Pesawat B737-400 China Eastern -
seperti biasanya penerbangan di China, penuh penumpang,
termasuk puluhan turis barat.
Dan dalam penerbangan selama 50 menit dari kota Kunming mengarah
ke kota yang terletak northwest propinsi Yunnan itu kami hanya dikasih
minum doang.
Kota Dali ( dibaca : Tali), adalah kota kuno sejak jaman dynasti Tang.
Penggemar cerita silat Sia Tiauw Eng Hiong tentu ingat nama beken
Tjioe Pek Thong - si nakal yang bikin skandal dengan istri kakaknya,
yaitu permasuri-nya Toan Hong Ya - raja Dali.
Kota berpenduduk 3 juta jiwa ini (1-2 % Muslim) berada diketinggian
1974 meter dan terletak ditepi danau Erhai yang luas sekali.
Mr.Su, local guide Dali yang menjemput kami bilang Singapura muat
kalau dimasukkan kedalam danau dengan panjang 40 km dan luas
250 Km2 itu.
Air dari Lake Erhai ini akan mengalir masuk ke sungai Mekong.
Dibelakang kota Dali ada Mt.CangShan, gunung setinggi 3500 meter -
puncaknya yang diselimuti salju abadi itu menambah indah kota Dali.
Paduan warna putih puncak bersalju Mt.Cangshan dengan warna hijau
clear crystal water Lake Erhai yang laksana emerald jade,
dan langit biru laksana sapphirine sky -
membuat Dali sangat indah.
Sampai-sampai Marco Polo mengatakan : Dali is the Geneve of Orient.
Pesawat mendarat di landasan yang terletak di punggung bukit gersang
dan tampak dikejauhan danau Erhai.
Sesampai diujung landasan pesawat berputar U-turn, lalu ber-taxi melalui
landasan tempat tadi mendarat.
Rupanya landasan pacu itu sekaligus berfungsi sebagai jalan menuju ke terminal airport dan pesawat berhenti persis dimuka gedung airport.
Udara mendung berkabut, dingin sekitar 13 derajat, dan melalui highway
kami menuju bagian baru kota Dali yang berjarak 15 kilometer.
Kami makan pagi dibagian baru kota yang memang didominasi gedung2
bertingkat, tapi Mr.Su memberitahu bahwa hotel kami - Asia Star Hotel
yang berbintang empat berada dibagian kota lama.
Ternyata hari itu cuaca kurang bersahabat, udara tidak saja dingin juga
turun hujan sehingga kami harus berpayung ria saat mengunjungi landmark
kota Dali yaitu Three Pagoda's Temple, pagoda kuno yang dibangun
dijaman dynasti Tang , berwarna kuning dan bentuknya unik karena
seakan-akan bersirip banyak.
Kami makan siang di March Market dan disuguhi makanan khas daerah
Yunnan yaitu bihun besar-besar yang mirip laksa beras Tangerang dengan
kuah kaldu yang terasa pas sekali dengan cuaca Dali yang diguyur hujan.
Acara dilanjutkan dengan kunjungan ke pusat kebudayaan suku Bai -
(dibaca : pai) suku terbesar di Dali.
Sesampainya disana kami langsung diantar masuk ke sebuah ruangan
dengan bangku2 dan meja2 mungil, sebuah panggung ada di depannya.
Acara yang disuguhkan berupa "three courses of tea", yaitu suguhan teh
yang khas dari suku Bai untuk menyambut tamu2 mereka, yang terdiri
dari 3 cangkir teh, yang pertama teh terasa pahit (bitter taste), yang ke-
dua dan paling enak karena terasa manis (sweet taste) dan terakhir
terasa tawar (after taste).
Acara minum teh tersebut disertai dengan pertunjukan tari-tarian khas
suku Bai dan acara wedding ceremony suku Bai yang cukup menarik
karena calon pengantin perempuan harus memakai kacamata hitam
sebelum resmi menjadi suami istri dan pakai acara dicubiti oleh sanak
saudara dan tetangga dari pihak pengantin laki-laki.
