Atap Dunia - Tibet.
Part 1 : Tiba di Lhasa
Perjalanan keliling China tahun 1999 , kembali rutenya hasil rancangan
istri saya bersama temannya yang biasa membawa rombongan ke China.
Kali ini highlight-nya adalah ke Tibet dan Silk Road, selain juga ke :
Kunming - Emeishan - Leshan - Chengdu - Xian - Guilin dan Guangzhou.
Tentu saja perjalanan yang memakan waktu sekitar 3 minggu ini cukup
melelahkan, banyak memakai pesawat terbang , take-off-nya saja sampai
14 kali !!
Dan uniknya perjalanan ini banyak "waduh"-nya.
( berbeda dengan "wah" yang muncul kalau kita kaget tapi senang -
maka "waduh" itu tercetus kalau kita kaget dan disusul hati jadi ciut ).
Waduh yang pertama muncul sewaktu teman istri saya itu ( yang sangat
berpengalaman dalam meng-guide ke China ) - hanya seminggu sebelum
keberangkatan memberitahukan bahwa dia tidak bisa berangkat karena
ibunya sakit keras.
Dia digantikan oleh suaminya yang notabene tidak berpengalaman urusan
guide-meng-guide ini, dia hanya fasih berbahasa China saja.
Tentu saja hal ini bikin bingung karena perjalanan saya ke China kali ini
bukan menempuh rute yang umum.
Jarang ada biro tour yang menawarkan perjalanan ke Tibet dan
Silk Road, karena peminat biasanya tidak banyak.
Kami bisa berangkat inipun karena aktif menawarkan kepada orang
yang kebetulan mempunyai minat yang sama.
Maka kalau tour leadernya bukan orang yang berpengalaman tentu
bikin hati jadi ciut.
Perjalanan ini begitu panjangnya, maka saya hanya menceritakan
tentang Tibet dan Silk Road saja.
Tibet :
Untuk bisa memasuki wilayah Tibet lewat udara, penerbangan international
ternyata hanya bisa dari Nepal.
Semula kami merancang memakai jalur ini - tapi akhirnya batal, karena
ternyata terlalu banyak prosedur yang merepotkan.
Maka diputuskan memakai penerbangan domestik China saja, yang bisa
terbang dari kota : Beijing, atau Chongqing, atau Xian, atau Chengdu.
Kami pilih Chengdu - karena paling dekat , hanya butuh 2 jam terbang
saja mengarah ke barat.
Di kota Chengdu, kami diberitahu bahwa pesawat esok akan take-off
jam 7.00 pagi, wuaaah berarti morning call jam 4.30 !!.
Tentu peserta ada yang mengeluh : ngapain sih pilih penerbangan yang
begitu pagi !! - kenapa engga yang agak siang saja, kan engga nyaman
harus bangun sepagi itu.
Ternyata memang penerbangan kekota Lhasa itu harus pagi2 sekali ,
landasan airport disana berada diketinggian sekitar 3700 meter yang di
siang hari sering tertutup kabut; maka diusahakan pagi2 sudah sampai
disana sebelum datang kabut menutupi landasan..
Kalau kita ingat tinggi puncak Gunung Semeru yang merupakan gunung
tertinggi di pulau Jawa adalah 3676 meter, maka mendarat di landasan
airport Lhasa sama saja seperti mendarat di puncak gunung Semeru !!
Mengingat tingginya kota Lhasa itu maka kami semua diberitahu untuk
mempersiapkan diri akan menghadapi udara yang tipis Oksigen -
saya lihat pimpinan tour membawa Oxycan (O2 dalam kaleng).
Selain itu diumumkan pula bahwa berbeda dengan tour ke tempat2 lain,
yang kalau biasanya setiba di suatu tempat langsung city tour,
maka rombongan nanti setiba di kota Lhasa - walau masih siang -
tidak ada city tour !
Rombongan akan langsung dibawa ke hotel dan diharuskan istirahat
menyesuaikan diri dengan kondisi tipis Oksigen itu.
Walau hati agak ciut juga mendengarkan berita-berita serem gitu,
tapi tentu semangat kami tetap tinggi karena kami sudah ngebet sekali
ingin sampai ke tempat eksotis yang disebut "atap dunia " itu.
Tanggal 29 Agustus 1999 jam 5 pagi, bus kami sudah meninggalkan
hotel menuju airport Chengdu.
Udara masih gelap dan kabut dimuka bus begitu tebalnya sampai bus
berjalan sangat pelan karena lampu-nya hanya bisa menembus
belasan meter saja.
Fikiran saya melayang ke cerita kemarin, kalau disini saja kabut
sudah setebal gitu - gimana di Tibet sana ??
