Ini catatan perjalanan Nuke ke Ujung Kulon tahun 2001.
PERJALANAN SUSUR PANTAI UJUNG KULON
13-20 AGUSTUS 2001
Saya dan Wimpie beserta teman-teman satu kelompok perjalanan
(3 perempuan & 3 laki-laki) melakukan perjalanan susur pantai
sebagai salah satu syarat untuk menjadi anggota tetap organisasi
pecinta alam di FK UNPAD (AMP/Atlas Medical Pioneer).
Pada perjalanan kali ini, saya dan Wimpie berlaku sebagai mentor
perjalanan yang bertugas mengawasi dan bertanggung jawab
terhadap keselamatan regu selama perjalanan berlangsung.
Persiapan-persiapan yang diperlukan untuk perjalanan ini antara
lain mengurus perijinan ke Polda Bandung, surat keterangan dari
organisasi, carrier, persiapan bahan makanan selama 3 hari +
2 hari untuk cadangan, alat2 masak (misting, kompor parafin,
kompor spiritus), bahan bakar untuk memasak (parafin & spiritus),
pakaian lapangan & tidur + cadangan, sendal gunung, sepatu kets,
kamera (untuk dokumentasi), dan lain-lain sehingga kurang lebih
beban yang harus dibawa :
15 kg untuk perempuan dan 20 kg untuk laki-lakinya.
H1 (13 Agustus 2001)
Persiapan berangkat (packing dll), jam 00.30 ke terminal
Leuwipanjang Bandung, lalu naik bus ekonomi Garuda Pribumi
(kami sengaja naik bus pada jam tersebut agar dapat sampai
di desa Taman Jaya pada sore hari).
H2 (14 Agustus 2001)
Perjalanan menuju Serang (melewati jalur Puncak/Cipanas),
sampai di Serang jam 06.00 pagi.
Makan pagi di terminal Serang (sempat kesal juga karena
harga makanan terlalu mahal karena dikenai tarif turis!).
Naik bus ke Labuan sampai pukul 09.30, lanjut naik Elf menuju
desa Taman Jaya pukul 10.30 pagi.
Ada sepasang turis dari Swiss (Pierre & Virginie) yang ternyata
punya tujuan yang sama dengan kami sehingga akhirnya grup
kami menjadi 10 orang.
Perjalanan dari Labuan sampai Taman Jaya selama 4 jam
(akibat Elf sering menaik turunkan penumpang dan kondisi
jalan dari Sumur sampaiTaman Jaya rusak).
Sampai di Taman Jaya pk. 14.30 siang,
langsung disambut oleh petugas wana wisata di desa tsb
(dia bertindak sebagai guide kami di desa itu, sekaligus
menawarkan tempat menginap).
Kami mengurus perijinan di rumah sekretaris desa untuk
melakukan penelitian kesehatan mengenai sanitasi air di
desa Taman Jaya, kemudian kami menuju tempat menginap
(sebuah cottage sederhana yang cukup nyaman bagi kami).
Setelah membereskan barang-barang, saya dan Wimpie
mengurus ijin masuk ke PHPA Ujung Kulon sedangkan yang
lain melakukan penelitian.
Petugas PHPA mengharuskan kami membawa guide selama
perjalanan, tetapi kami terpaksa menolak karena sebenarnya
kami tidak boleh membawa guide selama perjalanan).
Setelah berdiskusi panjang lebar, akhirnya kami diijinkan
tidak usah membawa guide.
Setelah mandi dan makan malam lesehan, kami tidur ditemani
nyamuk2 pantai yang gigitannya lumayan bikin gatel2 badan.
Saya dan anak laki-laki tidur di lantai ruang tengah.
H3 (15 Agustus 2001)
makan pagi, packing ulang, meneruskan penelitian, makan siang,
menunggu perahu yang akan mengantar kami ke pulau Peucang.
Ternyata perahu yang dicarikan oleh petugas wana wisata tidak
ada yang mau menunggu di pulau Peucang keesokan harinya
untuk menyeberangkan kami ke muara s. Cidaun,
sehingga akhirnya kami harus menunggu perahu jaga wana
yang mau mengantar kami besoknya.
Kami membereskan biaya administrasi selama menginap, lalu
kami pindah ke cottage yang lebih murah tapi letaknya tepat
di pinggir pantai.
