Thursday, June 12, 2008

The Sleepy Town Shirakawa-go.




Menyimak posisi kota-kota besar/utama di pulau Honshu Jepang,
seperti Tokyo - Osaka - Kobe awalnya terasa agak aneh, karena
berada didekat pantai timur yang menghadap ke samudra lepas.
Padahal pantai barat-lah yang dekat dengan pantai benua Asia,
sehingga tentunya dari situ akan lebih mudah dalam berhubungan
dengan negara-negara di Asia seperti Korea, China atau Rusia.
Ternyata wilayah sisi timur pulau Honshu itu lebih disukai karena
disitu suhu lebih hangat ketimbang wilayah pantai barat.

Diantara pantai barat dan timur itu membujur The Japanese Alps.
Terbentuk dari Hida, Kiso dan Akaishi Mountain, pegunungan
tinggi dengan sepuluh puncak menjulang diatas 3000 meter itu
seakan menjadi tulang punggung pulau Honshu.
Tentu pegunungan dengan puncaknya yang indah diliputi salju
abadi ini banyak menarik pelancong, untuk itulah istri saya
merancang perjalanan yang melintas The Japanese Alps itu.
Rutenya membentuk huruf V terbalik, berawal dari Osaka yang
berada di pantai timur, melewati Kyoto dan mengunjungi kota2
di pegunungan seperti Gifu, Takayama, Matsumoto.
Sampai ke kota Kanazawa yang berada di tepi Laut Jepang, ini
berarti sudah tembus ke pantai barat pulau.
Selanjutnya balik melintasi pegunungan lagi menuju Mount Fuji,
untuk berakhir di Tokyo yang berada di sisi timur pulau.

Kamis pagi 3 April 2008, kami meninggalkan hotel Gifu Miyako,
untuk menuju Shirakawa-go, desa kuno unik yang sejak bulan
Desember 1995 masuk daftar Unesco's World Heritage.
Lokasi desa ini dulunya begitu terpencil karena berada jauh di
tengah pegunungan, dan baru dikenal dunia setelah Bruno Taut -
seorang arsitek Jerman berkunjung kesana pada tahun 1935.
Bruno Taut tertarik dengan bentuk rumah tradisional desa ini
yang disebut Gassho-zukuri ( =praying hands) karena bentuk
atap ilalangnya yang curam seakan posisi tangan berdoa.

Kini desa itu tidak lagi terpencil, telah dibuat jalan raya yang
mulus sehingga bus kami dengan mudah bisa mencapainya.
Dulu akses kesana sangat sulit apalagi saat cuaca buruk, tapi
justru keterasingan inilah yang membuat penduduk lokal bisa
mengembangkan dan menjaga keunikan kultur/budaya, serta
sistem sosial tradisinya.
Turun dari bus, langsung terasa betapa terpencilnya tempat itu,
posisinya berada didalam lembah yang diapit dua deret puncak
pegunungan bersalju, dan dialiri sungai lebar dangkal berbatu.

Suhu udara lumayan dingin, disana sini masih ada tumpukan
salju, kabarnya inilah salah satu tempat yang terburuk dalam
hal jatuhnya salju di Jepang, saat winter tebal salju disitu bisa
mencapai empat meter.

Kami kini berjalan meniti jembatan gantung, menyebrangi
ShoKawa River yang dangkal berbatu, pemandangan sungguh
cantik paduan antara puncak putih bersalju dengan ranting
coklat kering khas musim dingin.

Setiba disebrang, kami memasuki desa yang dipenuhi rumah
usia ratusan tahun yang bentuknya unik mirip bentuk tangan
dalam posisi berdoa.
Dibangun seluruhnya dari kayu, beratapkan ilalang dengan
kemiringan yang curam agar tidak rusak oleh beratnya salju,
atap tebal itu berguna pula sebagai insulasi cuaca dingin.
Rumah-rumah terlihat dalam posisi sama, menghadap kearah
yang sedikit kena pengaruh hembusan angin yang bertiup
keras dilembah sempit itu.
Disela-sela rumah terdapat lahan persawahan, yang saat
kami berjalan disana masih ada tumpukan salju.

Didalam atap rumah besar itu bisa terdapat banyak lantai,
bisa sampai lima, disitulah penghuninya ramai-ramai tinggal
kadang sampai 40 orang, dan didalam rumah itulah mereka
membiakkan ulat sutra.

Tahun 1924, sebenarnya masih ada 300 Gassho style-house,
belakangan menyusut akibat pembangunan dam di Shokawa
river, terbakar atau dipindah keluar desa, akibatnya pada
tahun 1961 hanya tersisa 191 buah saja.
Untunglah penduduk sadar akan krisis depopulasi ini, mereka
memperkuat kekerabatan diantara mereka, dan pada tahun
1971 mulai melakukan upaya menyelamatkan kekayaan
budaya yang sudah berusia ratusan tahun itu,

Slogan mereka adalah :
do not sell, do not rent, dan do not demolish.
Semua ini membuahkan hasil, rumah2 berasitektur unik itu
tetap utuh berdiri untuk diwariskan kepada generasi berikut,
sehingga UNESCO mendeklarasikan desa, kebudayaan dan
lingkungannya ini masuk dalam World Heritage Site.
Kini setiap tahun berdatanganlah sekitar 1,5 juta turis dari
seluruh penjuru Jepang, termasuk 100.000 orang turis asing
untuk melihat keunikan dan kecantikan The Sleeepy Town
Shirakawa-go - desa yang seakan asyik terlelap tidak hanyut
terbawa perubahan jaman.

