Thursday, December 27, 2012
Lima Bola Kehidupan
Bryan G. Dyson (mantan CEO ColaCola) pernah pidato yg sangat menarik di th 1996.
Dikatakannya bahwa Hidup itu seperti Pemain Akrobat dengan Lima Bola diudara,
kita bisa menamai bola2 itu dengan sebutan :
Pekerjaan-Keluarga-Kesehatan-Sahabat-Semangat.
Kita harus selalu menjaga semua bola itu tetap diudara dan jangan sampai ada
yang terjatuh.
Kalaupun situasi mengharuskan anda melepaskan salah satunya -
lepaskanlah PEKERJAAN karena pekerjaan adalah Bola KARET.
Pada saat anda menjatuhkannya, suatu saat ia akan melambung kembali.
Namun ke-4 bola lain seperti Keluarga, Kesehatan, Sahabat dan Semangat
adalah Bola KACA, yang kalau anda jatuhkan akibatnya bisa sangat fatal.
Kalau sudah rusak, mereka tidak akan pernah sama seperti semula.
Kita harus mengerti itu dan selalu menjaga keseimbangan didalam hidup ini.
Dikutip dari buku Stock Investing Wisdom - Desmond Wira.
Monday, December 17, 2012
Telusur Silk Road. part 3 : "mendaki" The North Peak HuaShan
Pecinta cersil (cerita silat) Tiongkok kuno, pastilah pernah baca kisah berbagai
biara/perguruan silat yang konon ada dipuncak gunung tinggi terpencil nan sunyi,
misal GoBi-pay (pay = partai/perguruan silat), ShaoLin-pay, HuaShan-pay dll.
Ternyata gunung-gunung tersebut memang ada di China, beberapa tahun lalu
saya pernah mengunjungi biara dipuncak Emei-shan (shan=gunung) yang tidak
jauh dari ChengDu, dan ShaoLin temple dikaki Song-shan dekat kota DengFeng :
http://sindhiarta.blogspot.com/2006/05/nonton-jurus-dewa-mabok-di-shaolin.html
HuaShan tentu dikenal banyak pecinta cersil, karena setidaknya empat buah
cersil beken memakai HuaShan sebagai lokasi-nya, yaitu :
Sia Tiauw Eng Hiong, Sin Tiauw Hiap Lu, Kim Tjoa Kiam, Pendekar Hina Kelana.
Nama Hua Shan berarti gunung bunga ( Hua = bunga, Shan = gunung) karena
lima buah puncaknya (north-south-west-east-central peak) kalau dilihat dari atas
seakan bentuk bunga Lotus.
Gunung batu setinggi duaribuan meter ini berada 120 km timur kota Xian, inilah
satu dari lima gunung suci di China, khususnya bagi penganut Taoism.
Memang dikaki dan puncak HuaShan ada beberapa kuil Taoist, konon kabarnya
pendiri Taoism yaitu LaoTze pernah menetap disitu.
Maka banyak peziarah Taoist datang mendaki puncak HuaShan, bercampur
dengan turis lokal dan mancanegara.
Walau namanya cantik tapi mendaki “The Number One Precipitous Mountain
under Heaven” ini sangat berbahaya karena jalur pendakiannya sangat sempit
padahal tebing-nya curam nyaris tegak lurus dengan jurang yang dalam sekali.
Kabarnya tiap tahun seratus pendaki tewas akibat terjatuh ke jurang.
Banyak korban antara lain karena anak muda suka bertindak berlebihan, atau
saat liburan panjang dimana pengunjung membludak, atau pendakian saat
winter yang medan-nya menjadi licin sekali dll
Sebenarnya pendakian Hua Shan bukanlah climbing yang memerlukan tehnik/
peralatan yang khusus, ini hanyalah hiking yang paling banter perlu sepatu yang
cocok plus sarung tangan.
Tapi kenyataan memang inilah gunung yang mendapat julukan :
World’s Most Dangerous Hiking Trail.
http://www.hotelclub.com/blog/huashan-trail-worlds-most-dangerous-hiking-trail/
http://www.youtube.com/watch?v=NsGC0lZ-5g8
http://www.youtube.com/watch?v=72rN5zO2T7A
http://www.youtube.com/watch?v=Ke4-cwNvDuE
Pagi hari di King Dynasty Hotel - Xian, Kamis 11 Oktober 2012, kami merasa
lega melihat cuaca cerah, berarti rencana mendaki Hua Shan bisa terlaksana.
Walau bakalannya kami cuma naik cable car dan jalan menapaki tangga yang
aman tapi persiapan-nya matang dengan sepatu kets, jaket tipis dan topi.
Perjalanan keluar kota Xian lancar karena melalui highway mulus, tiba ditujuan
kami memasuki sebuah gedung besar ternyata untuk beli tiket masuk.
Setelah tangan diikatkan sehelai kain merah tanda pengenal, kami kebelakang
gedung dimana terdapat shuttle bus yang membawa kami menuju stasiun bawah
cable car yang ternyata cukup jauh, sekitar 7,5 km.
Perjalanan melayang dari stasiun bawah ke stasiun atas sejauh 1,5 Km itu
singkat saja tidak sampai 10 menit, tapi pemandangan sudah mempesona.
Kami melayang diantara dua deret lereng gunung batu yang berwarna putih,
dindingnya sangat curam dengan dibeberapa tempat ada pepohonan.
Setiba di North Peak (Clouds Terrace Peak) di ketinggian 1.614 meter, kami
turun dari gondola cable car, kini perjalanan berlanjut jalan kaki.
Pengunjung cukup ramai, tapi tidak sampai berdesakan sehingga kami bisa
menapaki tangga batu yang rapih dan cukup lebar dengan aman.
Jalan mendaki tangga batu itu cukup melelahkan karena dibeberapa tempat
lumayan curam, dan akhirnya sampai disalah satu puncak dengan pandangan
terbuka keberbagai arah. Sekeliling terlihat tampak dikejauhan dinding-dinding
terjal gunung batu berwarna keputihan dengan disana sini ada warna hijau
dari pepohonan, cantik sekali.
Disatu tempat saat memandang keselatan, tampak gigir puncak gunung yang
merupakan jalur pendakian dari north peak itu menuju ke empat peak lainnya.
Tampak cukup banyak pula orang yang berjalan kesana, tapi kami tidak bisa
karena waktu terbatas.
Jalur kearah West Peak itu dijuluki Heavenly Stair, maklum kalau terpeleset
bisa langsung nyampe ke surga.
Dari North Peak ini orang bisa juga hiking kearah East Peak (Facing Sun -
Peak yang tingginya 2.090 meter - biasanya pendakian malam hari agar bisa
melihat sunrise), atau Central Peak ( disitu ada Taoist temple yang bernama
Jade Maiden Temple), West Peak ( Lotus Flower Peak 2.086 meter) dan
South Peak (2.154 meter) - puncak yang paling tinggi dan paling berbahaya.
Tapi kabarnya dari puncak South peak itulah pemandangan begitu terbuka
luas sehingga bisa melihat keseluruhan komplek puncak HuaShan sampai
kelokan-kelokan sungai HuangHo dikejauhan.
Saya sempatkan juga mencoba naik turun beberapa tangga/jalan pintas
yang memang nyaris tegak lurus, tapi cukup aman didaki karena selain ada
pegangan rantai besi disisi tangga juga dibawah ada pepohonan - jadi kalau
terpeleset tidak akan terjun bebas sampai ke dasar jurang yang dalam itu.
Chin Yung si pengarang Sin Tiauw Hiap Lu mestinya pernah mendaki puncak
HuaShan itu juga. Dia berkisah tentang YoKo yang turun naik HuaShan untuk
menyediakan makanan buat kedua Suhu-nya yg bermusuhan yaitu AngCitKong
dan AuwYangHong yang bertempur sampai mati dan dikubur di HuaShan.
Teringat pula kisah sendu saat Kwee Siang yang dengan hati pilu melihat
Yoko bersama Siauw Liong Lie menghilang untuk selamanya di HuaShan.
Entah dibagian HuaShan yang mana ChinYung berimaginasi kejadian yang
menggetarkan hati itu terjadi, memang HuaShan sungguh cantik dan eksotis.
bersambung
Kaisar yang takut mati kesepian.
Monday, December 10, 2012
Museum Genosida/bekas markas KGB di Vilnius Lithuania,
Tidak disangka sebuah gedung berwarna putih di Vilnius - ibukota Lithuania
yang tampak begitu megah cantik tapi saat perang dunia II adalah markas
KGB Uni Soviet, dan menjadi tempat penahanan, penyiksaan sampai
eksekusi banyak pejuang kemerdekaan Lithuania yang tertangkap.
Tahun 2008 sempat kami turun ke basement-nya, mencoba masuk ke
dalam ruang isolasi yg diperuntukkan tahanan baru, disitu tahanan
dijatuhkan mentalnya karena harus duduk sendirian dalam kegelapan
sekian lama.
Ada banyak ruangan penyiksaan, termasuk sebuah ruangan tanpa meja
kursi - tahanan telanjang kaki harus berdiri disana dan lantainya diisi air
sedingin es sampai mendekati lutut, kebayang betapa tersiksanya.
Dibagian belakang gedung ada ruang eksekusi yang menyeramkan.
Trinity juga sempat sampai kegedung itu :
[VideoBlog] Tips jadi backpacker cerdas http://youtu.be/SVRYNu6syug #TNTrtw
yang tampak begitu megah cantik tapi saat perang dunia II adalah markas
KGB Uni Soviet, dan menjadi tempat penahanan, penyiksaan sampai
eksekusi banyak pejuang kemerdekaan Lithuania yang tertangkap.
Tahun 2008 sempat kami turun ke basement-nya, mencoba masuk ke
dalam ruang isolasi yg diperuntukkan tahanan baru, disitu tahanan
dijatuhkan mentalnya karena harus duduk sendirian dalam kegelapan
sekian lama.
Ada banyak ruangan penyiksaan, termasuk sebuah ruangan tanpa meja
kursi - tahanan telanjang kaki harus berdiri disana dan lantainya diisi air
sedingin es sampai mendekati lutut, kebayang betapa tersiksanya.
Dibagian belakang gedung ada ruang eksekusi yang menyeramkan.
Trinity juga sempat sampai kegedung itu :
[VideoBlog] Tips jadi backpacker cerdas http://youtu.be/SVRYNu6syug #TNTrtw
Thursday, December 6, 2012
Sri Mulyani tentang Sri Mulyani - by Sri Topan Tj
Sri Mulyani tentang Sri Mulyani
by Sri Topan Tj on Friday, December 7, 2012 at 1:34am ·
Diaspora Indonesia
By: Sri Mulyani
Saya diminta oleh Duta Besar Dino Djalal untuk menyumbangkan cerita mengenai pengalaman belajar dan hidup di Amerika, terutama untuk menjelaskan kunci sukses. Sebenarnya sungguh muskil menjelaskan apa itu kunci sukses dan bahkan mendefiniskan dan menentukan apa itu sukses bagi seseorang karena sifatnya yang sangat subyektif. Maka dalam tulisan ini saya tidak berpretensi untuk mengklaim dan menjelaskan mengengenai kesuksesan dan bagaimana bisa tercapai, namun saya hanya akan membagi cerita sebagian kecil dari hidup saya yang mungkin ada manfaatnya bagi para pembaca.
Saya di besarkan dalam sebuah keluarga besar, dalam artian ukuran yang sebenarnya. Bapak dan Ibu memiliki sepuluh putra-putri dan saya adalah putri ke tujuh. Jarak diantara sepuluh anak hanya sekitar setahun lebih sedikit. Artinya dalam kurun lebih satu dekade, hampir setiap tahun ibu saya hamil dan melahirkan. Meskipun pada tahun 1950an hinga 1960 an memiliki banyak anak adalah lumrah (normal), namun memiliki sepuluh anak tetap dianggap cukup banyak. Dalam masyarakat Indonesia ( Jawa) pada jaman itu dipercaya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki. Nilai semacam ini dapat dipahami dalam masyarakat agraris tradisional, dimana setiap anak merupakan tambahan tenaga kerja untuk mengerjakan sawah sehingga dapat menghasilkan panen lebih banyak.
Orang tua saya adalah dosen ilmu pendidikan di IKIP Semarang, dan mereka juga percaya bahwa memiliki banyak anak berarti juga dilimpahi banyak rejeki oleh Tuhan sang Pencipta. Setiap anak membawa rejeki masing-masing, demikian sering dikatakan oleh Ibu saya. Kepercayaan yang sangat optimistis terhadap masa depan dan terhadap kekuasaan Allah yang Maha Baik dan Maha Penyayang merupakan fondasi yang ditanamkan terus menerus oleh orang tua saya kepada anak-anaknya. Dengan berbuat baik pada sesama, orang tua saya percaya bahwa anak-anaknya yang banyak juga akan menerima kebaikan dari orang lain. Maka meskipun Bapak dan Ibu sudah memiliki banyak anak dan kondisi ekonomi keluarga juga pas-pasan, di rumah kami selalu ramai denga "ngengeran" yaitu saudara atau mahasiswa yang mondok menjadi anak asuh di rumah, sekaligus menolong merekan yang kurang mampu. Hidup di rumah yang tidak terlalu besar dengan jumlah penghuni hingga lima belasan orang tentu memerlukan sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling peka terhadap kepentingan masing-masing. Kondisi rumah menghindarkan kami dari sifat egoistis yang hanya mementingkan diri sendiri. Bapak dan Ibu mampu mengelola suasana rumah dengan baik dan cukup menyenangkan, rasanya tidak ada pertengkaran besar pernah terjadi kecuali pertengkaran kecil dan lumrah antar saudara. Suasana seperti itu membentuk kami menjadi manusia yang menghargai kekompakkan dan kebersatuan keluarga.
