Wednesday, June 14, 2006

Jika Sate Bercerai dengan Tusuknya.




Jika Sate Bercerai dengan Tusuknya,
demikian judul tulisan Hendrika Yunapritta untuk
majalah Kontan minggu lalu.

Mencicipi sate khas Bang Wahab

Kedai sate kambing Bang Wahab ini selalu dipenuhi pengunjung.
Mereka rela menanti, kendati tempat bakaran satenya cuma
berukuran kecil.
Apa sih, yang bikin para pembeli ini rela mengarungi kemacetan
di Tangerang menuju kedai Bang Wahab?

Dimana pun, yang namanya sate selalu identik dengan tusukan bambu.
Bukan sate namanya, kalau bakaran daging ini tidak ditusuk dalam
sebilah bambu. Eh, tapi ternyata ada loh, tukang sate yang nekat
menanggalkan tusukan legendaris itu.
Cara penyajian sate Bang Wahab yang tanpa tusuk ini memang
tidak biasa.

"Wah, itu sih, sate khas Solo", celetuk seorang teman yang pernah
kuliah di kota tersebut.
Namun, Bang Wahab menampik hal itu. Menurut dia, gaya sate ini
asli bikinannya sendiri. "Yah, biar cepet saja. Bikinnya lebih cepet,
makannya juga cepet", ujarnya.


Biarpun keluar dari pakem karena menjual sate tanpa tusukan,
kedai Bang Wahab ini tidak kekurangan pembeli.
Seperti suatu siang pekan lalu, sekitar pukul 14.30.
Jam makan siang sudah berlalu dan mendung tebal menggayut
di langit, tapi kedai Bang Wahab penuh pembeli.
Deretan mobil yang parkir di sekitar kedai menjadi penanda.
Di dalam ruangan pun hanya tersisa satu meja, dari sepuluh meja
di situ, yang belum dihuni pembeli.
Selebihnya, nampak wajah-wajah sabar menunggu pesanan
mereka tersaji di meja.
Maklumlah, Bang Wahab baru saja membuka kedainya.

Ada tiga pelanggan yang sengaja duduk pas di depan etalase kaca,
yang di dalamnya tergantung beberapa bagian tubuh kambing.
Di dekat situ, bakaran sate menimbulkan aroma yang sedap.
Pembeli bisa memilih dua bagian tubuh kambing untuk sate,
yakni daging plus jerohan atau daging plus hati kambing.


Di balik etalase kaca, nampak kesibukan luar biasa.
Daging serta jerohan mentah dipotong sebesar empat jari,
lalu ditusuk dengan bambu.
Daging dan jerohan itu lantas ditaruh di bakaran sate.
Seorang karyawan Bang Wahab tidak henti mengayun
kipas di atasnya. Sementara, orang lainnya lagi berdiri
di meja dekat situ, menciduk sop kambing yang mengepul
dari dalam panci besar.


Setelah bakaran daging matang, kembali lagi si kambing
mendarat di atas talenan kayu.
Suara pisau pemotong pun nyaring terdengar.
Dengan segera, daging dan jerohan matang tadi menjadi irisan kecil,
porsi sekali suap. Irisan daging itu lantas ditaruh dalam piring dan
disiram saus kacang atau saus kecap.
"Itu tergantung pesanan pembeli. Mau saus kacang atau kecap
dengan cabe", tutur Bang Wahab.

Sate kambing berbalur saus kacang
Barangkali, Anda juga tidak terbiasa menyantap sate kambing
berteman saus kacang. Lazimnya, sate kambing memang dimakan
dengan saus kecap. Namun, di kedai Bang Wahab ini, tak ada
salahnya menjajal hal berbeda.
Menu standar di sini adalah sate kambing saus kacang.
Rasanya ternyata sangat nikmat.
Balutan saus kacang pada daging sate yang matang merata
berpadu dengan pas. Antara manis dan gurih.
Daging satenya sangat empuk dan samasekali tidak berbau prengus.
Lebih enak lagi, karena gigi tidak direpotkan oleh tusukan bambu.


