kami mendaki didalam tower sampai kepuncaknya
Pesawat Boeing 737-200 Bali Air yang berwarna fancy - pink, terisi
penuh penumpang dan ternyata hanya membutuhkan waktu 45 menit
untuk mendarat di Bandara Depati Amir - Pangkal Pinang, sampai -
sampai mertua saya bilang " pantat belon panas, udah bangun lagi !".
Gedung airportnya kecil saja, seukuran airport Padang, uniknya adalah
landasan pacu-nya yang walau lurus tapi tidak datar dari ujung ke ujung
seperti lazimnya landasan pacu bandara.
Kontur daratan pulau Bangka yang berbukit, menyebabkan landasan ini
dibagian tengah dari panjang landasan-nya agak lebih tinggi dari bagian
ujung-ujungnya.
Penjemput dari biro tour setempat sudah menunggu didalam airport,
dan bung Mirza yang kelahiran Pangkal Pinang ini kemudian memandu
kami naik bus kecil kapasitas 25 seat - leluasa sekali bagi rombongan
keluarga kami yang berdelapan orang saja ini.
Langsung kami menuju Pantai Pasir Padi, yang dekat saja hanya 30 menit
perjalanan, dan mendapat makan siang di sea food restaurant Biru Laut.
Menu lokan dan aneka sea food lainnya dinikmati sambil memandang
pantai yang berpasir putih - kabarnya pasir pantai itu cukup keras sehingga
mobilpun bisa berjalan diatasnya.
Sayang saat itu sedang pasang, kalau surut air bisa mundur seratus meter
dari garis pantai .
Pantai wisata ini selintas sepi saja, hanya ada beberapa restoran dan
tidak terlihat hotel, mungkin karena pantainya tidak terlalu bagus.
Setelah menutup makan siang itu dengan kelapa muda, maka mulailah
perjalanan menuju kota Mentok yang berjarak 138 kilometer.
Perjalanan ini membelah pulau Bangka dari timur ke barat , berangkat
dari kota Pangkal Pinang (posisi di peta persis utara kota Serang) yang
berada di tepi Laut Natuna , menuju kota Mentok (persis diutara kota
Bandar Lampung) yang berada di tepi Selat Bangka.
Jalan-nya hotmix lumayan bagus, lebarnya pas-pasan untuk dua mobil,
dan tidak terlalu banyak kendaraan.
Ternyata pemandangan sepanjang jalan sungguh membosankan -
separuh perjalanan melalui hutan - hanya sesekali melalui kampung2.
Selebihnya mata hanya melihat pepohonan saja -
"hiburan" buat mata adalah warna warni dari bendera berbagai partai
yang berkibar dibanyak tempat sepanjang jalan, rupanya rame rame curi
start kampanye sudah sampai kemana-mana.
Perjalanan selama tiga jam yang terus naik turun bukit itu ( rupanya -
memang kontur tanah disana berbukit-bukit tapi tidak curam ) ,
akhirnya mendekati kota Mentok, dan bung Mirza menunjuk sebuah
gunung dengan dua buah tower dipuncaknya yang tampak dikejauhan
sebelah kanan jalan (sebenarnya hanya bukit yang lumayan tinggi -
di Bangka bukit disebut gunung),
"Itu Gunung Menumbing, tower dipuncak itu milik TVRI dan Satelindo ,
hotel kita juga ada di puncak gunung, dekat tower" katanya.
Oh ya ??, semua terperangah, kirain hotelnya didalam kota Mentok !.
Rupanya di dalam kota Mentok hanya ada penginapan, yang dirasa
tidak memadai untuk diinapi turis.
Sedangkan di hotel Jati Menumbing ini ada fasilitas yang menunjang
seperti Hot & Cold water, pesawat TV yang bisa menangkap siaran
Metro TV,RCTI, SCTV dan Indosiar.
Hotel Jati Menumbing - bintang satu dengan 22 buah kamar,
dulunya adalah villa jaman Belanda yang dibangun di atas bukit
dan berada ditengah hutan lindung.