Sejak kecil orang tua saya memang mengajarkan bahwa sekolah adalah nomer satu atau prioritas utama. Ajaran tersebut juga diterapkan secara konsisten bagi diri mereka. Bayangkan bahwa ibu yang memiliki sepuluh anak, masih terus semangat meneruskan jenjang belajarnya hingga mencapai S3 atau jenjang Doktor di bidang pendidikan. Bapak juga meneruskan pendidikan ke luar negeri (Amerika Serikat- Syracuse - New York State). Orang tua saya setiap malam tekun menyiapkan bahan kuliah untuk muridnya dan bahkan mengerjakan penelitian. Rumah orang tua saya selalu ramai dengan anak-anak sendiri, anak asuh dan suasana pekerjaan akademis. Suasana keluarga juga diwarnai dengan kesenangan akan musik, menyanyi dan melukis. Orang tua saya bersama para dosen IKIP membuat berbagai kegiatan yang positif bagi anak-anak dosen, seperti les bahasa Inggris yang diajarkan oleh dosen bahasa Inggris, pelajaran melukis dan membatik yang diberikan oleh dosen seni rupa. Suasana obrolan diskusi keluarga di sekitar makan siang dan makan malam diisi dengan topik berbagai hal dari yang serius seperti politik, hingga lelucon sehari-hari. Setiap akhir kuartalan atau semesteran, merupakan episode yang mendebarkan, karena setiap anak akan menyerahkan raport sekolahnya. Saya ingat selama jenjang SD dan SMP saya tidak pernah mengalami juara kelas, sedang kakak- kakak dan adik saya hampir selalu juara kelas atau bahkan juara sekolah. Pada masa itu juara kelas dan juara sekolah biasanya mendapat hadiah yaitu bebas tidak membayar uang sekolah ( SPP- Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan). Saya sempat agak minder juga, karena dari sepuluh anak, rasanya saya merasa yang paling bodoh.
Meskipun orang tua saya sangat menekankan pentingnya pelajaran sekolah, namun kami anak-anaknya didorong untuk aktif di kegiatan ekstra kurikuler baik dalam organisasi pelajar seperti OSIS, kegiatan olah raga seperti basket, volley, bahkan atletik, dan karate, hiking, pramuka dan paskibra. Anak-anak juga didorong menekuni kesenian, baik dalam paduan suara, folk song group, dan melukis. Semua kegiatan tersebut membuat kami selalu sibuk, dan memang itu yang diinginkan oleh orang tua saya, yaitu agar anak-anak selalu aktif, sibuk, bergaul dengan kawan sekolah, namun dalam wadah kegiatan yang positif seperti olah raga, organisasi, dan kesenian. Kebiasaan aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi sangat membantu saya untuk membangun social skill dan berlatih melakukan tugas berbagai macam sekaligus (multi tasking). Kedua hal tersebut nantinya sangat berguna dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan.
Orang tua saya menekankan agar anak-anaknya harus masuk perguruan tinggi negeri, karena biaya pendidiman murah, masa pendidikan tidak lama dan kualitas pendidikan baik. Jurusan yang dianjurkan terutama jurusan kedokteran dan faktulas teknik. karena lulusannyan relatif dihargai masyarakat dan mudah mendapat pekerjaan. Oleh karena itu semasa SMA seluruh anak-anak hanya boleh masuk jurusan eksakta ( IPA), agar dapat pelajaran matematika dan statistik yang cukup untuk melatih cara berpikir yang logis. Ajaran Bapak dan Ibu yang menekankan pada cara berpikir logis, namun juga dilatih kepekaan terhadap keadaan/lingkungan dan menghormati pikiran orang lain sangat bermanfaat dalam perjalanan hidup saya terutama saat menghadapi masalah rumit, dan tantangan mengelola organisasi yang sangat beragam.
Masa kecil saya hingga selesai SMA dihabiskan di kota Semarang sebuah kota yang cukup besar namun tidak padat dan menegangkan seperti Jakarta. Semarang masih memiliki keakraban yang menyenangkan. Saya bersekolah naik sepeda hingga SMA, yang cukup menyenangkan karena suasana jalan Kali Sari yang nyaman dengan pohon-pohon asam tua yang sangat rimbun. Dengan bersepeda juga dapat dinikmati pemandangan gedung-gedung tua seperti "Lawang Sewu" dan gereja Katolik tua yang sangat indah dan anggun di seputar Tugu Muda. Naik sepeda ke sekolah agak dirasa "usang" waktu SMP dan SMA. Sekolah saya SMP Negeri I dan SMA Negeri III merupakan sekolah-sekolah terbaik di Semarang, dimana berkumpul anak-anak pandai dan atau kaya dari para pejabat tinggi (Gubernur, Panglima Militer, Kapolda, Walikota) maupun pengusaha besar di Jawa Tengah. Meski merasa agak minder bila sepeda saya melewati begitu banyak mobil-mobil bagus yang menjemput teman-teman yang kaya tersebut, namun hal tersebut tidak terlalu membebani. Saya tetap bergaul dengan mudah dan riang dan bahkan menjadi ketua OSIS di SMA, ikut kelompok basket, volley, dan paduan suara yang aktif bertanding antar sekolah. Lucunya dengan kesadaran akan kesehatan dan upaya mengurangin polusi, jaman sekarang naik sepeda menjadi gaya hidup yang modern dan sehat. Kalangan selebritas dan pejabat melakukan gerakan "bike to work" di Jakarta yang begitu sumpek dan padat. Di Washington DC, juga sangat banyak yang pergi bekerja dengan naik sepeda, termasuk karyawan Bank Dunia. Banyak sepeda diangkut dengan mobil dan kereta bawah tanah, untuk bisa dipakai tengah hari di kota. Jaman dan gaya hidup memang sering kembali berputar ke masa lalu. Saya menjadi teringat pernyataan ibu saya yang sering berujar dengan nasihat "ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh", artinya jangan terlalu mudah heran, mudah kaget, dan jangan mentang-mentang.
Saya lulus SMA III Semarang pada tahun 1981 dengan predikat juara sekolah dari jurusan IPA, rasanya otak saya memang agak mulai encer sewaktu di SMA. Sebenarnya saya bisa diterima di IPB tanpa test atau bisa juga mendaftar Fakultas Kedokteran atau Jurusan Teknik agar menjadi Dokter atau Insinyur seperti harapan orang tua saya. Namun saya memutuskan memilih Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Orang tua saya heran dengan pilihan saya meski tidak melarang. Pada suatu percakapan, Ibu saya pernah menanyakan apa pekerjaan yang tersedia bagi lulusan fakultas ekonomi? Beliau tahu salah seorang istri kawannya yang bekerja di Bank, jadi beliau berasumsi saya nantinya akan menjadi pegawai bank, meskipun beliau tetap menyatakan bahwa pekerjaan sebagai dosen dianggap lebih baik di mata beliau. Saya memilih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebenarnya juga tidak paham dengan bidang tersebut dan tidak memikirkan nantinya mau menjadi apa. Saya diberitahu oleh sepupu saya bahwa banyak para Menteri mengajar di fakultas tersebut, dan itu dianggap sebagai sesuatu yang bergengsi dan berharga. Saya tidak terlalu memahami arti gengsi tersebut, karena buat saya yang lebih mencekam adalah bagaimana saya harus pindah ke Jakarta dan berpisah untuk pertama kalinya dengan orang tua saya. Saya dititipkan pada kakak saya yang saat itu sudah lulus Fakultas Kedokteran UI.
Ada kejadian menarik sewaktu saya di SMA, yaitu pada tahun 1979 ada kesempatan mendaftar untuk program AFS ( American Field Service ) yaitu program satu tahun ke Amerika Serikat untuk tinggal bersama keluarga Amerika, dan bersekolah SMA di sana. Saya ikut mendaftar, karena saya melihat salah seorang teman kakak saya pulang dari program AFS nampak sangat keren sekali karena sangat fasih berbicara bahasa Inggris dan menceritakan pengalaman sekolah di Amerika yang begitu menakjubkan. Saya lulus tes dan wawancara, dan menjadi kandidat yang paling kuat untuk berangkat. Namun saya gagal berangkat karena orang tua saya tidak mampu menyediakan uang untuk membayar sebagian biaya tiket berangkat ke Amerika Serikat. Orang tua saya menyatakan bahwa biaya ticket tersebut cukup besar untuk membayar uang kuliah dan uang pondokan dan biaya hidup tiga kakak saya yang sedang kuliah di ITB. Pergi ke luar negeri untuk satu tahun jelas bukan prioritas keluarga saat itu. Saya sangat sedih dan kecewa dengan "kegagalan" tersebut, meski orang tua saya menghibur dengan mengatakan bahwa pasti nanti ada kesempatan lain untuk pergi dan sekolah ke luar negeri/Amerika Serikat. Ternyata pernyataan orang tua saya tersebut terbukti benar, karena dalam perjalanan hidup saya selanjutnya saya berkesempatan bersekolah tidak hanya satu tahun seperti program AFS namun empat tahun untuk progran Master dan PhD degree, juga bahkan memiliki kesempatan bekerja dan hidup di Amerika Serikat bersama keluarga.
Fakultas Ekonomi dibagi menjadi tiga jurusan, yaitu jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan (ESP), Jurusan Management, dan Jurusan Akuntansi. Saya memilih jurusan ESP karena bidang studinya sangat menarik. Selain belajar mengenai ekonomi mikro dan makro yang ternyata sangat dekat dengan mempelajari tingkah laku kelompok masyarakat, baik sebagai konsumen, dan produsen ( Perusahaan), saya juga belajar mengenai kebijakan ekonomi di bidang fiskal ( anggaran pendapatan dan belanja negara) , moneter, dan perdagangan internasional. Yang menarik dari pelajaran ekonomi adalah menggunakan model baik secara sederhana melalui gambar grafik dan kurva hingga model yang canggih dan rumit secara matematis, juga digunakan data kuantitatif analisa statistik atau ekonometrik untuk menjelaskan tingkah laku pelaku ekonomi, dan membuat proyeksi atau perkiraan masa depan. Seluruh pelajaran ini saya rasakan merupakan kombinasi yang mengasyikkan antara menggunakan alat kuantitatif statistik dan matematika, dengan analisa tingkah laku (behavioral dan psikologis) dan ada sisi sosial, politik dan kultural yang sangat kental dalam setiap topik yang dibahas. Selama kuliah, saya sempat diajar oleh berbagai tokoh-tokoh penting atau terkenal di Republik Indonesia, seperti almarhum Prof Soemitro Djojohadikusumo, Prof Emil Salim, Prof Sadli (alm), Prof Saleh Affi (alm), Prof Dorodjatun Kuntjorojakti, dll. Kehadiran para tokoh ini memberikan kaitan teori yang kita pelajari dengan dunia nyata. Dalam perkembangan studi selanjutnya kita juga makin disadarkan pentingnya unsur kelembagaan dan hukum dalam setiap pembahasan masalah ekonomi. Dengan demikian, belajar ekonomi menyebabkan saya terus terpacu untuk mempelajari berbagai hal yang sama sekali tidak sederhana dan mudah, namun sangat mengasyikkan. Mungkin karena saya sangat menikmati pelajaran ilmu ekonomi, saya tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran, dan bahkan sebagian besar selalu mendapat nilai terbaik.
Mungkin karena cakupan yang sangat besar dan kompleks, jurusan ESP memang tidak terlalu banyak diminati. Pada masa saya belajar di FEUI, dari sekitar 300 mahasiswa setiap angkatan yang diterima di FEUI, hanya sekitar 20 orang yang tertarik mengambil jurusan ESP, dan sangat jarang perempuan masuk jurusan ini. Sebagian besar mahasiswa FEUI mengambil jurusan Akuntansi atau Manajemen. Jelas kedua jurusan tersebut lebih riel dan lapangan kerja yang tersedia untuk menampung lulusan Akuntansi dan Manajemen juga jauh lebih banyak terutama di perusahaan swasta atau BUMN. Lulusan ESP biasanya menjadi pengajar/dosen dan peneliti di Fakultas, atau menjadi pegawai negeri atau di Bank Sentral. Karena saya dulunya memang bercita-cita jadi guru, maka saya sudah menetapkan pilihan yaitu setelah lulus akan bekerja sebagai dosen dan peneliti. Orang tua saya sangat senang dengan pilihan karier tersebut, dan bahkan mendorong agar saya meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Saya meraih posisi lulusan terbaik pada tahun wisuda 1986 dan oleh karenanya dipilih mewakili wisudawan/wisudawati FEUI untuk maju kedepan menerima ucapan selamat dari Rektor. Pada masa itu upacara wisuda sarjana Universitas Indonesia dilakukan secara serentak oleh seluruh fakultas di Balai Sidang Jakarta. Oleh karena itu setiap fakultas hanya diwakili oleh dua orang sarjana (laki dan perempuan) untuk menerima ucapan selamat dari rektor UI. Sayangnya sewaktu upacara wisuda tersebut, orang tua saya sedang menunaikan ibadah haji, sehingga beliau tidak sempat menghadirinya. Tentu saya kecewa, namun ibu saya menghibur bahwa doa orang tua dari tanah suci kepada anaknya jauh lebih berharga dari kehadiran fisik beliau. Ini salah satu keahlian ibu saya, yaitu selalu mampu melihat sesuatu dari sisi positip dan dengan penuh keyaninan, sehingga kami menjadi kuat dan tidak tenggelam dalam kesedihan atau kekecewaan dalam hidup. Dalam perjalanan hidup saya selanjutnya, seluruh wisuda-wisuda yang saya alami, tidak ada satupun yang bisa dihadiri oleh orang tua saya, baik sejak tingkat sarjana, di tingkat Master hingga di tingkat PhD-- kebetulan wisuda Master dan PhD di Amerika Serikat yang tentunya sangat mahal bagi orang tua saya untuk bisa membiayai perjalanan. Pengalaman ini secara tidak langsung mungkin membentuk diri saya untuk lebih matang dan berani menghadapi berbagai hal secara mandiri dan tidak cengeng. Sejak kecil orang tua saya menanamkan sikap dan kepercayaan bahwa Tuhan selalu menjaga kita dimanapun kita berada, dan bahwa orang tua selalu ada "didekat" kita meskipun kita berjauhan dalam jarak geografis. Mereka menyatakan hanya dengan sholat, doa dan sabar yang tidak terputus maka kita selalu merasa dekat satu sama lain dalam keluarga, dan selalu akan mendapat pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan putra-putri sepuluh dan menyebar di berbagai tempat sekolah dan tempat kerja dan keterbatasan dan mahalnya komunikasi dan transportasi pada masa itu, saya rasa orang tua saya hanya bisa menyerahkan nasib anak-anaknya kepada Sang Pencipta.