Check-in tidak ada kesulitan dan kami memasuki boarding lounge
airport yang berupa hall besar yang sederhana, dan alamak !! -
diumumkan penerbangan delay akibat kabut masih tebal menutupi
landasan (entah sudah berapa kali "waduh" sejak kemarin tuh).
Setelah sejam menunggu, pada jam 8 pagi diumumkan penumpang
boleh boarding masuk pesawat, dan surprise sekali karena pesawatnya
ternyata Airbus A 340 yang bagus dan besar.
Tempat duduk penumpang sebarisnya saja 8 seat.
Tadinya saya kira akan pakai kapal model pesawat capung doang,
maklum kita kan mau pergi ke Tibet yang masih "udik" itu.
Tapi setelah duduk dan pasang seat belt; pesawat bukannya berangkat
malah diumumkan bahwa delay lagi selama satu jam karena kabut tebal
masih menutupi landasan, bayangkan saja siapa yang kaga stress harus
duduk terkurung sekian lama didalam pesawat.
Sampai-sampai saya pikir jangan-jangan kesulitan beruntun ini karena
ada teman perjalanan yang "bawa sial" nih.
Dia itu seorang usahawan sukses dari Surabaya, yang sejak lama niat/kaul
mau ke Tibet khusus untuk bersembahyang.
Dia sudah dua kali mencoba datang tapi gagal terus, dan ceritanya
"mengenaskan" juga :
Pertama kali dia datang sendiri ke HongKong, sudah punya visa RRC
dan di HongKong itu dia baru tahu bahwa untuk memasuki Tibet
tidak cukup hanya mempunyai visa RRC
tapi harus punya satu surat ijin lainnya berupa pas khusus masuk Tibet
(karena Tibet merupakan daerah yang masih bergolak).
Jadi dia harus ke Beijing dulu mengurus pas itu selama beberapa hari !!.
Karena dia tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusnya maka
dia membatalkan perjalanan dan kembali lagi ke Indonesia.
Upaya yang kedua - dia berangkat lagi ke HongKong ,
kali ini sekeluarga bersama istri dan 2 orang anaknya.
Sebelumnya, jauh-jauh hari dia sudah booking ke satu biro perjalanan
HongKong, biaya tour sudah dibayarnya full , visa China dan pas
khusus Tibet sudah ditangan.
Pokoknya kali ini sudah benar-benar matang persiapannya, tinggal
berangkat saja ke Tibet . Tapi ternyata setibanya di HongKong tetap
dia tidak bisa berangkat ke Tibet
Kali ini karena biro tour HongKong itu dengan begitu saja membatalkan
keberangkatan grup dengan alasan peserta grup tour itu tidak cukup
yaitu hanya terkumpul 8 orang saja.
Karena niat bersembahyang yang begitu kuat, maka untuk ke tiga-
kalinya dia mencoba berangkat lagi ke Tibet - kali ini ikut grup kami .
Akhirnya setelah sekitar 2 jam terlambat, maka pesawat berangkat,
terlihat semua peserta merasa lega sekali.
Setengah jam sebelum mendarat penumpang pesawat sibuk melihat
keluar jendela karena kami terbang diatas pegunungan yang puncaknya
tertutup es, indah sekali melihat hamparan pegunungan berwarna putih
dibawah pesawat.
Sewaktu hendak mendarat saya sempat berfikir, bagaimana caranya
mendarat diatas pegunungan setinggi itu ?, ternyata landasan berada
disebuah plateau - berupa satu koridor dataran tinggi yang diapit dua
deretan puncak pegunungan yang berjarak cukup jauh.
Sehingga ada cukup ruang untuk pesawat itu bermanuver berputar
menurunkan ketinggian di sela-sela puncak gunung bersalju itu.
Turun dari pesawat tidak memakai aerobridge, hanya dengan tangga
biasa saja.
Sewaktu menuruni tangga itu hidung kembang-kempis mencoba
merasakan seperti apa udara yang tipis oksigen itu.
tapi kok rasanya biasa2 saja, engga ada perbedaan apa2.
(ternyata pengaruh kekurangan oksigen akan terasa belakangan).
Kami dijemput local guide, lalu menaiki sebuah bus kecil,
dan didalam bus diberitahu bahwa jarak dari airport ke kota Lhasa
adalah 96 kilometer !!.
Seingat saya engga ada kota lain yang mempunyai airport sejauh ini.
Dataran tinggi Tibet ini merupakan dataran yang lebarnya sekitar
2 - 3 kilometer yang diapit dua deret pegunungan.
Bus kami melaju dijalan yang lumayan lebar beraspal mulus sepanjang
kaki pegunungan, dan saya heran sekali karena perjalanan puluhan
kilometer itu tidak pernah ketemu jalan yang menanjak maupun
menurun - benar2 rata !!