Turis dari Swiss memilih tidur di tenda yang mereka sewa dari
wana wisata.
H4 (16 Agustus 2001)
Setelah makan pagi, mandi dan packing, kami naik perahu
jagawana menuju pulau Peucang pk. 08.00 pagi.
Di tengah perjalanan, perahu sempat berlabuh di pulau
Handeuleum untuk mengambil bahan bakar.
Di perahu itu ada perapian untuk memasak dan kami sempat
menikmati ikan bakar yang sungguh nikmat karena ikannya
segar dan dagingnya juga enak.
Sebelum sampai di P. Peucang, salah seorang petugas
mendapat ikan cucut hasil pancingan di perahu tersebut.
Kami cukup dibuat kaget karena ikannya mengamuk di atas
perahu sebelum akhirnya mati.
Kami tiba di P. Peucang pk. 12.00 siang, ke kantor jagawana
untuk melapor, lalu melanjutkan perjalanan ke Cidaun.
Pantai di P. Peucang cukup bagus untuk berenang karena
ombaknya tenang dan lautnya dangkal, dengan pasir putih dan
pemandangan yang indah.
Sayang kami tidak sempat menikmati keindahan pantai pulau
Peucang lebih lama karena kami harus melanjutkan perjalanan.
Perahu tidak dapat merapat ke pantai karena pantainya terlalu
dangkal, sehingga akhirnya kami harus nyebur ke laut yang
dalamnya sepinggang sambil mengangkat carrier di atas
kepala sejauh 20 meter.
Kami mencari tempat untuk makan siang di pinggir sungai,
dan di tengah jalan kami melewati padang rumput yang
merupakan habitat banteng.
Setelah cukup puas melihat banteng dan berfoto, kami
memasak dan makan siang sampai dengan jam 14.30.
Kami melanjutkan perjalanan melalui jalan setapak ditengah
hutan menuju titik bivoac kami di muara S. Cibunar.
Jalur ini merupakan jalan tembus dari pantai utara (Cidaun)
ke pantai selatan (Cibunar).
Setelah berjalan naik turun bukit selama 2,5 jam sejauh 8 km,
akhirnya sampai juga di pantai selatan yang pemandangannya
cukup membuat kami terbengong-bengong karena ombak
yang begitu besarnya sehingga pantai yang kami temui
berupa tebing karang yang sangat curam.
Kami menuju pos PHPA di muara sungai Cibunar.
Setibanya di sana,kami bermalam di dalam pos bersama
petugas yang sedang berjaga di sana.
Karena sumber air tawar yang ada hanya sungai, akhirnya
kami memutuskan mandi dan mengambil air di sungai sambil
tetap berjaga-jaga terhadap bahaya serangan buaya.
(dengar2 buaya cukup banyak di Ujung Kulon!).
H5 (17 Agustus 2001)
Pada pagi hari, kami mengalami sedikit masalah mengenai
sumber air sebab air sungai di daerah muara menjadi sedikit
payau akibat air laut yang sedang pasang sehingga kami
harus mengambil air lebih ke dalam atau bisa juga dari
anak sungainya.
Kami terkejut ketika melihat pasir di muara sungai yang
berubah warna menjadi hijau muda dan setelah kami
melihat lebih dekat, ternyata warna hijau tsb adalah
kumpulan jutaan anak kepiting yang keluar dari dalam
pasir menuju air laut!
Kami berangkat menuju titik perberhentian kami berikutnya ke
arah timur jam 10 pagi.
Pada awalnya, medan pantai yang kami lalui berupa tebing
karang setinggi 20 meter-an, sambil sekali-kali wajah kami
sedikit basah oleh angin yang bercampur air laut dari pecahan
ombak yang begitu kencangnya!
Di tengah jalan, kami bertemu kelompok peziarah yang sedang
beristirahat.
Mereka berkata hari ini angin bertiup begitu kencang, tidak
seperti biasanya.
Kemungkinan disebabkan karena hari ini kebetulan adalah
hari kemerdekaan Indonesia yang jatuhnya pas Jumat Kliwon.
Setelah bertemu muara sungai berikutnya, barulah medan
yang kami lalui berubah menjadi medan pasir yang sangat
luas sehingga kami seperti berjalan di gurun pasir.