Untuk menyelesaikan Sarjana Ekonomi dan menulis skripsi, saya mengambil spesialisasi jurusan Uang dan Bank. Jurusan ini menarik, karena menjelaskan mengenai peranan uang, sistem keuangan dan bahkan mengenai tugas Bank Sentral dalam perekonomian. Saya bahkan menulis skripsi mengenai sejarah uang dan teori mengenai permintaan terhadap uang. Sekali lagi tulisan skripsi saya menyebabkan saya makin tertarik pada bidang sejarah, sosial, kebudayaan, dan bahkan mengenai teori tingkah laku dan motivasi. Sebelum saya lulus, saya sudah melamar untuk menjadi peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat ( LPEM) yang pada saat itu dipimpin oleh pak Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan sekaligus sebagai asisten dosen di FEUI. Saya diterima sebagai asisten peneliti pada tahun 1986 persis sebelum lulus, dengan proyek penelitian pertama yang saya kerjakan adalah meneliti permintaan rumah di kota-kota besar di Indonesia- dengan ketua proyek penelitian adalah pak Darmin Nasution. PeneItian ini sangat mengasyikkan, selain kita harus merancang penelitian di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, juga harus menyusuan quesioner dan melakukan wawancara. Saya merasakan banyak sekali manfaat pelajaran sewaktu kuliah, namun juga terus mendapat ilmu baru. Di LPEM- FEUI saya sangat menikmati pekerjaan sebagai peneliti, dari mulai merancang dan merencanakan penelitian, manajemen waktu, hingga jumlah tenaga peneliti yang dipakai, melakukan penelitian lapangan, wawancara dan mengumpulkan data, melakukan analisa data, menulis loporan hingga melakukan presentasi hasil penelitian. Semangat dan "passion" yang muncul tersebut menjadi sumber energi yang besar dalam melakukan tugas dan pekerjaan. Hingga sekarang saya selalu percaya bahwa melakukan apapun dengan "passion" akan menjadikan saya tidak pernah merasa takut dan bimbang menghadapi masalah serumit dan sebesar apapun. Bekal ketenangan, ketegaran, passion dan kebiasaan berdoa dan sabar/pasrah pada takdir Allah SWT merupakan nilai yang diajarkan oleh orang tua saya dan menjadi fondasi yang saya gunakan dalam menjalani hidup yang begitu penuh tantangan nantinya.
Sewaktu menerima gaji pertama yang saya merasa mendadak begitu kaya raya, karena jumlahnya hampir duapuluh kali lipat uang saku saya selama mahasiswa. Saya juga untuk pertama kali merasakan naik pesawat terbang untuk melakukan penlitian di luar kota. Namun pada saat saya mulai menikmati pekerjaan penelitian di LPEM, FEUI menawarkan kesempatan untuk mengirimkan asisten dan dosen muda untuk menerukan jenjang pendidikan S2 dan S3 di luar negeri. Tawaran yang diberikan adalah program belajar ke Inggris dengan syarat harus lulus kursus bahasa Inggris di British Council Jakarta, dan tawaran belajar ke Amerika Serikat. Karena tawaran belajar ke Inggris datang lebih dulu, saya ikut mendaftar dan diterima untuk ikut kursus bahasa Inggris di British Council untuk kemudian melamar program Master ke Inggris. Saya sudah diterima program Master di University of Birmingham, namun tidak jadi diambil karena kemudian saya mendapat tawaran untuk sekolah ke Amerika Serikat.
Saya diterima di University of Illinois Urbana-Champaign (UI-UC) yang menawarkan program Master yang dapat dikombinasikan dengan program Doktor / PhD. Program ke Amerika Serikat juga menarik karena boleh membawa keluarga. Faktor keluarga sangat penting, karena saya pada saat itu sudah merencanakan untuk menikah dengan Tonny Sumartono, kakak kelas saya di FEUI jurusan Manajemen. Orang tua saya hanya mengijinkan kami menikah kalau kita bersama-sama berangkat ke luar negeri. Saya tidak diijinkan oleh orang tua saya untuk sekolah sendiri dan harus didampingi oleh suami. Menurut orang tua saya, kebersamaan dalam berkeluarga adalah keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar. Meskipun Tonny sudah mulai bekerja di Bank, dia meminta cuti di luar tanggungan untuk bersama berangkat ke Amerika Serikat. Tonny mengambil program Master di bidang Manajemen Keuangan (Finance). Karena bea siswa hanya untuk saya, Tonny harus menjual mobil untuk membayar sekolahnya, dan kami berdua menguras semua tabungan untuk bisa membiayai hidup selama sekolah di Amerika Serikat.
Kuliah di program Master dan PhD saya cukup lancar karena meskipun pelajaran tingkat doktoral cukup rumit dan tidak gampang, saya menikmati pelajaran dan bacaan literatur yang harus dipelajari. Saya juga sangat menikmati suasana Campus library yang sangat besar dan menyenangkan yang tidak dapat kita temui di Indonesia. Meskipun pada awal 1980 FEUI punya gedung perpustakaan yang baru dan tergolong paling bagus di UI atau mungkin di Indonesia pada masa itu, namun koleksi buku dan jurnal sama sekali tidak sebanding dibandingkan perpustaan di Amerika Serikat. Kita bahkan bisa pinjam dari perpustakaan dari kampus-kampus lain atau perpustakaan pemerintah di seluruh Amerika Serikat dengan memesan melalui perpustakaan di kampus kita. Ini suatu fasilitas yang saya anggap begitu luar biasa. Tentunya kalau dibandingkan suasana hari ini dimana internet dan Google bisa membawa kita "berkelana" ke seluruh dunia melalui browser, dan akses terhadap informasi sudah demikian mudah, murah dan sangat hebat, maka fasilitas perpustakaan menjadi relatif tidak mencengangkan lagi.
Saya menyelesaikan kuliah Master dan PhD selama empat tahun, tergolong sangat cepat. Spesialisasi yang saya ambil adalah Public Finance dan Urban Economy. Disertasi saya mengenai Pajak Penghasilan ( Income Tax) membedakan antara pembayar pajak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian dalam penelitian dan penulisan disertasi tersebut banyak mengandung elemen mengenai ekonomi ketenagakerjaan ( labor economic). Faktor cepatnya saya menyelesaikan program Master dan PhD dipicu oleh tabungan kami yang sudah nyaris habis, bea siswa saya hanya sampai menyelsaikan program Master, sehingga saya harus bekerja sebagai asisten dosen statistik untuk bisa membiayai hidup dan dibebaskan biaya kuliah. Saya juga sudah hamil dan melahirkan anak pertama di sana. Sungguh tahun ketiga dan keempat adalah masa terberat dalam perjuangan hidup saya dan keluarga, karena harus melakukan berbagai tugas sekaligus mengurus anak, bekerja sebagai asisten, dan menyelesaikan ujian preliminary dan mulai menyususn disertasi Doktor. Keuangan kami yang sangat minim membuat kami harus hidup sangat hemat, dan lebih banyak waktu dihabiskan di perpustakaan yang hangat dan nyaman sehingga dapat menghemat biaya listrik dan pemanas di apartemen. Saya melihat banyak mahasiswa Indonesia di Urbana Champaign yang dibiayai oleh Departemen Keuangan mendapat beasiswa tiga kali lipat dari saya, dan dari Bank Indonesia dan Bank BUMN bahkan mendapat beasiswa hingga lima atau enam kali lipat dari bea siswa saya. Mereka hidup sangat nyaman dengan keluarga dan selalu bisa berlibur dan tentu menabung. Sebagian besar mereka juga cenderung agak rileks dalam belajar sehingga nilai pelajarannya juga mencerminkan usaha tersebut. Hikmah keterbatasan keuangan membuat saya dipaksa membangun disiplin dan selalu membuat rencana detail terhadap berbagai aktifitas. Disiplin dan perencanaan detail tersebut sangat membantu saya dalam menjalankan karier selanjutnya.
Masyarakat Indonesia yang hidup di perantauan atau di Amerika Serikat memiliki suasana pergaulan yang cukup khas. Selama kehidupan sebagai mahasiswa, saya melihat ada kelompok yang senang berkumpul dan saling menolong secara luar biasa. Biasanya mereka saling bantu secara setia kawan pada saat kawan harus pindah, mencari apartemen/ tempat tinggal, menjemput atau mengantar ke airport, atau pada saat ada yang dirawat di rumah sakit. Pada saat saya melahirkan anak pertama, karena tidak ada orang tua atau mertua yang mendampingi, saya dan suami mengandalkan bantuan kawan-kawan, teermasuk "sesepuh" di Urbana-Champaign untuk membantu, termasuk mendapat kiriman masakan, mengungsi sewaktu terjadi winter-storm yang mengakibatkan padamnya listrik di apartmen kami.
Organisasi kemahasiswaan Indonesia di Amerika Serikat juga aktif membuat kegiatan pertandingan olah-raga, pameran masakan dan kesenian di Universitas, dan pengajian/ kegiatan keagamaan. Kegiatan tersebut sangat positif untuk memperkenalkan Indonesia baik di masyarakat setempat (warga kampus) juga untuk memelihara kecintaan dan kebanggaan terhadap Tanah Air. Mahasiswa Indonesia juga banyak yang sangat ulet, selain belajar juga mencari pekerjaan tambahan baik di dalam kampus maupun di luar biasanya untuk menambah tunjangan hidup atau bahkan untuk menabung dalam rangka persiapan pulang ke Indonesia untuk dapat membeli rumah atau keperluan investasi lainnya. Namun diantara masyarakat Indonesia di Amerika Serikat juga tidak lepas mengalami persaingan dan bahkan perpecahan kelompok. Ada saja alasan yang menjadi faktor pemecah, dari sentimen pribadi, hingga perbedaan pandangan mengenai cara mengelola organisasi. Sebenarnya perpecahan kelompok apalagi permusuhan sangat disayangkan, karena energi permusuhan seharusnya akan sangat baik bila disalurkan untuk hal yang positif. Membangun kepentingan bersama, saling mendukung dalam belajar dan bekerja, ikut bangga dengan pencapaian orang lain, berpikir positip dan terbuka terhadap ide-ide baru yang progresif, itu akan membuat masyarakat Indonesia menjadi besar dan disegani. Karena masyarakat Indonesia di Amerika Serikat jumlahnya relatif tidak banyak dibandingkan negara-negara Asia atau Latin Amerika lainnya, maka kekompakan dan persatuan akan menjadikan lebih kuat.
Suasana Amerika Serikat pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an masih sangat terbuka, bebas, dan ramah terhadap semua mahasiswa dan masyarakat internasional. Kemudahan untuk mendapat visa sekolah maupun bekerja juga banyak membantu masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, mahasiswa Indonesia di Maerika Serikat sebagian besar dikenal selalu ingin kembali ke tanah air dan jarang yang ingin tetap tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Ini sangat berbeda dibandingkan mahasiswa dari Asia lainnya atau dari Amerika Latin dan Eropa. Semenjak terjadinya serangan terorisme pada tanggal 11 September 2001, kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan suasana masyarakatnya mengalami perubahan sangat drastis, menjadi kaku, penuh kecurigaan, dan terlalu banyak lapisan birokrasi dan keamanan untuk semua urusan dari mulai mengurus visa, mengurus surat ijin mengemudi, hingga pemeriksaan imigrasi dan keamanan di lapangan udara. Sejak kejadian itu, suasana tinggal dan belajar di Amerika Serikat menjadi tidak nyaman. Kecurigaan atau permusuhan dan hilangnyan kepercayaan antar masyarakat, serta ancaman keamanan secara terus menerus memang merupakan suatu kanker ganas yang dapat menggagalkan pembangunan suatu bangsa. Saya melihat sendiri dalam pekerjaan saya di Bank Dunia saat ini, banyak negara-negara di dunia yang masuk dalam kategori konflik dan rapuh (fragile) ada sekitar 40 negara di dunia ini. Karena perang, konflik dan permusuhan, mereka gagal untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, dan justru mengalami kemerosotan kualitas hidup. Rakyatlah yang selalu menjadi korban pertama dan terlama dari peperangan tersebut.
Setelah saya menyelesaikan program Doktor di Urbana -Champaign, saya segera kembali ke Indonesia dan langsung diminta menjadi wakil direktur pendidikan dan latihan di LPEM. Tugas utama adalah mengelola dan menyelenggarakan kursus manajemen proyek dan perencanaan pembangunan bagi pegawai pemerintah daerah dan Bappeda. Tugas ini sangat menarik dan penting, karena kapasitas pemerintah daerah masih sangat perlu dibangun dan diperbaiki. Pada masa Orde Baru otonomi daerah dan desentralisasi sangat terbatas dan selektif, karena pemerintah pusat menganggap bahwa pemerintah daerah masih belum memiliki kapasistas dan kemampuan apabila delegasi kekuasaan dankewenangan diberikan secara penuh. Tentu argumen ini menimbulkan kontroversi yang tidak pernah putus seperti masalah debat mengenai yang mana duluan antara telur dan ayam. Pemerintah daerah akan menyatakan bahwa kemampuan dan kapasitas mereka tidak akan terbangun karena kewenangan tidak diberikan, namun pemerintah pusat menyatakan karena kemampuan belum memadai maka kewenanganntidak diberikan. Maka program pendidikan dan latihan menjadi kunci pemecahannya. Pekerjaan sebagai pengelola pendidikan dan latihan memberikan kesempatan pada saya untuk mengenal lebih rinci dan dalam kondisi dan sikap para pegawai di daerah. Banyak yang memiliki kapasitas akademis yang terbatas, namuh yang menjadi halangan kemajuan daerah bukan pada masalah akdemis, namun sikap mental. Saya cukup sering menghadapi kasus pegawai pemerintah daerah yang dikirim untuk pendidikan dan latihan ke Jakarta, bukannya serius untuk belajar, namun digunakan kesempatan untuk rekreasi dan belanja saja. Meskipun demikian banyak pegawai daerah yang memiliki sikap yang luar biasa maju dan profesional. Mereka inilah yang biasanya menjadi juara di kelas pendidikan.