Di masing-masing meja, sudah tersedia sebotol kecap manis, acar,
dan sambal.
Acar serta sambal adalah pelengkap sop kambing Bang Wahab.
Sop ini berisi jerohan kambing, tulang kambing yang masih
berdaging serta sayuran seperti wortel dan kol.
Kuahnya gurih dan tidak eneg. Tambahkan kecap manis, hmmmm ….
Sayangnya, panci sop Bang Wahab tidak ditaruh di atas kompor.
Alhasil, pemesan sop yang belakangan akan mendapatkan
kuah yang kurang panas.


Biarpun kuah sopnya berwarna keruh dan tidak bening,
Bang Wahab bilang, ia tidak menambahkan santan atau susu ke
dalam sop kambing ini.
"Cuma kemirinya memang harus banyak", ucapnya.
Dalam sehari, Bang Wahab memasak dua panci besar sop kambing.
Ia mengaku tidak pernah menghitung berapa porsi sop kambing
yang laku dalam sehari.
"Pokoknya sehabisnya saja", katanya enteng.


Bang Wahab bilang, semua resep sate dan sop adalah hasil
kreasinya sendiri. Ia membutuhkan lima sampai enam ekor
kambing sehari, untuk dimasak menjadi sate dan sop kambing.
Kalau bulan puasa, pembeli di kedainya sangat membludak.
Jadi, sering ia harus memotong satu ekor kambing lagi.
"Semua kambing saya potong sendiri", tuturnya.
Itu sebabnya, Bang Wahab leluasa memilih kambing yang
masih muda, sehingga dagingnya empuk digigit.
"Pokoknya, kambing yang umurnya belon setahun deh!"
ucap Bang Wahab.


Satu porsi sate maupun satu porsi sop harganya sama-
sama Rp 8000. Kedai sate Bang Wahab ini buka dari
pukul 15.00 sampai dagingnya habis.
Kalau pembelinya ramai, pukul 19.30 Bang Wahab sudah
harus berbenah karena dagangan habis.
Biarpun begitu, Bang Wahab tidak tertarik untuk membuka
kedai lebih awal, layaknya kedai sate lain.
"Wah, nanti terlalu capek", tuturnya.


Dari Kerja Sampingan

Sosok Wahab, 58 tahun, pemilik kedai Sate Bang Wahab
acapkali nampak di balik etalase daging kambing di kedai
tersebut. Kendati pengelolaan kedai sudah diserahkan
kepada anak tunggalnya, Wahab kerap memegang pisau
untuk mengiris daging atau memotong sate yang sudah matang.


Wahab sudah lama berdagang sate. "Saya dagang sudah
sejak 1978", ucap lelaki kelahiran Karawaci ini.
Awalnya, Wahab berdagang sate menggunakan pikulan.
Dagang sate, waktu itu, bukan merupakan pekerjaan utamanya.
"Ya, saya kerja macam-macam. Serabutanlah!
Dagang sate itu paling seminggu sekali", ujarnya.
Pikulan sate kambing dibawanya berkeliling seputar wilayah
yang sekarang menjadi Perumnas Karawaci.
"Kalau dulu, masih sepi. Mobil cuma satu dua.
Jalan tol belon dibikin", kenang Wahab.


Lama berkeliling, suatu kali, Wahab mangkal di dekat
lampu merah Cimone.
Saat itu, penggemar satenya sudah lumayan banyak.
Hanya saja, jalan Imam Bonjol masih sangat sepi.
"Paling yang lewat cuma truk tanah", katanya.
Puluhan tahun, Wahab berjualan sate di situ.
Belakangan, ia menempati sepetak warung dari kayu dengan
kapasitas 3 meja kayu kecil di dalamnya.
Penggemar sate Wahab kala itu memang harus rela berjuang.
Mereka mengantri di luar kedai. Belum lagi, parkir mobil
di situ sangat sulit karena lokasinya dekat dengan traffic light
yang padat.


