Sabtu, 19 Mei 2007, jam 6 pagi kami sudah di morning-call,
karena acara tour hari itu akan padat sekali, diawali city tour
di Tanjung Pandan - untuk membeli oleh2 dan menikmati
makanan khas Belitung.
Setelah itu akan berlanjut menuju kota Manggar yang
berada dipantai timur pulau Belitung, untuk melihat danau2-
bekas galian tambang timah, dan mengunjungi Vihara
Dewi Kwan Im yang telah berusia 200 tahun.
Perjalanan sejauh 78 kilometer itu seakan membelah pulau
Belitung dari barat ke timur, mirip dengan perjalanan kami
dulu dari PangkalPinang ke Mentok yang seakan membelah
pulau Bangka dari utara ke selatan.
Bedanya kalau di Mentok itu kami menginap, kali ini akan
langsung balik lagi ke TanjungPandan.
Sekitar jam 8, memakai dua buah Toyota Innova rombongan
kami yang ber-sepuluh orang meninggalkan Lor-In Resort,
menuju TanjungKelayang. Dipantai itu ada rumah makan
yang menjual souvenir berupa kulit kerang besar2 yang cantik,
murahnya aduhai cuma 15 ribu, cuma ribet selain besar dan
berat harus dibungkus rapih masuk box karton besar.
Sesaat sebelum memasuki kota Tanjung Pandan, teman kami
menghentikan seorang pengendara motor yang berjalan searah.
Rupanya tertarik melihat bawaannya yaitu ikan hiu yang cukup
besar, maka jadilah kami "orang aneh" yang ramai-ramai turun
dari mobil untuk mengobservasi ikan hiu itu ditepi jalan.
Untung ketemunya hari ini, kalau saja kemarin bisa-bisa tidak
berani naik perahu ke pulau Lengkuas.
Walau tidak sebesar hiu ganas dalam tayangan TV, tapi lihat
bentuknya yang khas itu cukup bikin nyali lumayan ciut.
Kini saatnya belanja oleh-oleh di rumah Jl. Gatot Subroto 39,
ternyata selain bisa memilih aneka ragam oleh-oleh diruang
tamu rumah tua itu, kami diperbolehkan masuk kedalam
rumah yang panjang sekali, sehingga bisa melihat proses
pembuatan aneka makanan jajanan itu.
Aneka oleh-oleh seperti Kerupuk Ikan/Cumi/Udang, Getas,
Abon Ikan/Sambel Lingkung, Dodol Ager, kue Rentak Sagu,
Madu manis/pahit sampai Belacan, bisa dibeli dan dipacking
memakai box karton besar2, mulailah bagasi mobil dipenuhi
sekian banyak box karton besar2.
Berikut adalah mengunjungi tempat oleh-oleh unik khas dari
Belitung yang konon tiada duanya dimanapun, yaitu Billitonite.
Billitonite yang artinya batu dari Billiton/Belitung, diduga
merupakan pecahan meteorit, yang bisa ditemukan secara
kebetulan ketika penambang menggali timah di lokasi
penambangan darat pada kedalaman 50 meter, jadi pada
saat pasir dihisap ikut terbawalah kepermukaan bebatuan itu.
Konon didunia bebatuan ini hanya ditemukan di Belitung.
Batu unik ini disebut pula sebagai batu Satam, kata itu
berasal dari bahasa China : sa = pasir dan tam = empedu.
Memang batu itu berwarna hitam kelam dan ada lubang2
kecil serta alur2 pada permukaannya.
Batuan ini bisa dipakai sebagai batu cincin, giwang, bros,
kalung, atau dipasang pada hulu tongkat komando.
Dirumah di Jl. Dahlan Rt 06/03, kami disambut sendiri oleh
Bpk.Firman Zulkarnaen, yang menemukan cara membelah/
membentuk bebatuan itu yaitu dengan getah daun sirih,
tapi kalau tidak hati2 batu hitam itu bisa hancur katanya.
Beliau memamerkan aneka bebatuan hitam itu, foto2 orang
penting di Republik ini yang pernah berbincang dengannya,
dan menunjukkan bagaimana caranya kita bisa merasakan
kalau batu hitam itu bukanlah batu semata - tapi ada
suatu "getaran/kekuatan" didalamnya.
Sayang saya termasuk yang bebal soal rasa merasakan itu,
jadi cukup tengok-tengok saja, tidak membeli seperti Hadi -
nanti mau dijadikan batu cincin katanya.
Kini giliran menikmati Mie Belitung, kami menuju pusat kota
dan mampir ke Bakmi Athep di Jalan Sriwijaya 27.
Mie Belitung, yang berupa bakmi sea food, memang nikmat
sekali dipadu dengan es jeruk kunci, sebagian teman memilih
mencoba Selada yang mirip gado-gado.
Sebelum meninggalkan kota, kami berkeliling kota melihat
berbagai bangunan yang terkesan muram dan sunyi, seperti
Gedung Nasional, pelabuhan laut Tanjung Pandan - hanya
ada beberapa perahu kayu dan besi yang sedang berlabuh.