Saya dan keluarga pada saat terjadinya serangan 9/11 sedang bertempat tinggal di Atlanta ibu kota Georgia State. Saya bekerja sebagai konsultan US-AID yang memiliki program mengirim staf pengajar dari universitas-universitas negeri di Indonesia untuk belajar Master Program terutama di bidang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal. Ada sekitar 30 murid dari UI, UGM, Universitas Brawijaya, Universitas Syah Kuala, Universitas Cendrawasih, dan Universitas Sam Ratulangi. Saya diminta menjadi dosen pembimbing dan pendamping, terutama bagi mahasiswa yang masih mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan beban hidup dan cara belajar di Amerika Serikat. Karena saya pernah mengalami sendiri bagaimana tantangan mengelola perubahan hidup dan beban belajar dari Indonesia ke Amerika Serikat, maka pengalaman tersebut dapat dibagikan dan diajarkan kepada para mahasiswa baru tersebut. Saya termasuk yang percaya bahwa menghadapi secara langsung pengalaman hidup di negara lain merupakan pembelajaran yang sangat berharga. Kita belajar menjadi bagian dari suatu masyarakat yang sama sekali berbeda dengan kita. Kita menjadi terbuka wawasannya, bisa mengenali dan memahami perbedaan kultur, nilai, bahasa, kebiasaan masyarakat yang berbeda dengan kita sendiri. Dengan pemahaman akan perbedaan tersebut, kita akan menjadi peka namun juga merasa pentingnya adanya tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai perbedaan tersebut.
Selama di Atlanta, selain membimbing mahasiswa dan melakukan riset mandiri, saya juga bergaul dengan masyarakat Indonesia di Atlanta. Ada sekelompok masyarakat yang sering mengundang mahasiswa Indonesia untuk makan atau berekrasi bersama di taman. Masyarakat Indonesia ini ternyata sebagian adalah mereka yang pindah dari Indonesia karena kerusuhan politik dan rasial yang terutama ditujukan pada kelompok etnis Cina pada saat jatuhnya pemerintah Soeharto tahun 1999. Hebatnya, meski mereka trauma terhadap kerusuhan tersebut, kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak pernah luntur. Mereka bersemangat membantu para mahasiswa Indonesia di Atlanta secara tulus dan bersemangat, terutama untuk penyesuaian hidup, dengan memberitahukan dimana tempat belanja yang murah dan tempat membeli bumbu-bumbu Indonesia, meski mereka sama sekali tidak mengenal mereka. Contoh-contoh kecil ini menggambarkan bagaimana kekuatan masyarakat dan orang Indonesia, yang berpikir positif dan kecintaan terhadap tanah air yang tulus yang tidak perlu harus diwujudkan dengan tindakan-tindakan besar dan heroik, namun dengan sikap nyata keseharian yang konsisten dan mendekati hakiki.
Program USAID tersebut sesuai dengan tantangan Indonesia yang mengalami perubahan drastis sejak reformasi tahun 1998/99 yaitu dari sistem pemerintahan yang tadinya sentralistis, tertutup, dan cenderung otoriter, menjadi sistem yang demokratis, terbuka, dan terdesentralisasi secara penuh. Perubahan ini memunculkan tantangan nyata dalam bentuk kapasitas daerah yang masih terbatas sementara mereka sekarang memiliki kekuasaan dan kewenangan serta tanggung-jawab yang sangat besar dalam melayani masyarakat. Dengan mengirim staf pengajar dari Universitas daerah, maka diharapkan akan terjadi pembangunan kapasitas di daerah. Saya melihat sendiri bagaimana kualitas pengajar dari Universitas Daerah sangat beragam, sebagian besar masih harus dibangun dan diperbaiki. Ada pengajar muda dari daerah yang menceritakan bahwa bahkan buku teks untuk kuliah saja tidak ada. Dosen hanya mengajar dari buku catatan dan dengan kualitas pengajaran yang sangat tidak memadai. Maka tidak heran murid-murid lulusannya juga memiliki kapasitas yang terbatas, meski mereka bergelar Sarjana. Tentu dengan alokasi anggaran negara dua puluh persen di APBN untuk pendidikan dan penelitian saat ini, saya berharap fokus perbaikan kualitas dan pemerataan kualitas di semua daerah di Indonesia menjadi prioritas utama. Indonesia memiliki banyak generasi muda yang sangat cerdas dan berpotensi maju, namun apabila kualitas pendidikan di daerah tidak diperbaiki, maka potensi generasi muda kita akan menjadi sia-sia.
Pada tahun 2002, sewaktu saya sedang menjalankan pekerjaan di Atlanta tersebut, saya ditelpo oleh Menteri Keuangan Boediono untuk menerima tugas negara menjadi Direktur Eksekutif di IMF mewakili 12 negara di Asia Tenggara dan Pasifik. Surat keputusan Presiden Megawati sudah dikeluarkan, sehingga kami sekeluarga harus pindah dari Atlanta ke Washington DC. Pekerjaan sebagai Direktur Eksekutif di IMF secara manjerial tidak terlalu rumit, karena saya hanya membawahi sekitar sepuluh staf saja, namun dari berbagai negara Asia Tenggara dan Pasifik. Kerumitan muncul karena staf dari Malaysia dan Singapura waktu itu tidak cukup akur dengan staf dari Indonesia dan Pasifik lainya. Suasana tersebut segera dapat saya atasi dengan membangun sistem pertemuan yang bersifat kolegial, transparansi dan akuntabel. Juga adil dalam pembagian tugas, dan disiplin dalam menjaga kualitas. Tugas sebagai ED di IMF sangat menarik, kana kita mewakili pemilik (shareholders) IMF, yang berkewajiban membahas, mengarahkan dan menyetujui atau menolak program yang diajukan oleh manajemen dan staf IMF. Pada tahun 2002-2004 tersebut, krisis ekonomi Asia yang terjadi pada thaun 1998-2000 sudah teratasi, namun dampaknya mulai menjalar ke Amerika Latin dan Turkey dalam bentuk runtuhnya kepercayaan pasar terhadap stabilitas dan sustainabilitas (ketahanan) ekonomi negara-negara tersebut. Kerapuhan terjadi baik di sektor keuangan, perdagangan internasional dan neraca pembayaran, eksposur hutang pemerintah, dan besarnya defisit anggaran. Saya melihat bagaimana Mexico, Brazil, Argentina dan Turkey yang mengalami krisis ekonomi harus melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berat untuk bisa memulihakan stabilitas dan ketahanan ekonominya. Suasana tersebut sama seperti kondisi Indonesia tahun 1998/99 dan sama seperti yang dialami Eropa Barat seperti Yunani, Spanyol, Italia, Irlandia, Portugal dan bahkan juga Perancis dalam skala yang berbeda pada saat ini.
Pada tahun 2004, saya dipanggil pulang ke Indonesia oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu pertama. Saya mula-mula ditugaskan menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan setahun kemudian bergeser menjadi Menteri Keuangan, dan bahkan pada tahun terakhir harus merangkap sekaligus menjadi Menteri Korrdinator Bidang Perekonomian. Kodisi ekonomi dunia pada saat saya menjadi Menteri sungguh tidak mudah. Pada tahun 2006 Dunia mengalami tekanan karena harga minyak dunia melonjak sangat tinggi dan dalam waktu sangat singkat, dan ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap ketahanan ekonomi dan sustainabilitas APBN. Pemerintah harus melakukan tindakan cepat, tepat untuk memulihkan kepercayaan, menjaga momentum pertumbuhan dan melindungi rakyat yang paling miskin dan lemah posisi ekonominya.
Pada tahun 2008 perekonomian dunia mengalami guncangan berat akibat krisis sektor keuangan di Amerika Serikat dengan bangkrutnya lembaga keuangan Lehman Brothers yang menyeret seluruh dunia dalam suasana kepanikan dan krisis kepercayaan yang sangat mengguncang fundamental perekonomian global. Krisis 2008 mengharuskan pemimpin dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia (G20) untuk berkumpul dan menyatukan langkah penanggulangan bersama. Trauma krisis ekonomintahun 1998/99 sangat membayangi suasana pada tahun 2008 tersebut. Beban dan tanggung jawab sangat berat ada di pundak saya, karena posisi sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus Menko Perekonomian sangat strategis dalam memimpin dan menentukan langkah-langkah menghadapi krisis ekonomi dunia. Hari-hari menghadapi krisis ekonomi dunia tersebut menjadi kawah ujian yang lengkap dan berat bagi saya, karena pada saat puncak guncangan krisis ekonomi dunia terjadi yang menyebabkan suasana ekonomi Indonesia ikut terguncang dengan merosotnya harga saham dan mata uang Rupiah dan mulai munculnya kepanikan pelaku ekonomi, kesehatan ibu saya merosot tajam dan akhirnya beliau meninggal dunia. Suasana persaingan politik dalam negeri menjelang Pemilu 2009 juga menambah rumitnya proses pembuatan kebijakan dan langkah-langkah penanggulangan krisis saat itu.
Bekal latihan hidup yang diberikan orang tua saya, dalam bentuk ketenangan, ketegaran, dan fokus pada tugas sangat membantu. Seluruh pengalaman penanganan krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998/99 dan pelajaran dari negara-negara Latin Amerika, Turkey, Rusia yang pernah mengalami krisis ekonomi memberikan manfaat yang berharga bagi saya untuk membuat keputusan yang antisipatif, akurat, dan tepat waktu. Saya berusaha untuk menjaga ekonomi Indonesia agar tidak jatuh dalam krisis ekonomi , karena bila sampai terjadi seperti tahun 1998/199 maka akan membuat rakyat Indonesia sangat sengsara dan stabilitas politik dan sosial juga akan ikut terhancurkan. Langkah-langkah kebijakan pencegahan dan peningkatan ketahan ekonomi dilakukan secara penuh perhitungan yang akurat dan cepat, karena situasi bergejolak setiap hari. Indonesia berhasil melalui masa sulit tersebut dengan kondisi ekonomi yang relatif tidak terpengaruh dan bahkan masih dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, sementara hampir seluruh negara di dunia mengalami kontraksi. Rakyat terlindungi dari guncangan yang dapat merusak sendi ekonomi kita. Saya menyadari bahwa memang kita tidak pernah bisa memilih kapan waktu yang tepat dan enak untuk mengemban tugas negara dan tanggung jawab publik. Kita juga tidak pernah dapat memilih atau menghindar kapan tantangan besar datang menghampiri kita. Namun pada saat tantangan dan masalah itu datang, kita harus siap menghadapinya. Mengemban tugas dan tanggung jawab negara berarti kita mengemban kepercayaan dan kepentingan rakyat yang tidak boleh dikompromikan oleh kepentingan apapun.
Saya pindah pekerjaan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia menjadi Managing Director World Bank. Pengunduran diri saya memang menjadi berita dunia, yang saya ambil hikmahnya bahwa apa yang saya lakukan untuk Republik Indonesia dalam membangun sistem keuangan negara dan pengelolaan ekonomi berlandaskan prinsip tata kelola yang baik, transparansi, akuntabel dan berpihaknada kepentingan rakyat banyak ternyata sangat diperhatikan oleh masyarakat kita sendiri dan juga oleh dunia. Langkah reformasi memang belum selesai dan tak akan pernah selesai, karena setiap langkah perbaikan pasti akan menimbulkan masalah baru yang harus diatasi. Reformasi sama seperti proses pembangunan sendiri adalah suatu proses yang berkelanjutan, dimana elemen untuk perbaikan sistem akan selalu dihadapkan pada tantangan dan resistensi dari mereka yang dirugikan. Reputasi dan pengalaman saya mengelola ekonomi Indonesia sangat membantu pekerjaan saya yang baru di Bank Dunia. Para klien, sharehorlders serta para staf Bank Dunia sangat menghargai pengalaman yang riel dan kongkrit dalam menghadapi pilihan-pilihan kebijakan dan masalah pembangunan yang tidak selalu mudah. Bahkan dalam melakukan komunikasi dengan para stake-holders yang lebih luas, pengalaman tersebut juga sangat memberikan kredibilitas yang meyakinkan. Cerita dan pengalaman Indonesia senatiasa menjadi referensi yang sangat penting dalam membahas persoalan dan membuat keputusan. Hal ini memposisikan Indonesiasebagai contoh yang sering membanggakan meski tentu sangat jauh dari sempurna. Namun dalam menangani masalah pembangunan, memang tidak pernah ada suatu contoh, situasi dan pilihan yang sempurna. Pembuat kebijajan sering dihadapkan pada pilihan yang tidak ideal sama sekali atau "the first best choice", namun sering terpaksa harus mengambil keputusan yang kurang optimal atau "second or even third best options" . Dalam banyak hal bahkan para pembuat kebijakan sering harus menelan posisi kebijakan yang paling tidak buruk atau "the least worst". Kondisi yang dihadapi negara-negara Eropa yang sedang terkena krisis saat ini adalah contoh nyata, antara memilih penyehatan anggaran dengan pengetatan (austerity) untuk membangun fondasi ekonomi yang baru dan pilihan mendorong pertumbuhan segera dan mengurangi beban masyarakat akibat krisis. Kewajiban para pembuat kebijakan dan pengelola kekuasaan adalah bagaimana menghindarkan negara dan perekonomian untuk terjerumus dalam situasi yang buruk, dimana kepercayaan runtuh dan ekonomi menuju krisis. Dan itu sering harus dilakukan dengan memerangi kelompok kepentingan yang sangat kuat dan berkuasa.
