Dari catatan sejarah diketahui bahwa kerajaan Pajajaran,
yang ibukotanya sekitar Bogor, sekitar abad XVI mempunyai
dua buah pelabuhan yaitu Sunda Kelapa dan Banten.
Jalur darat dari ibukota menuju Banten, melewati Jasinga lalu
membelok diutara Rangkasbitung menuju Banten Girang yang
lokasinya sekitar 3 kilometer selatan kota Serang atau sekitar
13 kilometer selatan Banten Lama.
Tahun 1513 Banten Lama sudah menjadi pelabuhan kedua
setelah Sunda Kelapa itu, dimana diekspor beras dan lada.
Belakangan berdiri kerajaan Banten dengan ibukota di Banten
Lama yang dekat pantai itu yaitu Kota Surosowan.
Kota ini berdiri atas perintah Sunan Gunung Jati kepada
putranya yaitu Hasanudin yang menjadi raja Banten pertama.
Selain membuat keraton Surosowan, Hasanudin juga
membangun Mesjid Agung Kerajaan. Penggantinya,
Maulana Yusuf - membuat benteng sekitar keraton.
Banten dimasa keemasannya, pernah menerima kedatangan
kapal Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman, JP Coen dll.
Di pelabuhan Karangantu, banyak terdapat pedagang pedagang
dari Portugis, Arab, Cina, Turki, Keling, Gujarat, Benggali dll.
Belakangan Daendels manghancurkan total istana Surosowan,
bukan saja gedung2 dihancurkan, ubin-nya pun dibongkar
dan dipindahkan ke gedung pemerintahan Belanda di Serang.
Semasa kecil saya pernah ikut orang tua mengunjungi bekas
kota Banten Lama itu, dan melihat sebuah meriam kuno besar
yaitu Meriam Ki Amuk, yang konon adalah pasangan meriam
Si Jagur yang ada di Musium Pusat Jakarta.
Seingat saya meriam itu dulu adanya di pelabuhan Karangantu.
Sabtu, 31 Maret 2007 sekitar jam 11.30 saya dan istri
berangkat dari Tangerang, dengan tujuan selain ingin melihat
lagi Ki Amuk, juga ingin memasuki Speelwijk -
benteng Belanda kuno yang dulu hanya bisa saya lihat bagian
luarnya saja.
Seingat saya benteng itu dekat sekali dengan kelenteng dan
dulu reruntuhan benteng itu terlihat angker/serem sekali.
Tentu sekalian ingin melihat juga Mesjid Agung Banten dan
kalau bisa naik ke Menara-nya.
Masih teringat juga bahwa didekat situ juga ada Tasikardi,
yaitu sebuah tasik/telaga dimana ditengahnya ada pulau kecil
tempat raja Banten bercengkerama bersama keluarganya.
Sebenarnya menuju Banten Lama paling mudah lewat Kramat
Watu, jadi keluar tol Serang Barat, karena kami mau makan
didalam kota Serang maka keluar di pintu tol Serang Timur.
Didalam kota Serang, persis dibawah petunjuk jalan menuju
Banten Lama, tampak Cafe Pisang Mas, kami tertarik karena
cafe itu menawarkan menu bebek goreng.
Tempatnya sih "mengerikan", meja kursinya bukan cuma
disamping trotoar tapi diatas got !, tapi biar begitu pengunjung-
nya ramai.
Maka jadilah kami pesan bebek goreng dan sop bebek,
sayang sate bebek nya belum siap.
Ternyata bebek gorengnya lumayan enak, walau sedikit alot
melawan tidak mau lepas dari tulangnya, dan saat membayar
istri saya jadi bengong karena cuma Rp.27.000,- saja.
Berkendara menuju Banten Lama, berjarak sekitar 10
kilometer dan melalui jalan desa, beraspal tapi dibanyak
tempat lapisan aspalnya bopeng-bopeng.
Disatu tempat dikanan jalan terlihat ada gapura dan petunjuk :
Penembahan Maulana Yusuf, Sultan Banten Kedua.
Dan tampak ditengah sawah ada bangunan agak besar
dikelilingi pepohonan rimbun.
Saya tanya kepada seseorang : Pak, itu tempat apa yah ?.
Dijawab : Itu tempat Penjarahan !
Oh - rupanya maksudnya tempat pe-ziarah-an.
Kami mampir sebentar, tidak memasuki komplek karena
terlihat banyak sekali anak kecil yang minta2 uang.