Kami mengalami hambatan2 yang cukup berat akibat angin
yang sangat kencang dan bertiup berlawanan arah dengan
arah kami berjalan.
Selain itu, daerah pasir yang mudah diinjak adalah di sekitar
garis pantai, yaitu batas antara air dengan pasir sehingga
kami harus super hati-hati terhadap ombak yang sering
tidak bisa diduga, sewaktu-waktu bisa menyambar kami!
Setelah berjalan kurang lebih 10 km, kami sampai di muara
sungai Cikeusik pk. 13.00.
Kami bertemu dengan Alan Compos,seorang pembuat film
dokumenter yang sedang membuat film tentang badak cula
satu yang habitatnya di sekitar s. Cikeusik.
Kami sulit sekali memasak untuk makan siang akibat angin
yang sangat kencang bercampur dengan pasir yang
mengotori makanan dan alat masak kami.
Kami berjalan lagi sejauh 10 km menuju muara sungai
Cibandowoh selama 2,5 jam saja.
Kami berjalan sangat cepat untuk keadaan medan seperti itu,
mungkin karena kami sangat bersemangat untuk menyamai
kecepatan kedua turis Swiss yang berjalan cepat sekali.
Kami harus memeras tenaga kami karena satu langkah kaki
mereka adalah 3 langkah kaki kami!
Kami akhirnya sampai di shelter s. Cibandowoh jam 5 sore.
Disana kami bertemu dengan bapak tua yang ternyata adalah
porter Alan Compos yang mau kembali ke Taman Jaya,
tapi tidak bisa meneruskan perjalanan akibat sakit.
Kami membuat camp dan mencari sumber air tawar, dan
ternyata satu-satunya sumber air adalah sebuah kubangan air
yang kondisinya sangat diragukan kebersihannya, karena
airnya sedikit dan terlihat kotor, selain itu ada ikan-ikan yang
berenang di dalam kubangan air itu.
Kami tidak bisa menggunakan air itu untuk minum, sehingga
persediaan air minum kami menipis sekali.
Untung Pierre membawa neutralizer sehingga kami bisa
membuat minuman hangat seadanya.
Kami tidak bisa mandi, sehingga badan yg kotor oleh pasir
dan keringat hanya dibersihkan dgn tissue basah saja.
H6 (18 Agustus 2001)
Pierre dan Virginie memutuskan untuk mendahului kami ke
Taman Jaya karena mereka berencana mau ke Bali, sehingga
kami harus berpisah hari ini.
Kami berencana membawa bapak yang sakit ke pos berikutnya,
tapi bapak itu menolak dan menitip pesan kepada kami agar
meminta anaknya di Taman Jaya untuk menjemput dia di shelter.
Kami menyuntik dextrose iv agar bapak tersebut tidak terkena
hipoglikemi akibat tidak makan selama berhari-hari.
Selain itu kami membekali dia makanan dan minuman
seadanya karena persediaan kami pun terbatas.
Kami meneruskan perjalanan ke pos Karang Randjang
selama 2 jam, di sana kami menemukan sumur yang airnya
cukup banyak.
Kami mengisi cukup air untuk diminum selama perjalanan
sampai pos berikutnya.
Kami makan pagi dan siang sekaligus di sana.
Sayangnya tidak ada orang yang menjaga pos tersebut
sehingga kami tidak bisa meminta bantuan untuk menolong
bapak yang sakit tersebut.
Kami meneruskan perjalanan menembus hutan sejauh 2 km
yang merupakan jalan tembus dari pantai selatan ke pantai utara.
Setelah berjalan selama 0,5 jam, kami sampai di tepi pantai
yang keadaannya sangat berbeda dengan pantai selatan,
dimana ombak begitu tenangnya sehingga pantainya berupa
rawa yang tergenang.
Kami tidak bisa jalan di pantai, sehingga harus berjalan di
jalan setapak melipir pantai. setelah berjalan sejauh 2 km,
rawa berganti menjadi pasir putih sehingga kami bisa berjalan
di pantai lagi.
Di tengah jalan kami bertemu kelompok besar kerbau yang
sedang berjemur di pantai.
Kami menebak-nebak bagaimana kerbau tsb bisa mencapai
pantai tsb karena tidak ada penduduk di sana.