Belajar dari pengalaman negara sendiri maupun negara lain adalah sangat penting, sehingga Indonesia tidak perlu senatiasa terjerumus dalam kesalahan, kesulitan, dan krisis yang mengancam kesejahteraan rakyat. Pekerjaan di IMF, sebagai Menteri, dan sebagai Managing Director Bank Dunia memberikan pengalaman profesional yang luar biasa bagi saya. Dengan melihat berbagai pengalaman krisis dan tantangan ekonomi pembangunan di berbagai negara di seluruh belahan bumi, dapat dipetik pelajaran sangat berharga dalam pengelolaan ekonomi negara. Negara-negara dengan kebijakan ekonomi yang tidak dirancang secara baik dan hati-hati dan bila tidak dilandasi oleh visi jangka panjang dan dengan perhitungan yang akurat akan sustainabilitasnya, akan mengakibatkan krisis yang dapat merusak ekonomi, sosial dan politik negara tersebut. Pelajaran pembangunan lain yang sagat berharga adalah di dalam negara unsur kelembagaan yang sehat, kokoh, dan bersih (akuntabel dan transparan) adalah sangat penting. Negara sebesar dan sekokoh apapun, dan dengan tingkat pendapatan berapapun akan runtuh bukan oleh musuh di luar, namun biasanya justru oleh kerapuhan institusinya sendiri yang dijangkiti penyakit manajemen dan tata kelola yang buruk dan penyakit korupsi. Salah urus, salah rancangan dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan dan rapuhnya kelembagaan terjadi dimana saja, baik di Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Serikat dan Amerika Latin, dan Afrika. Krisis juga bisa terjadi di tingkat pendapatan berapa saja, pada saat masih miskin, atau pada saat negara sedang menuju ke tingkat menengah ( emerging), atau bahkan juga pada saat negara sudah maju dan kaya.
Pelajaran lainnya adalah penting dan sangat strategisnya investasi sumber daya manusia dengan merancang dan membangun sistem pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang kondusif bagi inovasi. Model pembangunan yang inklusif dan berkeadilan menjadi suatu keharusan untuk dapat memerangi kemiskinan dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan. Proses pembangunan suatu bangsa adalah suatu perjalanan dan sekaligus perjuangan yang sangat panjang dan sama sekali tidak mudah. Inklusif dan berkeadilan mengamanatkan suatu proses kebersamaan yang bersih, berintegritas, transparan, akuntabel dan menghormati perbedaan sehingga seluruh lapisan rakyat dapat ikut memiliki proses pembangunan itu sendiri. Keberhasilan pembangunan bukanlah diukur dari hasil akhir saja, namun juga oleh proses yang bermartabat, beretika, jujur dan berkeadilan. Dihadapkan dengan tantangan pembangunan baik secara nasional maupun global yang makin rumit dan terus berubah, dengan segala kerendahan hati saya mengakui, masih begitu banyak hal di dunia ini yang belum saya pahami dan kuasai. Setiap hari dimana saja saya berkunjung di belahan dunia ini, proses belajar dan menyimak pengalaman akan terus saya lakuan. Dunia dan seisinya adalah universitas global bagi saya.
Washington DC, May 10 -2012
By: Sri Mulyani
Saya diminta oleh Duta Besar Dino Djalal untuk menyumbangkan cerita mengenai pengalaman belajar dan hidup di Amerika, terutama untuk menjelaskan kunci sukses. Sebenarnya sungguh muskil menjelaskan apa itu kunci sukses dan bahkan mendefiniskan dan menentukan apa itu sukses bagi seseorang karena sifatnya yang sangat subyektif. Maka dalam tulisan ini saya tidak berpretensi untuk mengklaim dan menjelaskan mengengenai kesuksesan dan bagaimana bisa tercapai, namun saya hanya akan membagi cerita sebagian kecil dari hidup saya yang mungkin ada manfaatnya bagi para pembaca.
Saya di besarkan dalam sebuah keluarga besar, dalam artian ukuran yang sebenarnya. Bapak dan Ibu memiliki sepuluh putra-putri dan saya adalah putri ke tujuh. Jarak diantara sepuluh anak hanya sekitar setahun lebih sedikit. Artinya dalam kurun lebih satu dekade, hampir setiap tahun ibu saya hamil dan melahirkan. Meskipun pada tahun 1950an hinga 1960 an memiliki banyak anak adalah lumrah (normal), namun memiliki sepuluh anak tetap dianggap cukup banyak. Dalam masyarakat Indonesia ( Jawa) pada jaman itu dipercaya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki. Nilai semacam ini dapat dipahami dalam masyarakat agraris tradisional, dimana setiap anak merupakan tambahan tenaga kerja untuk mengerjakan sawah sehingga dapat menghasilkan panen lebih banyak.
Orang tua saya adalah dosen ilmu pendidikan di IKIP Semarang, dan mereka juga percaya bahwa memiliki banyak anak berarti juga dilimpahi banyak rejeki oleh Tuhan sang Pencipta. Setiap anak membawa rejeki masing-masing, demikian sering dikatakan oleh Ibu saya. Kepercayaan yang sangat optimistis terhadap masa depan dan terhadap kekuasaan Allah yang Maha Baik dan Maha Penyayang merupakan fondasi yang ditanamkan terus menerus oleh orang tua saya kepada anak-anaknya. Dengan berbuat baik pada sesama, orang tua saya percaya bahwa anak-anaknya yang banyak juga akan menerima kebaikan dari orang lain. Maka meskipun Bapak dan Ibu sudah memiliki banyak anak dan kondisi ekonomi keluarga juga pas-pasan, di rumah kami selalu ramai denga "ngengeran" yaitu saudara atau mahasiswa yang mondok menjadi anak asuh di rumah, sekaligus menolong merekan yang kurang mampu. Hidup di rumah yang tidak terlalu besar dengan jumlah penghuni hingga lima belasan orang tentu memerlukan sikap tenggang rasa, saling menghormati dan saling peka terhadap kepentingan masing-masing. Kondisi rumah menghindarkan kami dari sifat egoistis yang hanya mementingkan diri sendiri. Bapak dan Ibu mampu mengelola suasana rumah dengan baik dan cukup menyenangkan, rasanya tidak ada pertengkaran besar pernah terjadi kecuali pertengkaran kecil dan lumrah antar saudara. Suasana seperti itu membentuk kami menjadi manusia yang menghargai kekompakkan dan kebersatuan keluarga.
Sejak kecil orang tua saya memang mengajarkan bahwa sekolah adalah nomer satu atau prioritas utama. Ajaran tersebut juga diterapkan secara konsisten bagi diri mereka. Bayangkan bahwa ibu yang memiliki sepuluh anak, masih terus semangat meneruskan jenjang belajarnya hingga mencapai S3 atau jenjang Doktor di bidang pendidikan. Bapak juga meneruskan pendidikan ke luar negeri (Amerika Serikat- Syracuse - New York State). Orang tua saya setiap malam tekun menyiapkan bahan kuliah untuk muridnya dan bahkan mengerjakan penelitian. Rumah orang tua saya selalu ramai dengan anak-anak sendiri, anak asuh dan suasana pekerjaan akademis. Suasana keluarga juga diwarnai dengan kesenangan akan musik, menyanyi dan melukis. Orang tua saya bersama para dosen IKIP membuat berbagai kegiatan yang positif bagi anak-anak dosen, seperti les bahasa Inggris yang diajarkan oleh dosen bahasa Inggris, pelajaran melukis dan membatik yang diberikan oleh dosen seni rupa. Suasana obrolan diskusi keluarga di sekitar makan siang dan makan malam diisi dengan topik berbagai hal dari yang serius seperti politik, hingga lelucon sehari-hari. Setiap akhir kuartalan atau semesteran, merupakan episode yang mendebarkan, karena setiap anak akan menyerahkan raport sekolahnya. Saya ingat selama jenjang SD dan SMP saya tidak pernah mengalami juara kelas, sedang kakak- kakak dan adik saya hampir selalu juara kelas atau bahkan juara sekolah. Pada masa itu juara kelas dan juara sekolah biasanya mendapat hadiah yaitu bebas tidak membayar uang sekolah ( SPP- Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan). Saya sempat agak minder juga, karena dari sepuluh anak, rasanya saya merasa yang paling bodoh.
Meskipun orang tua saya sangat menekankan pentingnya pelajaran sekolah, namun kami anak-anaknya didorong untuk aktif di kegiatan ekstra kurikuler baik dalam organisasi pelajar seperti OSIS, kegiatan olah raga seperti basket, volley, bahkan atletik, dan karate, hiking, pramuka dan paskibra. Anak-anak juga didorong menekuni kesenian, baik dalam paduan suara, folk song group, dan melukis. Semua kegiatan tersebut membuat kami selalu sibuk, dan memang itu yang diinginkan oleh orang tua saya, yaitu agar anak-anak selalu aktif, sibuk, bergaul dengan kawan sekolah, namun dalam wadah kegiatan yang positif seperti olah raga, organisasi, dan kesenian. Kebiasaan aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi sangat membantu saya untuk membangun social skill dan berlatih melakukan tugas berbagai macam sekaligus (multi tasking). Kedua hal tersebut nantinya sangat berguna dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan.
Orang tua saya menekankan agar anak-anaknya harus masuk perguruan tinggi negeri, karena biaya pendidiman murah, masa pendidikan tidak lama dan kualitas pendidikan baik. Jurusan yang dianjurkan terutama jurusan kedokteran dan faktulas teknik. karena lulusannyan relatif dihargai masyarakat dan mudah mendapat pekerjaan. Oleh karena itu semasa SMA seluruh anak-anak hanya boleh masuk jurusan eksakta ( IPA), agar dapat pelajaran matematika dan statistik yang cukup untuk melatih cara berpikir yang logis. Ajaran Bapak dan Ibu yang menekankan pada cara berpikir logis, namun juga dilatih kepekaan terhadap keadaan/lingkungan dan menghormati pikiran orang lain sangat bermanfaat dalam perjalanan hidup saya terutama saat menghadapi masalah rumit, dan tantangan mengelola organisasi yang sangat beragam.
Masa kecil saya hingga selesai SMA dihabiskan di kota Semarang sebuah kota yang cukup besar namun tidak padat dan menegangkan seperti Jakarta. Semarang masih memiliki keakraban yang menyenangkan. Saya bersekolah naik sepeda hingga SMA, yang cukup menyenangkan karena suasana jalan Kali Sari yang nyaman dengan pohon-pohon asam tua yang sangat rimbun. Dengan bersepeda juga dapat dinikmati pemandangan gedung-gedung tua seperti "Lawang Sewu" dan gereja Katolik tua yang sangat indah dan anggun di seputar Tugu Muda. Naik sepeda ke sekolah agak dirasa "usang" waktu SMP dan SMA. Sekolah saya SMP Negeri I dan SMA Negeri III merupakan sekolah-sekolah terbaik di Semarang, dimana berkumpul anak-anak pandai dan atau kaya dari para pejabat tinggi (Gubernur, Panglima Militer, Kapolda, Walikota) maupun pengusaha besar di Jawa Tengah. Meski merasa agak minder bila sepeda saya melewati begitu banyak mobil-mobil bagus yang menjemput teman-teman yang kaya tersebut, namun hal tersebut tidak terlalu membebani. Saya tetap bergaul dengan mudah dan riang dan bahkan menjadi ketua OSIS di SMA, ikut kelompok basket, volley, dan paduan suara yang aktif bertanding antar sekolah. Lucunya dengan kesadaran akan kesehatan dan upaya mengurangin polusi, jaman sekarang naik sepeda menjadi gaya hidup yang modern dan sehat. Kalangan selebritas dan pejabat melakukan gerakan "bike to work" di Jakarta yang begitu sumpek dan padat. Di Washington DC, juga sangat banyak yang pergi bekerja dengan naik sepeda, termasuk karyawan Bank Dunia. Banyak sepeda diangkut dengan mobil dan kereta bawah tanah, untuk bisa dipakai tengah hari di kota. Jaman dan gaya hidup memang sering kembali berputar ke masa lalu. Saya menjadi teringat pernyataan ibu saya yang sering berujar dengan nasihat "ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh", artinya jangan terlalu mudah heran, mudah kaget, dan jangan mentang-mentang.
Saya lulus SMA III Semarang pada tahun 1981 dengan predikat juara sekolah dari jurusan IPA, rasanya otak saya memang agak mulai encer sewaktu di SMA. Sebenarnya saya bisa diterima di IPB tanpa test atau bisa juga mendaftar Fakultas Kedokteran atau Jurusan Teknik agar menjadi Dokter atau Insinyur seperti harapan orang tua saya. Namun saya memutuskan memilih Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia. Orang tua saya heran dengan pilihan saya meski tidak melarang. Pada suatu percakapan, Ibu saya pernah menanyakan apa pekerjaan yang tersedia bagi lulusan fakultas ekonomi? Beliau tahu salah seorang istri kawannya yang bekerja di Bank, jadi beliau berasumsi saya nantinya akan menjadi pegawai bank, meskipun beliau tetap menyatakan bahwa pekerjaan sebagai dosen dianggap lebih baik di mata beliau. Saya memilih Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sebenarnya juga tidak paham dengan bidang tersebut dan tidak memikirkan nantinya mau menjadi apa. Saya diberitahu oleh sepupu saya bahwa banyak para Menteri mengajar di fakultas tersebut, dan itu dianggap sebagai sesuatu yang bergengsi dan berharga. Saya tidak terlalu memahami arti gengsi tersebut, karena buat saya yang lebih mencekam adalah bagaimana saya harus pindah ke Jakarta dan berpisah untuk pertama kalinya dengan orang tua saya. Saya dititipkan pada kakak saya yang saat itu sudah lulus Fakultas Kedokteran UI.
Ada kejadian menarik sewaktu saya di SMA, yaitu pada tahun 1979 ada kesempatan mendaftar untuk program AFS ( American Field Service ) yaitu program satu tahun ke Amerika Serikat untuk tinggal bersama keluarga Amerika, dan bersekolah SMA di sana. Saya ikut mendaftar, karena saya melihat salah seorang teman kakak saya pulang dari program AFS nampak sangat keren sekali karena sangat fasih berbicara bahasa Inggris dan menceritakan pengalaman sekolah di Amerika yang begitu menakjubkan. Saya lulus tes dan wawancara, dan menjadi kandidat yang paling kuat untuk berangkat. Namun saya gagal berangkat karena orang tua saya tidak mampu menyediakan uang untuk membayar sebagian biaya tiket berangkat ke Amerika Serikat. Orang tua saya menyatakan bahwa biaya ticket tersebut cukup besar untuk membayar uang kuliah dan uang pondokan dan biaya hidup tiga kakak saya yang sedang kuliah di ITB. Pergi ke luar negeri untuk satu tahun jelas bukan prioritas keluarga saat itu. Saya sangat sedih dan kecewa dengan "kegagalan" tersebut, meski orang tua saya menghibur dengan mengatakan bahwa pasti nanti ada kesempatan lain untuk pergi dan sekolah ke luar negeri/Amerika Serikat. Ternyata pernyataan orang tua saya tersebut terbukti benar, karena dalam perjalanan hidup saya selanjutnya saya berkesempatan bersekolah tidak hanya satu tahun seperti program AFS namun empat tahun untuk progran Master dan PhD degree, juga bahkan memiliki kesempatan bekerja dan hidup di Amerika Serikat bersama keluarga.