Sekarang jadi milik Pemda Mentok, tapi dioperasikan oleh swasta.
Villa ini bersejarah kata Mirza, karena disana ada satu kamar yang
dulu pernah ditempati Bung Karno, yaitu saat beliau diasingkan oleh
fihak Belanda ditahun 1948.
Kamar hotel ini engga pakai AC karena digunung, imbuh Mirza,
dan kita harus sampai disana sebelum gelap karena naik gunung
melalui hutan lebat.
Mudah-mudahan tidak ada pohon roboh melintang dijalan ,katanya
lagi. Jalan naik itu kecil sekali, hanya pas seukuran satu mobil.
(semua makin melongo mendengarnya).
Persis memasuki kota Mentok , Mirza nyeletuk :
" Ada yang mau beli Autan dulu engga ? "
Saya mula-mula mikir : Autan ini apaan yah, souvenir apa makanan ? ,
ternyata Autan beneran - obat nyamuk !!
Rupanya Mirza khawatir di kamar hotel nanti banyak nyamuk.
(semua melongo lagi jadinya, engga ada yang menyahut karena sedang
berfikir keras membayangkan seperti apa hotel jaman kuda gigit besi itu).
Karena masih belum terlalu sore maka tidak langsung ke hotel tapi
menuju Tanjung Kalian, sebuah pantai di selat Bangka dimana ada
sebuah mercu suar yang dibangun pada tahun 1862.
(foto pertama)
Ternyata kami diperbolehkan naik, tentu saja kesempatan ini tidak
dilewatkan karena kabarnya kalau cuaca cerah, bisa melihat pantai
pulau Sumatra.
Walaupun belasan step pertama dari tangga batu yang melingkar
didalam menara itu gelap, tapi pada tangga berikutnya tidak gelap
lagi karena ada lubang-lubang kecil di dinding menara.
(foto kedua)
Setelah ngos-ngosan menapaki seratusan anak tangga melingkar itu,
ternyata tangga berikutnya adalah tangga kayu yang posisinya hampir
tegak lurus yang harus dinaiki kalau mau sampai ke puncak menara.
Karena sudah tanggung maka semua manjat dengan gaya kera dan
ternyata sesampai diatasnya masih ada satu tangga kayu lagi yang
juga posisinya sama - hampir tegak lurus.
Dari puncak kami bisa melihat keliling karena ada balkon sekeliling
bagian luar menara.
Sayang hanya bisa melihat kota Mentok dan sekitarnya, sedangkan
Selat Bangka dan pantai Pulau Sumatra tertutup kabut putih.
Kami tidak berlama-lama diatas mercu suar karena harus sampai di
hotel sebelum cuaca gelap, maka segera turun tangga dan naik bus
menuju arah Gunung Menumbing.
Komplek hotel Jati Menumbing berjarak sekitar 10 kilometer dari kota
Mentok, dan dikaki gunung sebelum memasuki kawasan hutan lindung
itu bus kami harus stop dulu di gerbang masuk kawasan.
Tempat ini berjarak empat kilometer dari hotel.
Disitu ada pos penjagaan, petugasnya memegang HT dan mengontak
rekannya yang berjaga di pos atas/gerbang hotel.
Setelah memastikan tidak ada kendaraan lain yang sedang menuruni
gunung - maka barulah kami diperbolehkan memasuki jalan sempit
yang hanya bisa dilalui satu mobil saja itu.
Saat itu matahari sudah mulai redup karena sudah jam 17.30 - gas
mobil digeber oleh pak sopir karena jalannya menanjak terus.
Tentu situasi jalan sempit menanjak ditengah hutan itu membuat kami
semua tegang, apalagi saat-saat mobil memasuki tikungan.
Perasaan kami semua waswas sekali, karena siapa tahu mendadak
muncul mobil dari depan, atau ada mobil mogok dan lain lain.
