Kata SVT terdengar enak ditelinga, tapi bagi orang yang mengalami kondisi
Supra Ventricular Tachycardia ini sungguh jauh dari enak.
Bayangkan saja jantung yang normalnya berdenyut 60 - 80 kali/menit bisa
secara mendadak melonjak menjadi hampir 200 kali/menit.
Akibat jantung debar-debar cepat sekali nggak keruan itu maka orangnya
menjadi lemas, pusing dan cemas/gelisah sampai sesak nafas.
Biasanya dengan meminum obat tertentu kondisi ini bisa diatasi, kalau tidak -
harus dibawa ke Rumah Sakit untuk diberikan obat intra vena.
Rupanya didalam jantung orang tersebut ada jalur elektrik tambahan yang
kalau "korslet" membuat jantungnya mendadak gedebak-gedebuk gitu.
Tindakan terbaik menuntaskannya adalah dengan "menembak/membakar"
si jalur jahat itu.
Tindakan ablatio ini tentu bukan tanpa risiko, kateter yang dimasukkan dari
lipat paha sampai ke jantung tentu bisa melukai jantung kalau operatornya
ceroboh atau kurang trampil.
Bisa pula terjadi salah tembak/ meleset yang menyebabkan si Jantung
malah berhenti total sehingga harus pakai alat pacu jantung seumur hidup.
Kondisi SVT ini dialami istri saya sejak 30 tahun yang lalu, selama ini dia
bertahan tidak berani di ablatio, tapi serangan SVT nya makin lama makin
sering kadang-kadang muncul dua kali dalam sehari.
Akhirnya diputuskan akan di ablatio saja di Singapore, tapi ada persoalan
yaitu keharusan stop obat jantung paling tidak tiga hari sebelum tindakan.
Karena didalam ruang operasi, jantung justru akan dirangsang supaya timbul
serangan SVT dan dengan alat mapping yang canggih akan bisa terlihat/
ketemu mana jalur yang bikin ulah itu - lalu ditembak.
Kalau masih ada sisa obat dalam darahnya, maka akan sulit di trigger.
Berarti kalau tadinya rencana datang ke Singaporenya hanya pada hari H,
maka harus minimal tiga hari sebelumnya, istri saya keberatan - dia tidak
mau berada disana selama itu.
Dalam kebimbangan, suatu pagi kumat SVT nya dan berkepanjangan.
Tidak biasanya istri saya kali ini minta dibawa ke RSU Tangerang dan
kebetulan bertemu Dr. Hardja Priatna SpJP cardiolog di RSU itu.
Terjadilah perbincangan sampai soal keberatan berobat ke Singapore itu.
Mendengar itu Dr.Hardja menyarankan untuk ke RS Jantung Binawaluya
(BCC = Binawaluya Cardiac Center), untuk konsultasi ke Dr.M.Munawar
seorang ahli jantung senior yang dikatakan oleh Dr.Hardja sebagai :
One of the Best in the World dalam urusan penanganan masalah elektrik
jantung seperti itu.
Beberapa hari kemudian di BCC yang terletak di Jl. TB Simatupang 71
Jakarta Timur - bertemulah kami dengan Dr.Munawar.
Beliau dengan profesional dan sabar menjelaskan antara lain bahwa:
peralatan ablatio di RS Binawaluya adalah yang tercanggih di kelasnya,
malah tersedia satu alat lagi yang bisa memetakan 3 Dimensi - di Asia
alat ini baru ada di tiga negara saja.
Soal jam terbang memang tidak diragukan lagi, beliau sudah menangani
lebih dari 2000-an kasus ini.
Setelah meninjau ruangan perawatan RS berlantai empat yang terlihat
bersih ini maka istri saya setuju di ablasi pada pagi hari tanggal 22 April.
Untuk itu tanggal 21 April sore harus sudah masuk perawatan, dan juga
sekitar lima hari sebelumnya harus tidak minum obat jantung.