Fakultas Ekonomi dibagi menjadi tiga jurusan, yaitu jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan (ESP), Jurusan Management, dan Jurusan Akuntansi. Saya memilih jurusan ESP karena bidang studinya sangat menarik. Selain belajar mengenai ekonomi mikro dan makro yang ternyata sangat dekat dengan mempelajari tingkah laku kelompok masyarakat, baik sebagai konsumen, dan produsen ( Perusahaan), saya juga belajar mengenai kebijakan ekonomi di bidang fiskal ( anggaran pendapatan dan belanja negara) , moneter, dan perdagangan internasional. Yang menarik dari pelajaran ekonomi adalah menggunakan model baik secara sederhana melalui gambar grafik dan kurva hingga model yang canggih dan rumit secara matematis, juga digunakan data kuantitatif analisa statistik atau ekonometrik untuk menjelaskan tingkah laku pelaku ekonomi, dan membuat proyeksi atau perkiraan masa depan. Seluruh pelajaran ini saya rasakan merupakan kombinasi yang mengasyikkan antara menggunakan alat kuantitatif statistik dan matematika, dengan analisa tingkah laku (behavioral dan psikologis) dan ada sisi sosial, politik dan kultural yang sangat kental dalam setiap topik yang dibahas. Selama kuliah, saya sempat diajar oleh berbagai tokoh-tokoh penting atau terkenal di Republik Indonesia, seperti almarhum Prof Soemitro Djojohadikusumo, Prof Emil Salim, Prof Sadli (alm), Prof Saleh Affi (alm), Prof Dorodjatun Kuntjorojakti, dll. Kehadiran para tokoh ini memberikan kaitan teori yang kita pelajari dengan dunia nyata. Dalam perkembangan studi selanjutnya kita juga makin disadarkan pentingnya unsur kelembagaan dan hukum dalam setiap pembahasan masalah ekonomi. Dengan demikian, belajar ekonomi menyebabkan saya terus terpacu untuk mempelajari berbagai hal yang sama sekali tidak sederhana dan mudah, namun sangat mengasyikkan. Mungkin karena saya sangat menikmati pelajaran ilmu ekonomi, saya tidak mengalami kesulitan dalam pelajaran, dan bahkan sebagian besar selalu mendapat nilai terbaik.
Mungkin karena cakupan yang sangat besar dan kompleks, jurusan ESP memang tidak terlalu banyak diminati. Pada masa saya belajar di FEUI, dari sekitar 300 mahasiswa setiap angkatan yang diterima di FEUI, hanya sekitar 20 orang yang tertarik mengambil jurusan ESP, dan sangat jarang perempuan masuk jurusan ini. Sebagian besar mahasiswa FEUI mengambil jurusan Akuntansi atau Manajemen. Jelas kedua jurusan tersebut lebih riel dan lapangan kerja yang tersedia untuk menampung lulusan Akuntansi dan Manajemen juga jauh lebih banyak terutama di perusahaan swasta atau BUMN. Lulusan ESP biasanya menjadi pengajar/dosen dan peneliti di Fakultas, atau menjadi pegawai negeri atau di Bank Sentral. Karena saya dulunya memang bercita-cita jadi guru, maka saya sudah menetapkan pilihan yaitu setelah lulus akan bekerja sebagai dosen dan peneliti. Orang tua saya sangat senang dengan pilihan karier tersebut, dan bahkan mendorong agar saya meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Saya meraih posisi lulusan terbaik pada tahun wisuda 1986 dan oleh karenanya dipilih mewakili wisudawan/wisudawati FEUI untuk maju kedepan menerima ucapan selamat dari Rektor. Pada masa itu upacara wisuda sarjana Universitas Indonesia dilakukan secara serentak oleh seluruh fakultas di Balai Sidang Jakarta. Oleh karena itu setiap fakultas hanya diwakili oleh dua orang sarjana (laki dan perempuan) untuk menerima ucapan selamat dari rektor UI. Sayangnya sewaktu upacara wisuda tersebut, orang tua saya sedang menunaikan ibadah haji, sehingga beliau tidak sempat menghadirinya. Tentu saya kecewa, namun ibu saya menghibur bahwa doa orang tua dari tanah suci kepada anaknya jauh lebih berharga dari kehadiran fisik beliau. Ini salah satu keahlian ibu saya, yaitu selalu mampu melihat sesuatu dari sisi positip dan dengan penuh keyaninan, sehingga kami menjadi kuat dan tidak tenggelam dalam kesedihan atau kekecewaan dalam hidup. Dalam perjalanan hidup saya selanjutnya, seluruh wisuda-wisuda yang saya alami, tidak ada satupun yang bisa dihadiri oleh orang tua saya, baik sejak tingkat sarjana, di tingkat Master hingga di tingkat PhD-- kebetulan wisuda Master dan PhD di Amerika Serikat yang tentunya sangat mahal bagi orang tua saya untuk bisa membiayai perjalanan. Pengalaman ini secara tidak langsung mungkin membentuk diri saya untuk lebih matang dan berani menghadapi berbagai hal secara mandiri dan tidak cengeng. Sejak kecil orang tua saya menanamkan sikap dan kepercayaan bahwa Tuhan selalu menjaga kita dimanapun kita berada, dan bahwa orang tua selalu ada "didekat" kita meskipun kita berjauhan dalam jarak geografis. Mereka menyatakan hanya dengan sholat, doa dan sabar yang tidak terputus maka kita selalu merasa dekat satu sama lain dalam keluarga, dan selalu akan mendapat pertolongan dan perlindungan dari Allah SWT. Dengan putra-putri sepuluh dan menyebar di berbagai tempat sekolah dan tempat kerja dan keterbatasan dan mahalnya komunikasi dan transportasi pada masa itu, saya rasa orang tua saya hanya bisa menyerahkan nasib anak-anaknya kepada Sang Pencipta.
Untuk menyelesaikan Sarjana Ekonomi dan menulis skripsi, saya mengambil spesialisasi jurusan Uang dan Bank. Jurusan ini menarik, karena menjelaskan mengenai peranan uang, sistem keuangan dan bahkan mengenai tugas Bank Sentral dalam perekonomian. Saya bahkan menulis skripsi mengenai sejarah uang dan teori mengenai permintaan terhadap uang. Sekali lagi tulisan skripsi saya menyebabkan saya makin tertarik pada bidang sejarah, sosial, kebudayaan, dan bahkan mengenai teori tingkah laku dan motivasi. Sebelum saya lulus, saya sudah melamar untuk menjadi peneliti di Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat ( LPEM) yang pada saat itu dipimpin oleh pak Dorodjatun Kuntjoro Jakti, dan sekaligus sebagai asisten dosen di FEUI. Saya diterima sebagai asisten peneliti pada tahun 1986 persis sebelum lulus, dengan proyek penelitian pertama yang saya kerjakan adalah meneliti permintaan rumah di kota-kota besar di Indonesia- dengan ketua proyek penelitian adalah pak Darmin Nasution. PeneItian ini sangat mengasyikkan, selain kita harus merancang penelitian di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, juga harus menyusuan quesioner dan melakukan wawancara. Saya merasakan banyak sekali manfaat pelajaran sewaktu kuliah, namun juga terus mendapat ilmu baru. Di LPEM- FEUI saya sangat menikmati pekerjaan sebagai peneliti, dari mulai merancang dan merencanakan penelitian, manajemen waktu, hingga jumlah tenaga peneliti yang dipakai, melakukan penelitian lapangan, wawancara dan mengumpulkan data, melakukan analisa data, menulis loporan hingga melakukan presentasi hasil penelitian. Semangat dan "passion" yang muncul tersebut menjadi sumber energi yang besar dalam melakukan tugas dan pekerjaan. Hingga sekarang saya selalu percaya bahwa melakukan apapun dengan "passion" akan menjadikan saya tidak pernah merasa takut dan bimbang menghadapi masalah serumit dan sebesar apapun. Bekal ketenangan, ketegaran, passion dan kebiasaan berdoa dan sabar/pasrah pada takdir Allah SWT merupakan nilai yang diajarkan oleh orang tua saya dan menjadi fondasi yang saya gunakan dalam menjalani hidup yang begitu penuh tantangan nantinya.
Sewaktu menerima gaji pertama yang saya merasa mendadak begitu kaya raya, karena jumlahnya hampir duapuluh kali lipat uang saku saya selama mahasiswa. Saya juga untuk pertama kali merasakan naik pesawat terbang untuk melakukan penlitian di luar kota. Namun pada saat saya mulai menikmati pekerjaan penelitian di LPEM, FEUI menawarkan kesempatan untuk mengirimkan asisten dan dosen muda untuk menerukan jenjang pendidikan S2 dan S3 di luar negeri. Tawaran yang diberikan adalah program belajar ke Inggris dengan syarat harus lulus kursus bahasa Inggris di British Council Jakarta, dan tawaran belajar ke Amerika Serikat. Karena tawaran belajar ke Inggris datang lebih dulu, saya ikut mendaftar dan diterima untuk ikut kursus bahasa Inggris di British Council untuk kemudian melamar program Master ke Inggris. Saya sudah diterima program Master di University of Birmingham, namun tidak jadi diambil karena kemudian saya mendapat tawaran untuk sekolah ke Amerika Serikat.
Saya diterima di University of Illinois Urbana-Champaign (UI-UC) yang menawarkan program Master yang dapat dikombinasikan dengan program Doktor / PhD. Program ke Amerika Serikat juga menarik karena boleh membawa keluarga. Faktor keluarga sangat penting, karena saya pada saat itu sudah merencanakan untuk menikah dengan Tonny Sumartono, kakak kelas saya di FEUI jurusan Manajemen. Orang tua saya hanya mengijinkan kami menikah kalau kita bersama-sama berangkat ke luar negeri. Saya tidak diijinkan oleh orang tua saya untuk sekolah sendiri dan harus didampingi oleh suami. Menurut orang tua saya, kebersamaan dalam berkeluarga adalah keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar. Meskipun Tonny sudah mulai bekerja di Bank, dia meminta cuti di luar tanggungan untuk bersama berangkat ke Amerika Serikat. Tonny mengambil program Master di bidang Manajemen Keuangan (Finance). Karena bea siswa hanya untuk saya, Tonny harus menjual mobil untuk membayar sekolahnya, dan kami berdua menguras semua tabungan untuk bisa membiayai hidup selama sekolah di Amerika Serikat.
Kuliah di program Master dan PhD saya cukup lancar karena meskipun pelajaran tingkat doktoral cukup rumit dan tidak gampang, saya menikmati pelajaran dan bacaan literatur yang harus dipelajari. Saya juga sangat menikmati suasana Campus library yang sangat besar dan menyenangkan yang tidak dapat kita temui di Indonesia. Meskipun pada awal 1980 FEUI punya gedung perpustakaan yang baru dan tergolong paling bagus di UI atau mungkin di Indonesia pada masa itu, namun koleksi buku dan jurnal sama sekali tidak sebanding dibandingkan perpustaan di Amerika Serikat. Kita bahkan bisa pinjam dari perpustakaan dari kampus-kampus lain atau perpustakaan pemerintah di seluruh Amerika Serikat dengan memesan melalui perpustakaan di kampus kita. Ini suatu fasilitas yang saya anggap begitu luar biasa. Tentunya kalau dibandingkan suasana hari ini dimana internet dan Google bisa membawa kita "berkelana" ke seluruh dunia melalui browser, dan akses terhadap informasi sudah demikian mudah, murah dan sangat hebat, maka fasilitas perpustakaan menjadi relatif tidak mencengangkan lagi.
Saya menyelesaikan kuliah Master dan PhD selama empat tahun, tergolong sangat cepat. Spesialisasi yang saya ambil adalah Public Finance dan Urban Economy. Disertasi saya mengenai Pajak Penghasilan ( Income Tax) membedakan antara pembayar pajak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian dalam penelitian dan penulisan disertasi tersebut banyak mengandung elemen mengenai ekonomi ketenagakerjaan ( labor economic). Faktor cepatnya saya menyelesaikan program Master dan PhD dipicu oleh tabungan kami yang sudah nyaris habis, bea siswa saya hanya sampai menyelsaikan program Master, sehingga saya harus bekerja sebagai asisten dosen statistik untuk bisa membiayai hidup dan dibebaskan biaya kuliah. Saya juga sudah hamil dan melahirkan anak pertama di sana. Sungguh tahun ketiga dan keempat adalah masa terberat dalam perjuangan hidup saya dan keluarga, karena harus melakukan berbagai tugas sekaligus mengurus anak, bekerja sebagai asisten, dan menyelesaikan ujian preliminary dan mulai menyususn disertasi Doktor. Keuangan kami yang sangat minim membuat kami harus hidup sangat hemat, dan lebih banyak waktu dihabiskan di perpustakaan yang hangat dan nyaman sehingga dapat menghemat biaya listrik dan pemanas di apartemen. Saya melihat banyak mahasiswa Indonesia di Urbana Champaign yang dibiayai oleh Departemen Keuangan mendapat beasiswa tiga kali lipat dari saya, dan dari Bank Indonesia dan Bank BUMN bahkan mendapat beasiswa hingga lima atau enam kali lipat dari bea siswa saya. Mereka hidup sangat nyaman dengan keluarga dan selalu bisa berlibur dan tentu menabung. Sebagian besar mereka juga cenderung agak rileks dalam belajar sehingga nilai pelajarannya juga mencerminkan usaha tersebut. Hikmah keterbatasan keuangan membuat saya dipaksa membangun disiplin dan selalu membuat rencana detail terhadap berbagai aktifitas. Disiplin dan perencanaan detail tersebut sangat membantu saya dalam menjalankan karier selanjutnya.