Kami sampai di Tanjung Lame yang merupakan pusat kegiatan
Konservasi Badak Ujung Kulon jam 15.00, dan beristirahat
di sana sambil melapor kepada petugas.
Kami bersantai sambil memakan kelapa yang dipetik dari pohon
kelapa di sana (Wimpie yang memanjat menggunakan webbing!).
Setelah itu kami meneruskan perjalanan ke Taman Jaya.
Pemandangan di tepi pantai sangat indah dan kami dapat
menikmati sunset di sepanjang jalan.
Di tengah jalan, kami bertemu muara sungai yang cukup dalam
sehingga kami tidak bisa menyeberang dengan berjalan kaki.
Untung saja ada sampan penduduk yang kebetulan lewat dan
mau menyeberangkan kami walaupun harus bolak balik
sebanyak 4 kali.
Kami akhirnya sampai kembali di Taman Jaya pukul 6 sore
dan langsung membuat camp di dekat cottage tempat kami
menginap waktu itu.
Kami lega sekali karena dapat kembali ke desa dan beristirahat
serta mandi dengan tenang.
Sayangnya ketenangan kami diganggu oleh peringatan dari
pemilik cottage yang memperingatkan kami agar berhati-hati
terhadap barang-barang kami karena sering terjadi pencurian.
Memang ternyata tempat kami berbivoac sekarang dipakai
untuk menjaga udang hasil tangkapan nelayan setempat
pada malam hari.
H7 (19 Agustus 2001)
Pagi harinya kami sadar kalau beberapa barang kami yang
kami jemur hilang. Untungnya tidak ada barang yang berharga.
Setelah melapor ke petugas Jagawana di sana, kami
meneruskan perjalanan kembali ke titik akhir perjalanan yaitu
di muara sungai Ciawipaeh.
Kali ini medan yang kami lalui tidak begitu berat karena dekat
dengan penduduk dan jalan raya.
Tantangan yang kami hadapi hari ini adalah panas teriknya
matahari yang cukup membuat lelah dan lemas serta
membuat muka kami seperti kepiting rebus.
Sebelum makan siang, kami ditraktir makan kelapa oleh
penduduk setempat yang lagi memetik kelapa menggunakan
galah panjang
(lebih modern dari cara kami yang memanjat langsung!)
Setelah kekenyangan makan kelapa, kami makan siang di
rumah penduduk dekat pantai pk 12.30.
Kami meneruskan perjalanan ke titik akhir, dan melewati
pantai dan laut yang sangat indah.
Ingin sekali kami berenang di laut yang jernih dan dangkal
yang kami lewati, tapi kami memutuskan untuk meneruskan
perjalanan karenatuntutan rencana operasi yang bisa tertunda.
Tetapi kemudian kami melewati kolam renang di pinggir pantai
milik resort Ciputih.
Kebetulan mbak yang menjaga kolam tsb mengijinkan kami
berenang di kolam tsb sehingga akhirnya kami tidak tahan
untuk tidak berenang di sana.
Karena tidak membawa pakaian renang, kami akhirnya
berenang menggunakan pakaian lengkap!
Setelah berenang selama 15 menit saja, kami harus
meneruskan perjalanan kembali ke titik akhir karena waktu
sudah pukul 5 sore.
Kami sampai di titik akhir pk 6 sore dan langsung menuju
ke desa Ciawi tempat pool elf yang akan kami tumpangi
keesokan harinya menuju Labuan kembali.
Kami menginap di pesantren depan pool elf.
Tempat mandi di sana berupa sumur yang hanya dibatasi
oleh tembok yang tingginya hanya 0,5 meter saja.
Ketika kami tidur, angin bertiup sangat kencang di atas
atap sehingga kami merasa seperti ada di pinggir pantai
yang sedang terkena badai.
Anehnya sendal2 kami diluar tidak terkena angin tsb.
H8 (20 Agustus 2001)
Kami naik elf pk. 6 pagi menuju Labuan dan makan pagi
disana, setelah itu naik bus ekonomi ke Serang dan
akhirnya bus AC yang kami tunggu2 datang dan kami
duduk dengan tenang menuju Tangerang.
Disana saya turun di pool dijemput papi sedangkan teman2
yang lain kembali ke Bandung.