Selanjutnya kami menuju ke stasiun cable car yang akan membawa
kami naik ke lereng Mt.Cangshan.
Semula kami ragu-ragu karena walau memang hujan sudah reda tapi
hari sudah sore, tapi akhirnya kami sepakat jadi naik juga walau tetap
was-was karena kota Dali mempunyai julukan Kota Angin -
sering ada angin besar disini.
Saat itu sudah tak ada pengunjung lainnya, saat mau naik kami diberikan
jas hujan yang terbuat dari plastik tipis - lho koq pake jas hujan segala ? -
waduh ! ternyata cable car-nya bukan model tertutup.
Kami duduk berdua-dua seakan naik beca - tanpa atap dan kaki juga
cuma bertumpu pada sebatang besi saja.
Kami kembali dipesan untuk jangan sampai menjatuhkan barang-barang
berharga seperti tas atau kamera karena kalau jatuh akan susah dicari.
Sudah kepalang, kami naik saja dan ternyata kereta itu jalannya macam
nenek-nenek - pelan banget, mana udara dingin dan khawatir hujan lagi.
Waduh, udah jalannya lambat ternyata lereng gunung dibawah kaki kami
penuh batu nisan - rupanya komplek kuburan yang luas sekali.
Letak memunggungi gunung dengan menghadap sungai/danau dipercaya
sebagai letak HongSui yang paling bagus untuk rumah orang hidup maupun
bagi orang yang sudah mati - tapi buat kami yang sedang numpang lewat
lambat-lambat tergantung-gantung diatasnya tentu sungguh tidak nyaman.
Betul saja, naik dari ketinggian 1974 meter ke ketinggian 2500 meter itu
memang makan waktu lama sekali : 25 menit !
Di stasiun atas kami turun, lalu mengunjungi komplek temple yang tampak
sudah kuno sekali, dan memasuki anjungan untuk menikmati pemandangan
kearah kota Dali dan danau Erhai yang terlihat indah sekali.
Karena sudah sore maka kami tentu tidak berlama-lama disana, segera
turun lagi dan kembali numpang lewat diatas "pemukiman" abadi itu.
Kami masih sempat mengunjungi sisa kota tua Dali yang masih utuh yaitu
gerbang masuk ke kota lama yang disebut South Gate, yang memang
masih megah berdiri.
Memasuki gate itu kami kemudian melewati deretan rumah kuno yang
sekarang beralih fungsi jadi toko-toko souvenir yang begitu banyak dan
ramai dipenuhi turis.
Malam hari menginap di lantai enam/teratas Star Asia Hotel, lokasinya
dibagian kota lama yang dekat dengan South Gate.
Karena berada di ketinggian/lereng gunung maka view dari kamar hotel
kearah kota dan danau Erhai bagus sekali.
Lobby hotel luas sekali, spacenya 1680 square meter, tinggi sampai ke
lantai enam, dan reiling tangga/balkon-nya dibuat dari Dali woodcarving
yang penuh ukiran bagus sekali.
Tapi yang paling menarik adalah lukisan Guanyin-Buddha (the Goddess
of Mercy) yang dilukis di satu dinding lobby - besar sekali mulai dari
dinding lantai dua atrium lobby itu sampai mencapai lantai enam.
Makan malam berupa Chinese buffet di restoran yang luas dengan
pemandangan kearah puncak gunung Cangshan yang putih bersalju.
Dan saya bengong melihat makanan buffet yang berderet tersaji :
banyak macam sekali beraneka ragam, saya hitung roti ada 11 macam,
bapao ada 4 macam.
Malah masakan utama berupa nasi/sop/sayur/daging ada : 57 macam !!
Saya sampai tiga kali menghitung jumlah masakan itu, penasaran
apakah saya engga salah hitung saking banyaknya yang disajikan itu.
Masakannya juga banyak yang unik :
- crisp young cucumber
- sea weed
- deep fried local ginseng.
Melengkapi makan malam unik itu, terdengar suara musik tradisional
Dali yang dimainkan sekelompok pemain musik,
sungguh meninggalkan kesan yang mendalam bagi kami semua.
.