Masyarakat Indonesia yang hidup di perantauan atau di Amerika Serikat memiliki suasana pergaulan yang cukup khas. Selama kehidupan sebagai mahasiswa, saya melihat ada kelompok yang senang berkumpul dan saling menolong secara luar biasa. Biasanya mereka saling bantu secara setia kawan pada saat kawan harus pindah, mencari apartemen/ tempat tinggal, menjemput atau mengantar ke airport, atau pada saat ada yang dirawat di rumah sakit. Pada saat saya melahirkan anak pertama, karena tidak ada orang tua atau mertua yang mendampingi, saya dan suami mengandalkan bantuan kawan-kawan, teermasuk "sesepuh" di Urbana-Champaign untuk membantu, termasuk mendapat kiriman masakan, mengungsi sewaktu terjadi winter-storm yang mengakibatkan padamnya listrik di apartmen kami.
Organisasi kemahasiswaan Indonesia di Amerika Serikat juga aktif membuat kegiatan pertandingan olah-raga, pameran masakan dan kesenian di Universitas, dan pengajian/ kegiatan keagamaan. Kegiatan tersebut sangat positif untuk memperkenalkan Indonesia baik di masyarakat setempat (warga kampus) juga untuk memelihara kecintaan dan kebanggaan terhadap Tanah Air. Mahasiswa Indonesia juga banyak yang sangat ulet, selain belajar juga mencari pekerjaan tambahan baik di dalam kampus maupun di luar biasanya untuk menambah tunjangan hidup atau bahkan untuk menabung dalam rangka persiapan pulang ke Indonesia untuk dapat membeli rumah atau keperluan investasi lainnya. Namun diantara masyarakat Indonesia di Amerika Serikat juga tidak lepas mengalami persaingan dan bahkan perpecahan kelompok. Ada saja alasan yang menjadi faktor pemecah, dari sentimen pribadi, hingga perbedaan pandangan mengenai cara mengelola organisasi. Sebenarnya perpecahan kelompok apalagi permusuhan sangat disayangkan, karena energi permusuhan seharusnya akan sangat baik bila disalurkan untuk hal yang positif. Membangun kepentingan bersama, saling mendukung dalam belajar dan bekerja, ikut bangga dengan pencapaian orang lain, berpikir positip dan terbuka terhadap ide-ide baru yang progresif, itu akan membuat masyarakat Indonesia menjadi besar dan disegani. Karena masyarakat Indonesia di Amerika Serikat jumlahnya relatif tidak banyak dibandingkan negara-negara Asia atau Latin Amerika lainnya, maka kekompakan dan persatuan akan menjadikan lebih kuat.
Suasana Amerika Serikat pada akhir tahun 1980an dan awal 1990an masih sangat terbuka, bebas, dan ramah terhadap semua mahasiswa dan masyarakat internasional. Kemudahan untuk mendapat visa sekolah maupun bekerja juga banyak membantu masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, mahasiswa Indonesia di Maerika Serikat sebagian besar dikenal selalu ingin kembali ke tanah air dan jarang yang ingin tetap tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Ini sangat berbeda dibandingkan mahasiswa dari Asia lainnya atau dari Amerika Latin dan Eropa. Semenjak terjadinya serangan terorisme pada tanggal 11 September 2001, kebijakan pemerintah Amerika Serikat dan suasana masyarakatnya mengalami perubahan sangat drastis, menjadi kaku, penuh kecurigaan, dan terlalu banyak lapisan birokrasi dan keamanan untuk semua urusan dari mulai mengurus visa, mengurus surat ijin mengemudi, hingga pemeriksaan imigrasi dan keamanan di lapangan udara. Sejak kejadian itu, suasana tinggal dan belajar di Amerika Serikat menjadi tidak nyaman. Kecurigaan atau permusuhan dan hilangnyan kepercayaan antar masyarakat, serta ancaman keamanan secara terus menerus memang merupakan suatu kanker ganas yang dapat menggagalkan pembangunan suatu bangsa. Saya melihat sendiri dalam pekerjaan saya di Bank Dunia saat ini, banyak negara-negara di dunia yang masuk dalam kategori konflik dan rapuh (fragile) ada sekitar 40 negara di dunia ini. Karena perang, konflik dan permusuhan, mereka gagal untuk memperbaiki kesejahteraan rakyatnya, dan justru mengalami kemerosotan kualitas hidup. Rakyatlah yang selalu menjadi korban pertama dan terlama dari peperangan tersebut.
Setelah saya menyelesaikan program Doktor di Urbana -Champaign, saya segera kembali ke Indonesia dan langsung diminta menjadi wakil direktur pendidikan dan latihan di LPEM. Tugas utama adalah mengelola dan menyelenggarakan kursus manajemen proyek dan perencanaan pembangunan bagi pegawai pemerintah daerah dan Bappeda. Tugas ini sangat menarik dan penting, karena kapasitas pemerintah daerah masih sangat perlu dibangun dan diperbaiki. Pada masa Orde Baru otonomi daerah dan desentralisasi sangat terbatas dan selektif, karena pemerintah pusat menganggap bahwa pemerintah daerah masih belum memiliki kapasistas dan kemampuan apabila delegasi kekuasaan dankewenangan diberikan secara penuh. Tentu argumen ini menimbulkan kontroversi yang tidak pernah putus seperti masalah debat mengenai yang mana duluan antara telur dan ayam. Pemerintah daerah akan menyatakan bahwa kemampuan dan kapasitas mereka tidak akan terbangun karena kewenangan tidak diberikan, namun pemerintah pusat menyatakan karena kemampuan belum memadai maka kewenanganntidak diberikan. Maka program pendidikan dan latihan menjadi kunci pemecahannya. Pekerjaan sebagai pengelola pendidikan dan latihan memberikan kesempatan pada saya untuk mengenal lebih rinci dan dalam kondisi dan sikap para pegawai di daerah. Banyak yang memiliki kapasitas akademis yang terbatas, namuh yang menjadi halangan kemajuan daerah bukan pada masalah akdemis, namun sikap mental. Saya cukup sering menghadapi kasus pegawai pemerintah daerah yang dikirim untuk pendidikan dan latihan ke Jakarta, bukannya serius untuk belajar, namun digunakan kesempatan untuk rekreasi dan belanja saja. Meskipun demikian banyak pegawai daerah yang memiliki sikap yang luar biasa maju dan profesional. Mereka inilah yang biasanya menjadi juara di kelas pendidikan.
Saya dan keluarga pada saat terjadinya serangan 9/11 sedang bertempat tinggal di Atlanta ibu kota Georgia State. Saya bekerja sebagai konsultan US-AID yang memiliki program mengirim staf pengajar dari universitas-universitas negeri di Indonesia untuk belajar Master Program terutama di bidang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal. Ada sekitar 30 murid dari UI, UGM, Universitas Brawijaya, Universitas Syah Kuala, Universitas Cendrawasih, dan Universitas Sam Ratulangi. Saya diminta menjadi dosen pembimbing dan pendamping, terutama bagi mahasiswa yang masih mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan beban hidup dan cara belajar di Amerika Serikat. Karena saya pernah mengalami sendiri bagaimana tantangan mengelola perubahan hidup dan beban belajar dari Indonesia ke Amerika Serikat, maka pengalaman tersebut dapat dibagikan dan diajarkan kepada para mahasiswa baru tersebut. Saya termasuk yang percaya bahwa menghadapi secara langsung pengalaman hidup di negara lain merupakan pembelajaran yang sangat berharga. Kita belajar menjadi bagian dari suatu masyarakat yang sama sekali berbeda dengan kita. Kita menjadi terbuka wawasannya, bisa mengenali dan memahami perbedaan kultur, nilai, bahasa, kebiasaan masyarakat yang berbeda dengan kita sendiri. Dengan pemahaman akan perbedaan tersebut, kita akan menjadi peka namun juga merasa pentingnya adanya tenggang rasa, toleransi, dan saling menghargai perbedaan tersebut.
Selama di Atlanta, selain membimbing mahasiswa dan melakukan riset mandiri, saya juga bergaul dengan masyarakat Indonesia di Atlanta. Ada sekelompok masyarakat yang sering mengundang mahasiswa Indonesia untuk makan atau berekrasi bersama di taman. Masyarakat Indonesia ini ternyata sebagian adalah mereka yang pindah dari Indonesia karena kerusuhan politik dan rasial yang terutama ditujukan pada kelompok etnis Cina pada saat jatuhnya pemerintah Soeharto tahun 1999. Hebatnya, meski mereka trauma terhadap kerusuhan tersebut, kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak pernah luntur. Mereka bersemangat membantu para mahasiswa Indonesia di Atlanta secara tulus dan bersemangat, terutama untuk penyesuaian hidup, dengan memberitahukan dimana tempat belanja yang murah dan tempat membeli bumbu-bumbu Indonesia, meski mereka sama sekali tidak mengenal mereka. Contoh-contoh kecil ini menggambarkan bagaimana kekuatan masyarakat dan orang Indonesia, yang berpikir positif dan kecintaan terhadap tanah air yang tulus yang tidak perlu harus diwujudkan dengan tindakan-tindakan besar dan heroik, namun dengan sikap nyata keseharian yang konsisten dan mendekati hakiki.
Program USAID tersebut sesuai dengan tantangan Indonesia yang mengalami perubahan drastis sejak reformasi tahun 1998/99 yaitu dari sistem pemerintahan yang tadinya sentralistis, tertutup, dan cenderung otoriter, menjadi sistem yang demokratis, terbuka, dan terdesentralisasi secara penuh. Perubahan ini memunculkan tantangan nyata dalam bentuk kapasitas daerah yang masih terbatas sementara mereka sekarang memiliki kekuasaan dan kewenangan serta tanggung-jawab yang sangat besar dalam melayani masyarakat. Dengan mengirim staf pengajar dari Universitas daerah, maka diharapkan akan terjadi pembangunan kapasitas di daerah. Saya melihat sendiri bagaimana kualitas pengajar dari Universitas Daerah sangat beragam, sebagian besar masih harus dibangun dan diperbaiki. Ada pengajar muda dari daerah yang menceritakan bahwa bahkan buku teks untuk kuliah saja tidak ada. Dosen hanya mengajar dari buku catatan dan dengan kualitas pengajaran yang sangat tidak memadai. Maka tidak heran murid-murid lulusannya juga memiliki kapasitas yang terbatas, meski mereka bergelar Sarjana. Tentu dengan alokasi anggaran negara dua puluh persen di APBN untuk pendidikan dan penelitian saat ini, saya berharap fokus perbaikan kualitas dan pemerataan kualitas di semua daerah di Indonesia menjadi prioritas utama. Indonesia memiliki banyak generasi muda yang sangat cerdas dan berpotensi maju, namun apabila kualitas pendidikan di daerah tidak diperbaiki, maka potensi generasi muda kita akan menjadi sia-sia.
Pada tahun 2002, sewaktu saya sedang menjalankan pekerjaan di Atlanta tersebut, saya ditelpo oleh Menteri Keuangan Boediono untuk menerima tugas negara menjadi Direktur Eksekutif di IMF mewakili 12 negara di Asia Tenggara dan Pasifik. Surat keputusan Presiden Megawati sudah dikeluarkan, sehingga kami sekeluarga harus pindah dari Atlanta ke Washington DC. Pekerjaan sebagai Direktur Eksekutif di IMF secara manjerial tidak terlalu rumit, karena saya hanya membawahi sekitar sepuluh staf saja, namun dari berbagai negara Asia Tenggara dan Pasifik. Kerumitan muncul karena staf dari Malaysia dan Singapura waktu itu tidak cukup akur dengan staf dari Indonesia dan Pasifik lainya. Suasana tersebut segera dapat saya atasi dengan membangun sistem pertemuan yang bersifat kolegial, transparansi dan akuntabel. Juga adil dalam pembagian tugas, dan disiplin dalam menjaga kualitas. Tugas sebagai ED di IMF sangat menarik, kana kita mewakili pemilik (shareholders) IMF, yang berkewajiban membahas, mengarahkan dan menyetujui atau menolak program yang diajukan oleh manajemen dan staf IMF. Pada tahun 2002-2004 tersebut, krisis ekonomi Asia yang terjadi pada thaun 1998-2000 sudah teratasi, namun dampaknya mulai menjalar ke Amerika Latin dan Turkey dalam bentuk runtuhnya kepercayaan pasar terhadap stabilitas dan sustainabilitas (ketahanan) ekonomi negara-negara tersebut. Kerapuhan terjadi baik di sektor keuangan, perdagangan internasional dan neraca pembayaran, eksposur hutang pemerintah, dan besarnya defisit anggaran. Saya melihat bagaimana Mexico, Brazil, Argentina dan Turkey yang mengalami krisis ekonomi harus melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berat untuk bisa memulihakan stabilitas dan ketahanan ekonominya. Suasana tersebut sama seperti kondisi Indonesia tahun 1998/99 dan sama seperti yang dialami Eropa Barat seperti Yunani, Spanyol, Italia, Irlandia, Portugal dan bahkan juga Perancis dalam skala yang berbeda pada saat ini.
Pada tahun 2004, saya dipanggil pulang ke Indonesia oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk bergabung menjadi menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu pertama. Saya mula-mula ditugaskan menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan setahun kemudian bergeser menjadi Menteri Keuangan, dan bahkan pada tahun terakhir harus merangkap sekaligus menjadi Menteri Korrdinator Bidang Perekonomian. Kodisi ekonomi dunia pada saat saya menjadi Menteri sungguh tidak mudah. Pada tahun 2006 Dunia mengalami tekanan karena harga minyak dunia melonjak sangat tinggi dan dalam waktu sangat singkat, dan ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap ketahanan ekonomi dan sustainabilitas APBN. Pemerintah harus melakukan tindakan cepat, tepat untuk memulihkan kepercayaan, menjaga momentum pertumbuhan dan melindungi rakyat yang paling miskin dan lemah posisi ekonominya.