Malahan setengah perjalanan kami itu menyusuri tepian sebuah sungai
yang lebar sekali, rupanya itu anak sungai Brahmaputra yang akan
menuju India.
Bayangkan diketinggian 3000-an meter ada sebuah sungai yang
begitu lebar !!.
Sepanjang perjalanan itu hanya sekali2 saja bertemu perkampungan
orang Tibet , selebihnya tanah kosong saja.
Sesekali ada pepohonan tapi lebih banyak terlihat dataran yang
berumput pendek, sehingga pemandangan kedepan dan kearah kaki
pegunungan diseberang dataran menjadi lapang dan menyenangkan.
Si local guide beberapa kali bisa ber-halo2 menggunakan handphone -
saya coba cari2 dimana menara BTS-nya tapi tidak terlihat satupun.
Heran juga koq di peloksok dunia ini rupanya tidak ketinggalan
dalam soal tehnologi.
Didekat sebuah perkampungan kami minta bus diberhentikan sejenak
dipinggir jalan dan kami sempatkan berfoto dengan orang Tibet yang
parasnya mirip dengan orang Indian.
Pakaiannya juga mirip2, cuma mereka ini kelihatannya jarang mandi -
pakaiannya tampak lusuh
Mereka berdatangan menghampiri bus kami, dan tampak senang
sewaktu diberikan roti/kue, tapi makin lama makin banyak mengikuti
terus sampai ke pintu bus, dan akhirnya diusir oleh si local guide.
Banyak yang berjalan sambil me-mutar2kan semacam alat sembahyang
yaitu sebuah silinder logam kecil bertangkai yang didalamnya berisikan
gulungan kertas bertuliskan doa2.
Diperjalanan selama dua jam itu kami sempat heran juga kok engga
kerasa ada bedanya berada di udara tipis oksigen itu.
Tapi setiba di kota Lhasa - sewaktu turun dari bus memasuki restoran,
tiba2 terasa melayang dan didalam restoran beberapa orang teman
menceritakan hal yang sama yaitu mulai terasa pusing/sakit kepala
dan sempoyongan sewaktu berjalan.
Selesai makan siang langsung menuju hotel :
Lhasa Hotel yang cukup besar dan banyak tamunya.
Uniknya kami diberikan sebuah bantal karet berisikan oksigen, yang
bisa digunakan dengan membuka ikatan selang oksigennya.
Memang mengisap oksigen melalui ujung selang itu banyak membantu
meringankan rasa sakit kepala .
Disetiap dinding kamar juga ada terpasang saluran oksigen, yang mirip
dengan peralatan standard di kamar rumah sakit.
Botol Aqua yang kami bawa dari Chengdu, sewaktu dibuka tutupnya
terdengar berdesis seakan2 kita membuka tutup botol Coca Cola, dan
seorang teman terkejut karena sewaktu membuka tutup obat tetes mata
ternyata isinya muncrat - akibat perbedaan tekanan udara itu.
Keesokan pagi sewaktu bertemu saat breakfast pembicaraan kami
ramai dengan keluhan macam2 :
ada yang mimisan - sakit kepala - sempoyongan - jantung terasa
debar2 kalau kita jalan agak sedikit cepat.
Kota Lhasa tidak seperti diperkirakan semula, walau terpencil
jauh dipeloksok dan diatas pegunungan, tapi bukanlah sebuah
kampung - malah saya pikir hampir seluas kota Bogor.
Walau tak banyak bangunan bertingkat tapi banyak toko berlantai
dua, jalanan cukup lebar dan bersih, kendaraan juga cukup banyak
malah Toyota Land Cruiser yang harganya 600 juta rupiah itu terlihat
banyak berseliweran, mobil lux ini ternyata bukan kendaraan milik
penduduk yang kelihatan hidup sederhana itu - tapi mobil yang
disediakan untuk pejabat pemerintah/partai komunis disana.
Harga bensin 3,8 RMB (Renminbi) dan terlihat cukup banyak taxi
yang ongkosnya jauh dekat 10 RMB (asal masih dalam kota Lhasa).
Temperatur sebenarnya enak sekali ( 11 - 21 derajat), tapi sinar
matahari sangat terik, mungkin karena lokasinya yang begitu tinggi
dari permukaan laut.
foto bisa dilihat di :
http://smulya.multiply.com/photos/album/15
bersambung part 2 : Istana Potala.
sebenarnya tibet atap dunia gag sich,,,,,,,,,!!!!!!!
ReplyDeleteQ bingung tibet ato pamir gag sich!!!!!!!!
sebenarnya tibet atap dunia gag sich,,,,,,,,,!!!!!!!
ReplyDeleteQ bingung tibet ato pamir gag sich!!!!!!!!