Menjelang siang 29 Desember 2010, setelah lolos dari Al Ramtha Border Jordania -
Syria maka kini kami berada di wilayah Syria selatan yang disebut Hauran, sebuah volcanic-plateau yang subur, yang membentang dari utara Jordania sampai ke sekitar Damascus.
Dataran Tinggi Golan juga bagian dari Hauran, wilayah barat daya Syria inilah yang pada
Perang Enam Hari tahun 1967 direbut Israel.
Di dataran tinggi ini terdapat Bukit Hermon dan Bukit Booster yang begitu diperebutkan
karena posisinya sangat strategis untuk mengontrol wilayah perbatasan.
Pada awal Perang Yom Kippur 1973, Golan berhasil direbut kembali oleh Syria, namun
serangan balik Israel lagi-lagi menyepak Syria dari sebagian besar Dataran Tinggi Golan.
Siang itu kami tidak langsung menuju Damascus yang berjarak seratus kilometer
keutara, tapi menuju Old City Bosra dulu, salah satu dari enam Unesco's World Heritage di Syria.
Menuju kesana kami melewati wilayah Deraa, saat itu sungguh tidak terbayang kalau
tiga bulan kemudian Syria yang begitu stabil dan kokoh, terkena imbas Arab Spring pula
yang begitu berkepanjangan dan menelan begitu banyak korban jiwa.
Disekitar Deraa yang kami lewati itulah tempat awal-awal munculnya Arab Spring di Syria.
Seperti diketahui Arab Spring bermula 18 Desember 2010 di Tunisia, gelombangnya
meluas dengan cepat keberbagai negara Africa Utara dan Timur Tengah ( untungnya belum mulai waktu saya berada di airport Tripoli Libya dan sekian hari di Tunisia pada bulan Mei 2010 ).
Arab Spring di Syria sendiri pertama kali muncul pada 15 Maret 2011, berupa unjuk rasa
di ibukota Damascus, temanya memprotes partai Baath yg berkuasa, menuntut
kebebasan politik dan menentang korupsi.
Antara 18-25 Maret 2011 pasukan keamanan membunuh tiga pengunjuk rasa di selatan
Deraa, yang malah direspon dengan demonstrasi ratusan orang di Deraa, akhirnya
sampai 23 orang tewas dalam demonstrasi itu.
Gelombang kekerasan yang menggulung Syria kini sudah mencapai puncaknya, hingga
pemerintah Syria telah menyatakan negara dalam darurat perang.
Soal pertumpahan darah di tanah Syria, sejarah mencatat hal itu kerap terjadi sejak
lama.
Wilayah Syria yang dijuluki The Center of One of the Most Ancient Civilizations on Earth,
sejak ribuan tahun sebelum Masehi sudah dihuni manusia, silih berganti berbagai
kerajaan kuno seperti Phoenicians, Arameans, Babylonians, Romawi, Nabataeans dll.
menguasai dan memperebutkannya.
Pernah dikuasai kerajaan Ottoman, diduduki Perancis dll , sampai mendapat
kemerdekaan penuh pada tanggal 17 April 1946.
Dimasa Gammal Abdel Nasser memerintah Mesir, sempat Syria bersatu membentuk
United Arab Republic, yang bertahan hanya seumur jagung.
Kudeta-kudeta silih berganti, sampai pada tahun 1970 Menteri Pertahanan Hafez Al-Assad mengambil alih dan menggenggam erat kekuasaan, yang baru berakhir 30 tahun kemudian.
Setelah Presiden Hafez Al-Assad meninggal, putranya Bashar Al-Assad menggantikannya.
Rupanya Parlemen mengamandemen konstitusi tentang batas minimal usia Presiden,
yaitu diturunkan dari 40 ke 34 tahun, sehingga memungkinkan sang putra bisa memenuhi syarat untuk melenggang naik jadi Presiden.
Ribuan tahun silih berganti bangsa begitu memperebutkan tanah Syria tentu bukan
hanyameninggalkan derita, tapi juga berbagai peninggalan sejarah yang menakjubkan, salah satunya adalah :
Old City Bosra yang kami kunjungi siang itu.
Perjalanan dari border melewati wilayah Deraa ke Bosra tidak terlalu lama, turun dari
bus langsung kami diajak memasuki sebuah restoran yang tampaknya sepi-sepi saja.