Nah, bulan puasa 2005 lalu, Wahab berhasil memboyong
kedai miliknya ke rumah yang lebih permanen.
Kedai barunya ini mampu menampung sekitar 40 orang
sekaligus. Ruangannya juga masih lapang, meski serbuan asap
memang tidak terelakkan.
"Lebih enak, sekarang parkirnya lebih gampang", tutur Wahab


Setelah bakaran daging matang, kembali lagi si kambing
mendarat di atas talenan kayu.
Suara pisau pemotong pun nyaring terdengar.
Dengan segera, daging dan jerohan matang tadi menjadi
irisan kecil, porsi sekali suap.



Kedai Sate Bang Wahab
Jalan Imam Bonjol No. 47
Tangerang

12 comments:

  1. Huaaa Oom pa kabar si Bang Wahab :) dah lama bangeeet gak makan di sana :( jadi pengen sate kambingnya yang enak ama sopnya hiks...ntar Des mudik kesana ah :))

    ReplyDelete

  2. hallo Yunita,
    Happy Birthday yah,
    sayang jauh di Belanda,
    kalau dekat ditraktir sate Wahab sama saya,he3.

    ReplyDelete
  3. Hallo Oom,
    Ma kasih yaa buat ucapannya :)
    Hahaha bisa kok ntar traktirnya Desember aja yaa hihihi

    ReplyDelete
  4. woaaaaah..... mau banget.... kayaknya yummy sekali deh....
    salam manis untuk Bang Wahab ya Pak... :)

    ReplyDelete
  5. Wah ini deket tapi saya belum pernah coba :D btw jadi inget pertama kali menginjakkan kaki ke Karawaci taon 94, semua masih tanah merah dan cuma ada bangunan beberapa. Sekarang Karawaci, Perumnas dan Tangerang uda banyak berubah...

    ReplyDelete

  6. bang Wahab bukanya jam 3 sore, sekitar jam 14.30 biasanya
    orang udah pada nunggu duduk2 didalam warung satenya yang
    dulu sempit sekali (yang sekarang sih udah leluasa).
    dulu makan disitu serba salah, kalau kita datang telat bisa
    sakit ati berdiri lama ngeliatin orang pada asyik makan sate,
    nah kalau udah giliran kita makan juga engga enak ati - siapa
    yang enak sih kalau makan sambil ditongkrongin tamu lain
    yang berdiri dibelakang kita sambil ngeliatin kita makan, hehehe.

    kalau kesana, jangan lewat jam 4 - sopnya yang sedap pasti tinggal kuah doang.

    ReplyDelete
  7. Haha, ngak berbentuk. Itu yg di kiri steak? yg dikanan ngak ada unsur-unsur sop, hahahaha

    ReplyDelete
  8. nah tu die khas nya bang Wahab :

    piring sebelah kiri isinya sate terkubur bumbu kacang,
    kan dia engga pake tusukan,
    piring satunya lagi juga "khasnya" sop bang Wahab, yaitu
    kalau kita datang lewat jam 16 - kebagian kuahnya doang,he3.

    ReplyDelete
  9. Pak Sindhi, kalau dari Soekarno-Hatta sebelum ke pulang dibelokin dulu mampir ke Bang Wahab dulu jauh nggak ya? Perlu dicoba nih.

    ReplyDelete

  10. pak Mochtar van Philly,
    wuah jauh kalo dari sana,
    paling gampang kalo dari tol Tomang, keluar exit ke Lippo
    Karawaci, nanti tidak ambil arah menuju LippoMall tapi menuju
    arah Tangerang, jadi naik jembatan diatas jalan toll tadi,
    nah tinggal lurus saja sekitar 2 kilometer - ada dikanan jalan

    ReplyDelete
  11. Trims Pak Sindhi. Berarti jalannya menuju ke rumah, dibelokin sedikit. Sy akan beritahu pak Sindhi kl sy ke Jakarta nanti.

    ReplyDelete
  12. Makan sate sih enak pake tusukannya.
    Disamping itu, kan bisa ngecek apa jumlahnya sesuai dengan pesanan atawa kagak.
    Iya kan?

    ReplyDelete