21 comments:

  1. ah shirakawa go...desa pengerajin ulat sutera....
    desa ini sangat indah waktu musim dingin..puncak2 atap rumahnya berkilauan dengan salju...
    TFS pak

    ReplyDelete
  2. iya betul disarankan menginap disana saat winter,
    sekalian merasakan bagaimana dimasa dulu orang
    bisa tinggal di tempat begitu terpencil dan dingin,
    saya pernah lihat fotonya saat winter - luar biasa cantik

    ReplyDelete
  3. dok, pas tour ke jp makanan sehari2 biasa chinese food ato japanese food ya?

    ReplyDelete
  4. wah good to know :) kalo tour2 besar yang laen seperti Wita/ Anta atau yang laen dokter pernah ikut nggak? makanannya chinese food ato japanese food ya?

    ReplyDelete
  5. Bagus. Tfs. Mudah2an bisa sy kunjungi suatu hari nanti.

    ReplyDelete
  6. istri saya inget2 paling tiga kali Chinese Food,
    dinner di China Town nya Nagasaki dan lunch
    di Shinsaibashi Osaka dan Tokyo.
    kebetulan saya sudah lama tidak ikut Wita lagi,
    kalau Anta malah belum pernah ikut.

    ReplyDelete
  7. pakai Jade Tour (021)-3149470, tour leadernya sdr. Holden,
    dia ini insentif tur, jadi tidak punya jadwal reguler spt Wita dll
    atas pesanan saja yg minimal 15 orang barulah bisa jalan,
    keuntungannya bisa bikin/pilih rute sendiri, tapi sulitnya harus
    minimal ada 15 peserta itu.

    ReplyDelete
  8. Boleh saya tambahkan sedikit ya..
    nama atap rumah ilalang itu KAYABUKI dan yg pasti bila tidak ada pemeriharaan khusus akan menjadi istana dari serangga-serangga.
    Maka di ruang tengah yg disebut ruang makan itu dijadikan semacam dapur untuk memasak lauk pauk dengan kayubakar sehinggah asap-asap naik ke atap rumah dan dapat menjadi penangkal hama. Biaya pemerliharaan atap.
    Sedangkan yg menjadi curtain dari jendela rumah-rumah itu terbuat dari WASHI kertas khusus dan tiap tahun diganti dengan yg baru.
    Pemandangan alam desa ini terasa lebih cantik waktu Winter..
    saya sendiri belum pernah kesana..hiks..hiks..hiks

    ReplyDelete
  9. Sayang sekali rumah beratap sejenis bernama Honay di Lembah Baliem, Papua tidak memiliki jendela sehingga penghuninya cenderung mengalami gangguan pernafasan akibat asap dapur.

    ReplyDelete
  10. bagus banget ini Om !

    jalan2nya ke jepang banyak tempat yg jarang denger nih Om, keren...

    ReplyDelete
  11. bu KimSoan,
    kabarnya sampai jadi hitam kayu2 didalam rumah
    sekian lama diasapi itu, itu yang membuat jadi tahan
    rayap rupanya.
    atap ilalang itu bisa tahan puluhan tahun kabarnya,
    setiap tahun ada dua rumah diganti atapnya, yang
    dilaksanakan secara gotong royong.

    ReplyDelete
  12. rute ini memang jarang karena biasanya tur ke Jepang
    ke kota2 besar saja dan ke tempat2 semacam Disneyland,

    ini memang sengaja ke tempat2 unik, yang pergi juga opa2
    dan oma2 semua yang pada allergi dg rollercoaster nya
    Disneyland,he3

    ReplyDelete
  13. di Jepang banyak sekali wisata budaya, kalau tidak ingin pake tour kita bisa pake sistem backpacker (untuk ini sebaiknya dilakukan pada waktu musim gugur, selain tidak terlalau panas juga tidak terlalau dingin dan juga saat2 daun berganti warna, sangat indah).
    di Kyoto ada sanjusan gendo (33 pillars), Nijojo (lantai burung bulbul), Imperial villa (indah sekali). Di Nara ada Todaiji (bangunan kayu tertua di dunia), ada taman rusa. Di Mie ada Ise jinggu (shrine paling terhormat di Jepang), Di Aichi ada Meiji mura dimana gedung Imperial hotel karya Frank L. Wright bersemayam...

    ReplyDelete
  14. milih tujuannya sendiri atau direkomendasikan sama mereka pak?

    ReplyDelete
  15. awalnya istri saya yang milih sendiri, kebetulan Jade Tour
    belum pernah kesana juga - dia kontak agent di Jepang dan
    membuat itinerary lengkap, dan mengajukan penawaran biaya.

    ReplyDelete