Tour Gunung Salak :
Bagian Pertama, mengunjungi :
Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya Taman Sari Gunung Salak.
Setelah berhasil menelusuri Curug Cilember - air terjun di Cisarua
yang cantik sekali bersusun tujuh, timbul keinginan untuk
mengunjungi curug2 lainnya, apalagi setelah dikompori rekan
anggauta Jalansutra : Robiyati dan Budi Tjoe yang menceritakan
pengalaman serunya mengunjungi beraneka curug Gunung Salak.
Robiyati masuk dari arah Ciapus dimana terdapat Curug Nangka-
Daun-Kawung dan Luhur, sedangkan Budi Tjoe yang dari arah
Darmaga IPB memasuki kawasan Gunung Salak Endah yang juga
menyimpan aneka curug : Cihurang-Ngumpet-Cigamea-Seribu.
Tentu dalam sehari tidak mungkin bisa mengunjungi semuanya,
dan sangat tergantung cuaca, kalau berada disana turun hujan
maka tidak akan bisa mendekati curug itu.
Tapi kalau datang dimusim kemarau sama saja bo-ong karena
curug akan tidak bagus dilihat - gerojogannya mini.
Minggu pagi 3 Juni 2007, kami meluncur di jalan tol Jagorawi
dengan bersemangat, karena ramalan cuaca bilang
bahwa dari pagi sampai siang akan bagus.
Keluar tol di Bogor, memasuki jalan Pajajaran - Siliwangi -
Batutulis - Pahlawan dan menyebrangi sungai Cisadane.
Istri saya memegang petunjuk perjalanan yang dibuat Robiyati,
yang ternyata akurat sekali, sesuai arahan di petunjuk itu kami
mengikuti rute angkot hijau 03 yang menuju Ciapus.
Perjalanan kini melalui jalan kecil beraspal mulus, jalan kelok-kelok
dan menanjak, tidak terlalu ramai tapi tidak bisa jalan cepat karena
agak sempit.
Membaca peta, kami berada di kaki timur Gunung Salak dan kini
mengarah ke kaki utara gunung itu.
Panorama belum menarik karena kami masih berada di bagian
bawah lereng gunung, tapi suasana ndeso sepanjang jalan tentu
menyegarkan mata dan hati.
Tidak lama berkendara tampak dikiri jalan papan petunjuk menuju
Pura Parahyangan Agung Jagatkarttya Taman Sari Gunung Salak.
Komplek pura ini dibangun sejak 1995, kini luasnya sekitar 2,5 Ha,
lokasinya di Kampung Warung Loak, desa Taman Sari, Kelurahan
Ciapus. Dipercaya disitulah dulu lokasi kerajaan Pajajaran dan
disitulah pula tempat menghilangnya Prabu Siliwangi.
Begitu belok kekiri langsung istri saya protes, wah jalannya rusak!
Memang jalannya tinggal aspal yang bopeng2 berat, kalau pakai
kendaraan jenis sedan sih "ngerenteg" juga.
Tapi sudah kepalang jauh2 kesitu, masa sih nggak jadi, maka mobil
jalan terus pelan2, menanjak sambil dalam hati bertanya-tanya jauh
nggak nih ya?
Dibeberapa tempat sempat terhenti juga karena lubangnya dalam,
untungnya pakai kendaraan jenis SUV jadi masih bisa lewat, dan
akhirnya semua lega karena dikejauhan tampak pucuk menara Pura.
Komplek Pura dibangun diatas bukit membelakangi Gunung Salak,
jadi kami harus naik tangga dulu, persis diawal tangga ada papan
peringatan berisikan segerbong larangan.
Larangan pertama bertuliskan : Tidak diperkenankan masuk ke Pura
bagi Umat yang tidak bersembahyang dan tidak bertugas di Pura.
Nah lho, gimana nih?, tapi karena niat kami sudah bulat berkunjung
dengan niat baik dan berterang maka kami teruskan menaiki tangga.
Sehabis tangga tampak pelataran rumput yang luas, dikiri kanan
ada dua buah saung - inilah pelataran Madya Mandala yang sudah
termasuk kawasan terlarang itu, sebelumnya adalah kawasan yang
disebut Nista Mandala
Seorang bapak petugas menyambut, saya jelaskan niat kami ingin
mengunjungi Pura cantik itu.
Astaga, alih2 disuruh balik kanan, malah dengan ramah kami ber-
tujuh orang itu dipersilahkan masuk, asalkan tidak ada halangan
antara lain sedang cuntaka (kematian, melahirkan), haid dll.
Kami dipersilahkan mengambil selendang warna kuning untuk
dililitkan di pinggang, dan menuju candi bentar berwarna hitam
dengan tangga yang terlihat megah sekali.
Candi bentar itu ternyata merupakan gerbang masuk menuju
kawasan berikut yang lebih suci, yaitu Utama Mandala.
Kami mendaki tangga candi bentar itu, dan selepas pintu tampak
didepan pemandangan yang cantik sekali, berawal dari pelataran
rumput seperti mandala sebelumnya dan dikiri kanan ada beberapa
saung tempat petugas duduk berjaga, maka didepan dikejauhan
pagar tembok pendek dan dibelakangnya tampak beberapa
bangunan suci dari pura itu.
Antara lain dua buah candi berwarna hitam, salah satunya adalah
candi Prabu Siliwangi, yang dipercaya menghilang didaerah situ.
Seorang bapak memakai baju dan destar putih menghampiri kami,
ternyata pemangku/pelaksana upacara kecil. Beliau menjelaskan
bahwa kami tidak boleh memasuki kawasan dibelakang pagar tembok itu,
umat Hindu juga demikian, hanya pendeta dan petugas yang boleh kesana.
Jadi saat persembahyangan, umat duduk dipelataran situ saja,
tadinya saya kira mereka bisa masuk kedekat bangunan suci itu.
Bangunan berwarna hitam serupa candi disana melambangkan
Mahameru/Padmasana, kalau bangunan mirip saung besar
melambangkan semacam DPR.
Saat saya bertanya yang mana candi Prabu Siliwangi, dengan
penuh hormat beliau menunjuk dengan ibu jempol kearah salah
satu dari dua candi berwarna hitam yang persis berada dibelakang
pagar dari tembok pendek itu.
Memang pemandangan dari tempat itu kearah bangunan suci itu
sungguh indah, lereng gunung berwarna hijau melatarbelakangi
pura sehingga menambah kerennya pemandangan disitu.
Setelah puas berbincang dan mengabadikan pemandangan pura
cantik yang keren itu,kami melanjutkanperjalanan, mengarah ke
curug pertama yaitu Curug Daun.