Local guide kami, pria Syria 47 tahun yang wajahnya lebih banyak tanpa expresi dan
juga irit ngomong banget, mengantar kami ke meja prasmanan - Chinese Food katanya,
tapi sampai selesai makan kami semua sepakat bingung apa-nya yang mirip chinese food.
Rampung makan siang, berjalan kaki sedikit sudah kelihatan tembok kukuh tinggi besar
berwarna coklat kehitaman, itulah benteng Old City Bosra.
Begitu memasukinya kami semua terpesona karena didalam ada sebuah amphiteater
Romawi yang masih sangat utuh sekali, padahal itu bangunan dari abad kedua yang
dibangun diatas bekas kuil Nabatean.
Amphiteater ini sangat unik, karena kalau biasanya dibangun menyender pada bukit,
di Bosra ini dibangunnya diatas tanah dataran.
Kami boleh memasuki teater kuno itu yang konon dulu bisa memuat 15 ribu penonton,
lalu bergantian mencoba berdiri disatu titik di tengah pentas - disitu dengan berbicara
tanpa berteriak maka penonton diposisi manapun bisa dengar suara kita dengan jelas.
Konon dimasa kejayaan Romawi penonton begitu dimanjakan, terpasang atap dari
kain sutera yang melindungi penonton dari sengatan matahari, sampai wewangian
pun dihembuskan kedalam teater.
Setelah itu kami menelusuri kawasan Old City yang luas sekali itu, dimana-mana
tampak reruntuhan bangunan coklat kehitaman, dengan disana sini masih ada tembok
menjulang, diselingi tiang-tiang batu berukir dari jaman Romawi/Corinthian.
Selain ada bekas bangunan gereja kuno, ada beberapa mesjid kuno didalam kawasan,
antara lain Al-Omari Mosque yang dikatakan :
"One of the oldest surviving mosques in Islamic history".
Memang Bosra pernah jadi lokasi penting transit caravan tujuan Mekah.
Terbayang betapa megahnya dulu kota yang sudah dihuni sejak 2500 tahun lalu itu
dan kini nyaris masih bisa dilihat sisa kemegahannya, konon dijaman dulu pernah
sampai dihuni 80 ribu orang.
Puas menelusuri open air museum itu, kami kembali ke bus dan kini menelusuri
highway mulus mengarah keutara menuju Damascus.
Sepanjang jalan terlihat wilayah Hauran memang termasuk daerah subur di Syria,
banyak lahan pertanian menghijau, dan dikejauhan kelihatan pegunungan bersalju.
Menjelang sore kami memasuki kota Damascus, jalan protokolnya lebar dan ramai,
banyak juga mobil sedan yang bagus, nyetirnya banyak yang gaya serobotan.
Bangunan berukuran sampai 4 - 5 lantai memagari sepanjang jalan, banyak yang
sudah tua tapi tidak sampai kumuh, dan sangat sedikit gedung pencakar langit.
Sekitar jam 5 sore kami sampai di Carlton Hotel, hotel baru berbintang empat ini
berada dibagian selatan kota Damascus.
Hotel bertingkat banyak ini tidak terlalu besar, kami surprise sekali karena ternyata
banyak turis barat menginap disana dan juga tidak disangka-sangka ada free wi-fi.
Tadinya mengira turis barat takut ke Syria dan jaringan internet dibatasi.
Tidak mau rugi, maklum hanya dua malam di Damascus, maka usai makan malam
kami sepakat untuk jalan kaki keluar hotel, jalan-nya ramean karena khawatir juga
melihat jalanan diluar sepi dan agak temaram kurang lampu penerangan jalan.
Rupanya hotel berada didaerah baru, sampai ada proyek pembuatan jalan yang harus
kami sebrangi, agak seram juga karena tidak banyak orang lain yang berjalan disitu.
Kiri kanan banyak bangunan baru kayaknya bangunan apartemen, juga sepi2 saja.
Setelah berjalan sekitar 20 menit sampailah kami ke sebuah bangunan berlantai
banyak yang terang benderang dan cukup ramai, ternyata itu sebuah mall.
Kami masuk untuk cuci mata, bentuk gedung selintas mirip Pondok Indah Mall 1,
dan ternyata kalau belanja bayarnya bisa pakai US dollar.
Puas naik turun mall, kami bergegas kembali ke hotel karena esok akan seharian
tour didalam Old City Damascus, yang juga masuk Unesco's World Heritage.