Pada tahun 2008 perekonomian dunia mengalami guncangan berat akibat krisis sektor keuangan di Amerika Serikat dengan bangkrutnya lembaga keuangan Lehman Brothers yang menyeret seluruh dunia dalam suasana kepanikan dan krisis kepercayaan yang sangat mengguncang fundamental perekonomian global. Krisis 2008 mengharuskan pemimpin dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia (G20) untuk berkumpul dan menyatukan langkah penanggulangan bersama. Trauma krisis ekonomintahun 1998/99 sangat membayangi suasana pada tahun 2008 tersebut. Beban dan tanggung jawab sangat berat ada di pundak saya, karena posisi sebagai Menteri Keuangan dan sekaligus Menko Perekonomian sangat strategis dalam memimpin dan menentukan langkah-langkah menghadapi krisis ekonomi dunia. Hari-hari menghadapi krisis ekonomi dunia tersebut menjadi kawah ujian yang lengkap dan berat bagi saya, karena pada saat puncak guncangan krisis ekonomi dunia terjadi yang menyebabkan suasana ekonomi Indonesia ikut terguncang dengan merosotnya harga saham dan mata uang Rupiah dan mulai munculnya kepanikan pelaku ekonomi, kesehatan ibu saya merosot tajam dan akhirnya beliau meninggal dunia. Suasana persaingan politik dalam negeri menjelang Pemilu 2009 juga menambah rumitnya proses pembuatan kebijakan dan langkah-langkah penanggulangan krisis saat itu.
Bekal latihan hidup yang diberikan orang tua saya, dalam bentuk ketenangan, ketegaran, dan fokus pada tugas sangat membantu. Seluruh pengalaman penanganan krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1998/99 dan pelajaran dari negara-negara Latin Amerika, Turkey, Rusia yang pernah mengalami krisis ekonomi memberikan manfaat yang berharga bagi saya untuk membuat keputusan yang antisipatif, akurat, dan tepat waktu. Saya berusaha untuk menjaga ekonomi Indonesia agar tidak jatuh dalam krisis ekonomi , karena bila sampai terjadi seperti tahun 1998/199 maka akan membuat rakyat Indonesia sangat sengsara dan stabilitas politik dan sosial juga akan ikut terhancurkan. Langkah-langkah kebijakan pencegahan dan peningkatan ketahan ekonomi dilakukan secara penuh perhitungan yang akurat dan cepat, karena situasi bergejolak setiap hari. Indonesia berhasil melalui masa sulit tersebut dengan kondisi ekonomi yang relatif tidak terpengaruh dan bahkan masih dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, sementara hampir seluruh negara di dunia mengalami kontraksi. Rakyat terlindungi dari guncangan yang dapat merusak sendi ekonomi kita. Saya menyadari bahwa memang kita tidak pernah bisa memilih kapan waktu yang tepat dan enak untuk mengemban tugas negara dan tanggung jawab publik. Kita juga tidak pernah dapat memilih atau menghindar kapan tantangan besar datang menghampiri kita. Namun pada saat tantangan dan masalah itu datang, kita harus siap menghadapinya. Mengemban tugas dan tanggung jawab negara berarti kita mengemban kepercayaan dan kepentingan rakyat yang tidak boleh dikompromikan oleh kepentingan apapun.
Saya pindah pekerjaan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia menjadi Managing Director World Bank. Pengunduran diri saya memang menjadi berita dunia, yang saya ambil hikmahnya bahwa apa yang saya lakukan untuk Republik Indonesia dalam membangun sistem keuangan negara dan pengelolaan ekonomi berlandaskan prinsip tata kelola yang baik, transparansi, akuntabel dan berpihaknada kepentingan rakyat banyak ternyata sangat diperhatikan oleh masyarakat kita sendiri dan juga oleh dunia. Langkah reformasi memang belum selesai dan tak akan pernah selesai, karena setiap langkah perbaikan pasti akan menimbulkan masalah baru yang harus diatasi. Reformasi sama seperti proses pembangunan sendiri adalah suatu proses yang berkelanjutan, dimana elemen untuk perbaikan sistem akan selalu dihadapkan pada tantangan dan resistensi dari mereka yang dirugikan. Reputasi dan pengalaman saya mengelola ekonomi Indonesia sangat membantu pekerjaan saya yang baru di Bank Dunia. Para klien, sharehorlders serta para staf Bank Dunia sangat menghargai pengalaman yang riel dan kongkrit dalam menghadapi pilihan-pilihan kebijakan dan masalah pembangunan yang tidak selalu mudah. Bahkan dalam melakukan komunikasi dengan para stake-holders yang lebih luas, pengalaman tersebut juga sangat memberikan kredibilitas yang meyakinkan. Cerita dan pengalaman Indonesia senatiasa menjadi referensi yang sangat penting dalam membahas persoalan dan membuat keputusan. Hal ini memposisikan Indonesiasebagai contoh yang sering membanggakan meski tentu sangat jauh dari sempurna. Namun dalam menangani masalah pembangunan, memang tidak pernah ada suatu contoh, situasi dan pilihan yang sempurna. Pembuat kebijajan sering dihadapkan pada pilihan yang tidak ideal sama sekali atau "the first best choice", namun sering terpaksa harus mengambil keputusan yang kurang optimal atau "second or even third best options" . Dalam banyak hal bahkan para pembuat kebijakan sering harus menelan posisi kebijakan yang paling tidak buruk atau "the least worst". Kondisi yang dihadapi negara-negara Eropa yang sedang terkena krisis saat ini adalah contoh nyata, antara memilih penyehatan anggaran dengan pengetatan (austerity) untuk membangun fondasi ekonomi yang baru dan pilihan mendorong pertumbuhan segera dan mengurangi beban masyarakat akibat krisis. Kewajiban para pembuat kebijakan dan pengelola kekuasaan adalah bagaimana menghindarkan negara dan perekonomian untuk terjerumus dalam situasi yang buruk, dimana kepercayaan runtuh dan ekonomi menuju krisis. Dan itu sering harus dilakukan dengan memerangi kelompok kepentingan yang sangat kuat dan berkuasa.
Belajar dari pengalaman negara sendiri maupun negara lain adalah sangat penting, sehingga Indonesia tidak perlu senatiasa terjerumus dalam kesalahan, kesulitan, dan krisis yang mengancam kesejahteraan rakyat. Pekerjaan di IMF, sebagai Menteri, dan sebagai Managing Director Bank Dunia memberikan pengalaman profesional yang luar biasa bagi saya. Dengan melihat berbagai pengalaman krisis dan tantangan ekonomi pembangunan di berbagai negara di seluruh belahan bumi, dapat dipetik pelajaran sangat berharga dalam pengelolaan ekonomi negara. Negara-negara dengan kebijakan ekonomi yang tidak dirancang secara baik dan hati-hati dan bila tidak dilandasi oleh visi jangka panjang dan dengan perhitungan yang akurat akan sustainabilitasnya, akan mengakibatkan krisis yang dapat merusak ekonomi, sosial dan politik negara tersebut. Pelajaran pembangunan lain yang sagat berharga adalah di dalam negara unsur kelembagaan yang sehat, kokoh, dan bersih (akuntabel dan transparan) adalah sangat penting. Negara sebesar dan sekokoh apapun, dan dengan tingkat pendapatan berapapun akan runtuh bukan oleh musuh di luar, namun biasanya justru oleh kerapuhan institusinya sendiri yang dijangkiti penyakit manajemen dan tata kelola yang buruk dan penyakit korupsi. Salah urus, salah rancangan dalam kebijakan ekonomi dan pembangunan dan rapuhnya kelembagaan terjadi dimana saja, baik di Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Serikat dan Amerika Latin, dan Afrika. Krisis juga bisa terjadi di tingkat pendapatan berapa saja, pada saat masih miskin, atau pada saat negara sedang menuju ke tingkat menengah ( emerging), atau bahkan juga pada saat negara sudah maju dan kaya.
Pelajaran lainnya adalah penting dan sangat strategisnya investasi sumber daya manusia dengan merancang dan membangun sistem pendidikan, kesehatan, dan lingkungan yang kondusif bagi inovasi. Model pembangunan yang inklusif dan berkeadilan menjadi suatu keharusan untuk dapat memerangi kemiskinan dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan. Proses pembangunan suatu bangsa adalah suatu perjalanan dan sekaligus perjuangan yang sangat panjang dan sama sekali tidak mudah. Inklusif dan berkeadilan mengamanatkan suatu proses kebersamaan yang bersih, berintegritas, transparan, akuntabel dan menghormati perbedaan sehingga seluruh lapisan rakyat dapat ikut memiliki proses pembangunan itu sendiri. Keberhasilan pembangunan bukanlah diukur dari hasil akhir saja, namun juga oleh proses yang bermartabat, beretika, jujur dan berkeadilan. Dihadapkan dengan tantangan pembangunan baik secara nasional maupun global yang makin rumit dan terus berubah, dengan segala kerendahan hati saya mengakui, masih begitu banyak hal di dunia ini yang belum saya pahami dan kuasai. Setiap hari dimana saja saya berkunjung di belahan dunia ini, proses belajar dan menyimak pengalaman akan terus saya lakuan. Dunia dan seisinya adalah universitas global bagi saya.
Washington DC, May 10 -2012
Telusur Silk Road, part 2 : Persiapan yang ribet.
Perjalanan telusur Silk Road kali ini dirancang istri saya bersama pemilik W-Tour,
direncanakan start dari kota paling ujung timur Silk Road yaitu Xian, dan finish
di kota ujung paling barat Silk Road wilayah China yaitu Kashgar.
Kota Xian (dahulu ChangAn), posisinya ditengah mainland China, inilah salah satu
dari lima ibukota kuno China, yang terkenal dengan Museum Terracota-nya.
Sedangkan kota Kashgar kalau dilihat dipeta, posisinya persis diutara New Delhi,
kalau dalam arah barat timur sejajar dengan Beijing/Pyongyang/Napoli/Madrid.
Penelusuran akan melewati kota2 sepanjang Hexi Corridor sampai kota DunHuang,
lalu terbang ke Urumqi (baca urumuci) - ibukota propinsi Xinjiang.
(Sebenarnya ada jalur kereta api dari Xian ke Urumqi, jaraknya 2500 km, yang
memakan waktu 33 jam, kami tidak memilih moda transportasi melelahkan ini).
Kemudian akan terbang melintas pegunungan TianShan kekota Korla yang berada
ditepi Taklimakan desert, barulah menelusuri lagi Silk Road jalur utara yaitu dari
Korla ke kota Kucha - Aksu dan berakhir di Kashgar, yang merupakan kota penting
karena inilah kota terakhir sebelum Silk Road menembus border negara tetangga.
Akan disempatkan ke Karakul Lake, danau diketinggian hampir 4000 meter dpl,
disitu bisa memandang puncak bersalju pegunungan Pamir, dibalik puncak Pamir
itu sudah masuk wilayah Tajikistan.
Dari Karakul Lake sebenarnya sudah dekat ke Karakoram Pass yang menuju ke
Kashmir, inilah highest border crossing in the world, 4800 meter diatas permukaan
laut, tapi medan menembus Himalaya itu rasanya terlalu berat maka niat mencoba
telusur rute cabang Silk Road yang menantang ini ditinggalkan dulu .
Tentu tidak mudah membuat itinerary perjalanan 13 hari ini, jarak Xian - Kashgar
yang melalui tiga propinsi (Shaanxi-Gansu-Xinjiang) dipeta terlihat sejauh Jakarta -
Merauke, tentu tidak mungkin cukup waktu kalau hanya pakai jalan darat.
Maka selain dua kali terbang internasional Jakarta - GuangZhou, harus terbang
domestik pula sebanyak 6 kali.
Setelah sekian lama berunding dan rutenya diubah sana sini-pun tetap harus ada
beberapa kali perjalanan darat yang berjarak 300 - 500 km, maka bisa diatas
6 jam baru tiba ditujuan, kebayang pegelnya duduk sekian lama dalam bus.
Maka istri saya meminta bus yang dipakai ukuran besar dengan 55 seats, dan
direncanakan maksimal 26 orang peserta saja agar bisa duduk lega nyaman
dalam perjalanan darat jarak jauh itu.
Tapi ternyata peminat banyak sekali, tidak tertahan yang ikut sampai 35 orang,
ditambah owner W-Tour yang biasanya menjadi tour leader kali ini rupanya
ingin santai, dia mengajak putrinya untuk ditugaskan jadi tour leader.
Pemakai kursi makin banyak lagi karena owner W-tour rupanya ingin membuat
tour berat ini senyaman mungkin, dia menyewa seorang national guide China
yang fasih berbahasa Indonesia, yang bergabung di Lanzhou dan ikut sepanjang
perjalanan di China itu.
Belum lagi disetiap kota akan ikut satu orang local guide, maka ditambah dengan
pak sopir total isi bus jadilah 40 orang.
Hari pertama perjalanan menuju Xian saja sudah lumayan melelahkan, Rabu pagi
10 Oktober 2012 jam 09.05 pesawat China Southern sudah take-off dari bandara
Jakarta menuju GuangZhou, transit lama sampai 5 jam baru dilanjutkan menuju
kota Xian dan tiba sekitar jam 23.05 waktu setempat, total perjalanan 13 jam.
Local guide yang menyambut di airport Xian, seorang pria China 44 tahun yang
bisa berbahasa Indonesia lumayan fasih dan untuk memudahkan menyebut
namanya - dia menobatkan dirinya pakai nama Latip.
Didalam bus, kejutan pertama muncul sewaktu Latip bilang bahwa jarak airport ke
kota Xian itu 55 kilometer, astaga itu mah sama saja dari Tangerang ke Serang,
maka jam 24.00 barulah kami bisa tiba di King Dynasty Hotel yang berbintang lima.
Kami segera bergegas tidur karena bukan saja sudah lelah tapi juga karena esok
paginya akan menuju obyek wisata yang eksotis yaitu Mount HuaShan.
bersambung part 3 : "mendaki" North peak HuaShan.
Subscribe to:
Posts (Atom)