Tak lama kemudian, sampailah di pelabuhan Karangantu,
tampak sungai kecil yang dipenuhi perahu kayu, terbayang
sekian ratus tahun lalu dipelabuhan ini lalu lalang orang dari
berbagai negara.
Kami tidak mampir, dan kini mengarah ke barat dan
sampailah di benteng Speelwijk, yang rupanya letaknya
persis bersebelahan dengan Vihara Avalokitesvara.
Benteng Speelwijk yang dibangun Belanda tahun 1585,
sudah hancur, berbentuk segi empat sekitar 200 kali 200
meter dan tinggi benteng sekitar 3 - 5 meter.
Diluar benteng terlihat Kerkhof - makam orang Belanda.
Dibagian dalam hanya berupa lapangan, ada bangunan
bawah tanah, dengan ditemani dua orang anak kecil saya
memasuki lorong2 bawah tanah itu.
Siang hari sih tentu tidak serem, walaupun sempat melihat
ruang tahanan dan berbagai ruang lainnya yang mempunyai
ventilasi berupa lubang keatas tanah, kalau malam sih
siapa berani.
Didalam Vihara Avalokitesvara yang luas ini, ada papan yang
bercerita bahwa saat terjadi letusan Gunung Krakatau pada
tanggal 27 Agustus 1883, terjadi tsunami tapi walau seluruh
pantai Banten disapu habis - vihara yang juga letaknya tidak
berapa jauh dari pantai itu dimasuki air lautpun tidak.
Vihara ini konon dibangun pada masa awal kerajaan Banten.
Didepan vihara, istri saya girang sekali karena banyak yang
jualan aneka makanan laut yang dikeringkan, mulai dari
cumi lontar telur, telur ikan, ikan japu sampai terasi udang
asli yang berbentuk unik seperti bola kasti.
Diudara panas itu segar dan asyik sekali menikmati kelapa
muda yang airnya manis dan dagingnya legit.
Kini kami menuju komplek bekas kota Surosowan, ibukota
Banten yang ternyata masih ada dinding bentengnya.
Pintu utaranya menghadap ke Musium Purbakala Banten,
dan Mesjid Agung Banten terlihat tidak jauh dari situ.
Saat itu banyak peziarah, dan dimana-mana tenda pedagang.
Bekas benteng Surosowan, juga bagian dalamnya sudah
kosong, tinggal fondasi gedungnya saja.
Karena istri saya tidak mau, maka saya sendiri yang
mencoba naik keatas menara mesjid setinggi 35 meter itu.
Di pintu menara, ada penjaga yang minta uang, saya pikir
hanya sekali saja diminta uang maka saya kasih 5.000,-
ternyata didalam menara akan ada penjaga2 lainnya yang
juga minta uang.
Menaiki tangga sebanyak 88 buah dari menara yang
dibangun tahun 1559 itu tidak terasa berat, hanya
sempitnya lorong tangga membuat agak was-was,
khawatir bertemu orang yang turun - tidak mungkin bisa
muat kalau berpapasan.
Tapi rupanya sudah diatur oleh penjaga, mereka saling
berteriak memberitahu apakah giliran turun atau naik.
Diatas menara ada dua tingkatan teras, dimana pengunjung
bisa keluar dan mengelilingi bagian luar menara.
Pemandangan dari atas memang menyenangkan, kalau
kearah utara bisa melihat sampai ke laut, keselatan terlihat
Gunung Karang yang berada didekat Pandeglang.
Mesjid Agung terlihat anggun dengan atap bersusun lima, ada
dua serambi dan pada bagian selatan tampak bangunan unik
yang berbentuk empat segi panjang dan bertingkat.
Itulah Bangunan Tiyamah yang mempunyai langgam arsitektur
Belanda kuno, dibangun oleh Hendrik Lucasz Cardeel yang
rupanya juga membangun Menara Mesjid.
Turun dari menara, untung sebelum kembali ke mobil kami
teringat belum memasuki Museum dimana Ki Amuk berada,
tapi karena terlihat agak jauh istri saya tidak mau ikut.
Lega sekali karena akhirnya ketemu lagi dengan Ki Amuk,
yang kali ini sudah bersemayam dihalaman Museum setelah
beberapa kali pindah tempat.
Meriam gagah berwarna gelap itu tentu sudah tidak akan
mengamuk lagi melontarkan peluru, kini tidur manis dibawah
cungkup yang khusus dibuat untuknya.