Dengan seksama istri saya mempersiapkan diri, termasuk lepas obat
jantung dan dengan harap-harap cemas mudah-mudahan tidak timbul
SVT lagi sebelum hari H, yang bisa mengacaukan rencana ablasi itu.
Tibalah hari Rabu 21 April, rencana akan masuk BCC jam 17.00,
tapi mendadak jam 13 timbul SVT sehingga langsung berangkat dan
terpaksa masuk ke UGD BCC untuk penanganan SVT itu.
Dengan sigap ditangani dan setelah mendapat suntikan obat short-
acting maka SVT reda. Sengaja dipilih obat short-acting agar esok
paginya sudah bersih dari dalam darah dan ablasi bisa dilaksanakan .
Didalam UGD saat itu ada seorang pasien lain, bernama ibu Eva -
yang juga rupanya mendadak datang karena ada keluhan dan akan
dirawat bertetangga-kamar dengan istri saya.
Sempat ngobrol-ngobrol dan ibu Eva berjanji akan lanjut ngobrolnya
di ruang perawatan nanti.
Kamis pagi sesuai rencana tindakan ablatio dilakukan, tidak sampai
dua jam Dr.Munawar sudah keluar lagi dari kamar operasi dengan
penuh senyum menyampaikan ablasi sudah dilakukan dan sukses.
Jumat pagi beliau visit ke kamar dan memperbolehkan pulang, segera
kami menilpon bagian adminstrasi untuk menyiapkan tagihan-nya.
Saat kami beres-beres dikamar itu - mendadak masuklah ibu Eva,
rupanya karena sama-sama sibuk maka selama dua hari itu tidak
sempat bertemu walau kamar kami letaknya berdekatan sekali.
Beliau cerita-cerita macam-macam tentang prosedur Cath yang sudah
dijalaninya, sampai bilang bahwa ia mempergunakan kartu Askes.
Hampir berbareng saya dan istri bilang lha ini kan RS swasta, mana
bisa pakai kartu Askes !.
Si ibu ngotot bisa, pasti bisa katanya karena dia kan sudah ajukan.
Saya menuju kantor administrasi dengan tanda tanya besar, kalau
pun iya biasanya klaim harus diajukan paling lambat dua kali 24 jam.
Saat itu sudah hari kedua, dan biasanya harus lengkap surat2nya,
mulai dari surat rujukan, persetujuan Puskesmas segala macam.
Sedangkan ini hari Jumat, apakah keburu bikin surat macam2 itu,
jauh di Tangerang lagi.
Ternyata memang betul bisa menerima klaim Askes, dan sodara2
rupanya karena kebetulan istri saya masuknya mendadak via UGD
maka tidak diperlukan lagi segala macam surat, cukup kartu Askes !
Saya tentu tidak bawa kartu itu, untung si petugas bersedia menunggu
sampai siang, dengan catatan pasien tidak boleh keluar dulu.
Dipesan bahwa kalau ketemu segeralah di fax agar tidak telat.
Segeralah saya ngebut ke Tangerang, kebetulan juga jalan raya
Serpong yang biasanya macet - kali ini lancar.
Dirumah langsung bongkar laci dan ketemulah kartu Askes istri saya,
segeralah di fax dan saya ngebut kembali ke BCC bawa kartu aslinya.
Kebetulan oh Kebetulan :
koq kebetulan istri saya minta dibawa ke RSU,
sehingga kebetulan ketemu Dr. Hardja,
kebetulan harus masuk UGD BCC, kebetulan juga ada ibu Eva disitu,
kebetulan si ibu ujug-ujug nongol dikamar kami hanya sesaat sebelum
kami pulang, kebetulan pula ngobrolnya koq sampai ke soal Askes.
Dan ternyata sodara-sodara :
berkat segudang kebetulan itu kami mendapat diskon hampir 60 %,
alias bayarnya hanya 40 % dari biaya yang semula harus saya bayar.