Tidak mungkin dua mobil bisa berpapasan karena lebar jalan benar-
benar ngepas satu mobil saja.
Jalan aspalnya memang bagus, tapi kiri kanan penuh pepohonan lebat.
Terlihat ada bekas-bekas pohon roboh yang sudah digergaji petugas,
malah ada satu batang pohon yang roboh miring menyender ke pohon
lainnya yang ada diseberang jalan sehingga mobil kami harus lewat
dibawah batang pohon yang miring itu.
Disatu tempat yang lumayan curam, ada petunjuk bahwa harus meng-
gunakan gigi satu, dan memang betul mobil harus sambil menderu-deru
mengambil tikungan dengan kemiringan jalan yang cukup berat.
Saya lihat beberapa penumpang ada yang sampai berdiri terus didalam
bus saking tegangnya.
Akhirnya semua bernafas lega setelah melewati pos penjagaan/gerbang
masuk ke lingkungan hotel yang terlihat cukup luas juga .
Didalam komplek itu ada beberapa buah villa, yang terbesar berada di
puncak bukit, dan didalam bangunan dengan enam buah kamar itulah
ada kamar nomer 101 yang jaman dahulu ditempati Bung Karno.
Ternyata kami juga menginap di bangunan yang sama , saya mendapat
kamar nomer 103.
(foto ketiga dan keempat)
Karena sudah agak sore maka langsung makan malam di restoran hotel,
setelah itu ditawari apakah mau meninjau kamar 101 itu sekarang ?,
langsung pada teriak "Nggaaak, besok aja !".
Tapi akhirnya rasa penasaran tidak bisa ditahan.
Kami ramai-ramai memasuki bangunan utama itu, ada sebuah ruang
pertemuan yang cukup besar.
Sebuah mobil Ford hitam buatan tahun 1948 , juga berada disana -
inilah mobil yang dipakai Bung Karno kalau bepergian sampai ke
kota Pangkal Pinang.
(foto kelima)
Kamar 101 juga lumayan besar, ada dua buah bed kayu, dengan
meja tulis, didepan kamar ada sebuah serambi untuk duduk-duduk
melihat pemandangan diluar.
(foto keenam)
Kamar 102 dipakai untuk ruang tamu atau ruang kerja, terlihat pada
dindingnya banyak foto Bung Karno dan Bung Hatta.
Kabarnya selain Bung Karno dan Bung Hatta, ada enam lagi tokoh
yang diasingkan disana antara lain H.Agus Salim dan Suryadharma.
Bung Hatta ditempatkan tidak di villa utama ini tapi di bangunan
villa lainnya yang terletak lebih kebawah bukit.
Kami diajak naik ke atap bangunan, di sore yang mulai temaram itu
kami sempat melihat permukaan laut Selat Bangka, sayang sekali
banyak kabut sehingga matahari yang mulai memerah itu tidak
tampak jelas.
Sebenarnya view keliling tidak terlalu bagus karena hanya hutan yang
terlihat, kota Mentok dan Mercu Suar Tanjung Kalian juga tampak ,
terlihat kecil jauh dibawah.
Didalam hutan yang tampak lebat itu masih ada lutung, ular dan babi
hutan, sedangkan harimau tidak ada.
Hari itu villa yang terpencil diatas gunung/hutan ini rupanya hanya
didatangi rombongan kami saja.
Malam harinya tentu tidak ada kesibukan lain selain nonton TV dan
berupaya bisa cepat bisa tidur dengan harapan esoknya bisa bangun
pagi-pagi untuk melihat sunrise dari atap hotel.
Tapi esok paginya ternyata kabut tebal sekali, walaupun demikian
kami tetap naik keatas atap bangunan, ternyata memang tidak bisa
melihat apa-apa, semua serba putih.
Angin dingin yang bertiup keras juga membuat kami tidak bisa
berlama-lama diluar kamar.
cerita lanjutan : menuju Sungai Liat.