dalam perjalanan itu sendiri.” Coba dibandingkan dengan “Ritme Longgar,” pembaca ada di luar perjalanan, tidak ikut terlibat bepergian.
Belakangan Edwin Muir, penerjemah karya-karya Kafka yang pertama kali dalam bahasa Inggris bilang, “Kafka menulis karya seperti menulis catatan perjalanan. Ia menulis dengan ritme sangat rapat dalam hitungan menit ke menit.” Apa benar, Kafka menulis demikian? Kita simak pada noveletnya Metamorfosis, Gregor akan berangkat ke stasiun kereta api, dengan tertatih-tatih membuka pintu kamar, dalam hitungan menit ke menit.
Ritme Paduan:
Ini paduan antara memakai Ritme Longgar dan Ritme Rapat. Tentu saja pelaksanaannya tergantung kepekaan diri sendiri. Kapan Ritme Longgar akan dipakai dan kapan Ritme Rapat akan disisipkan.

F. Kronologi
Penting kupaparkan berdasar urutan perjalanan secara kronologis. Mirip sebuah itinerary dalam sebuah brosur perjalanan. Hanya saja lebih banyak narasi. Mulai dari waktu, kapan, di mana, ada peristiwa apa, siapa saja di perjalanan. Di sini bisa meminjam istilah 5W+ 1 H dari teori jurnalisme. Dari hitungan waktu ke hari ke minggu ke bulan. Tergantung kapan perjalanan itu berakhir dan kembali ke tempat semula.
Jika teknik menulis sudah dipaparkan, maka peralatan yang akan dibawa perlu disiapkan:
1. Buku Catatan:
Aku biasa memilih buku catatan yang tebal halamannya, tapi kecil kemasannya. Sehingga praktis bisa dimasukkan ke saku celana atau baju. Ini untuk menghindari, jika lupa membawa ransel atau tas.
Yang kutulis di buku catatan, biasanya secara garis besar apa saja yang kualami dalam perjalanan. Termasuk mencatat nama orang, jalan, kantor, toko, bus, kota, juga nama-nama asing yang berceceran di sepanjang jalan, kwitansi, merek produk atau objek.
Tak hanya yang kasat mata, tapi harus kasat lidah dan telinga. Bagaimana rasa semangkok sup jamur. Apa yang kita dengar dari bisikan orang lokal maupun sesama pejalan. Karena mencatat sambil mengamati perjalanan, maka mencatatnya harus dengan cepat dan kadang pakai berbagai bahasa yang saat itu bersarang di benak. Ya, kadang mencatat dalam bahasa Jerman, Inggris, Indonesia, tak jarang pakai bahasa Jawa.
2. Handbook dan novel
Bila bepergian ke sebuah kota lain atau negara lain, tradisi orang Swiss pinjam handbook di perpustakaan dulu. Nah, tradisi ini juga kuikuti. Karena interesku besar terhadap sastra, politik dan budaya maka aku berusaha meminjam novel yang berlatar tempat yang akan dikunjungi. Atau kita bisa membeli novel atau buku dengan tema terkait di objek yang kita datangi. Dari buku-buku tersebut aku coba selundupkan sosok para tokoh besar dan informasi di tempat masing-masing terutama sastrawannya. Dari sini barangkali mulai bisa menjawab “Emosional Intelektual” yang merujuk ke “Reportase Literer.” Pengalaman mengatakan, menulisnya cepat, namun mencari data dari referensi buku itu yang memakan waktu lama.
Menurutku, Reportase Literer, tak hanya menuliskan catatan perjalanan dalam bahasa sastrawi yang berbunga dan renyah, namun juga mampu memasukkan unsur-unsur intelektual yang bersumber dari referensi bacaan.
Pengalamanku menerbitkan buku dua jilid berupa catatan perjalanan: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia. Ternyata buku jilid 1 lebih laku ketimbang jilid 2. Dugaanku, napas emosional perjalanan lebih terasa kuat pada jilid 1. Tidak semua pembaca buku perjalanan suka sastra dan data-data yang rumit. Mengawinkan kesukaan jalan-jalan dan sastra, tidaklah mudah.
Dugaanku yang lain, faktor ketenaran objek yang ditulis ikut mempengaruhi. Pada jilid 1 meliputi kota-kota besar ternama di dunia, seperti Roma, Paris, Amsterdam, dan London. Pada jilid 2 tidak seperti itu.
Namun James Joyce punya obatnya. Dia bilang, “Bukan apa (WHAT) yang ditulis, tapi HOW menulis yang lebih penting. Sebab itu WHAT dan HOW ini seperti kakak beradik yang saling berantem. Selebihnya up to you all.
Akhir kata: Bon Voyage, Sugeng Tindak, Selamat Jalan, Selamat Menulis.
Sigit Susanto

2 comments:

  1. Dulu Sigit alias kang Bondet pernah menulis beberapa kali di Jalansutra, lucu banget saat dia pertama kali menginjak luar negeri krn mau meniru Sri Paus yg mencium tanah. Ternyata kan pas mendarat pakai garbarata/aerobridge jd gagal lah niatnya mencium tanah sebrang utk pertama kalinya. Ceritanya bisa sicari di archive JS.

    ReplyDelete