Setelah melewati pabrik keramik KIA yang luas sekali tapi
menyedihkan sekali karena kini sudah tutup, maka kami
meluncur kearah timur menuju kota Manggar.
Perjalanan lancar dan pak sopir bisa agak ngebut karena
walaupun jalan tidak terlalu lebar, pas dua kendaraan saja
berpapasan, tapi aspalnya super mulus, dan juga tidak
banyak kendaraan lainnya.
Diperjalanan sempat melihat dari kejauhan sebuah danau
bekas penggalian pasir timah, kami tidak begitu tertarik
karena sudah pernah melihat kolam2 serupa di Bangka.
Siang hari setelah mampir sebentar di Kuala Kampit -
kota kecil yang sepi sekali, tibalah kami di komplek
Vihara Dewi Kwan-Im yang sudah berusia 200 tahun.
Saat itu sepi sekali tidak ada pengunjung lain, karena
ada diatas sebuah bukit maka harus menapaki dulu
sekian puluh anak tangga barulah mencapai bangunan
vihara yang berada ditengah kerimbunan pepohonan.
Dari ketinggian itu bisa melihat dikejauhan pantai,
sayang pemandangan biasa2 saja karena bukit dimana
vihara itu dibangun tidak terlalu tinggi.
Didalam vihara diperbolehkan "Ciam-Sie" yaitu mengocok
keluar bilah bambu yang berisi ramalan, dan juga mem-
bunyikan tambur besar.
Saat itu memang terdengar ada yang memukul tambur
dengan irama yang enak didengar, saya kira petugas
vihara karena pukulannya mantap sekali - ternyata Hadi!
Pantai Burung Mandi, tempat wisata pantai dengan
banyak warung makan dibawah pepohonan kelapa juga
sepi2 saja, tak ada bebatuan indah seperti di Tanjung-
Tinggi, yang terlihat hanya pantai pasir putih saja.
Memang kalau sudah melihat pantai2 indah sekitar
TanjungPandan itu, maka pantai Burung Mandi maupun
pantai di Manggar tidak terlihat menarik lagi.
Kota Manggar yang berada di selat Karimata dulunya
pernah menikmati masa keemasan saat timah masih
berjaya, tapi kini telah lesu sunyi sepi.
Pelabuhan Manggar yang kami datangi, hanyalah
berupa pelataran kosong saja, menyedihkan sekali.
Pusat kota di dominasi rumah2 tua berlantai dua yang
kebanyakan terbuat dari kayu.
Jarang mobil melintas, motor pun hanya sesekali lewat.
Bukit Samak, daerah elit yang dulunya milik PN Timah
juga kini terlantar, disana sini terlihat reruntuhan rumah.
Memang kini ada beberapa bangunan untuk wisatawan
beristirahat, tapi pemandangan kearah laut juga tidak
begitu menarik karena terhalang pepohonan.
Menjelang sore, kembali mengarah ke TanjungPandan,
hujan lebat turun, tapi mobil satunya didepan kami
tetap saja ngebut, karena mengejar waktu agar sempat
melihat sunset di TanjungPandan.
Jalan kecil itu aspalnya memang mulus, tapi tentu
sedang licin sekali, dan dikiri kanan ada pepohonan.
Sopir kami rupanya tidak ingin tertinggal mobil didepan,
tapi dari gaya nyetirnya terlihat tidak terbiasa ngebut
begitu, saya mulai merasa was-was.
Benar saja !, saat jalan menurun dan persis memasuki
jembatan kecil, mendadak terlihat ada genangan air.
Pak sopir ini tampak terkejut dan kehilangan kontrol.
Akibatnya mobil dalam kecepatan tinggi dijalan licin itu
oleng hebat, dan sungguh-sungguh ajaib sekali -
bukan saja mobil kami tidak terbalik- juga bisa lolos
dari serempetan dengan sebuah truk yang persis tiba
dari arah depan.
Saking terkejutnya bisa lolos dari maut, kami semua
terdiam membeku, barulah cair setelah Hadi nyeletuk :
Untung tadi gua beli batu Satam nih !,
berkat batu sakti di kantong gua ini kita bisa lolos tuh !.
Pak sopir tidak kami omeli, tapi dinasihati bahwa tidak
usah ingin mengejar mobil satunya lagi itu.
Wah sungguh heran koq tadi mobil bisa tidak terbalik,
padahal oleng begitu hebat dijalan sempit dan licin itu.
Tepat kami tiba dipantai TanjungPendam dari kota
TanjungPandan - sunset menjelang, tapi sayang sekali
awan hitam kembali menutupi ufuk barat.
Seharusnya matahari yang terbenam dilaut lepas dari
Selat Gaspar itu bisa terlihat indah sekali.
Pak Hardianto menunjuk papan larangan turun ke pantai,
rupanya daerah itu dulunya bekas penggalian timah,
sehingga dasar lautnya berlumpur yang bisa menelan
orang yang berjalan diatasnya.
Makan malam di Restoran Sari Laut yang nikmat dengan
aneka sea food seperti kepiting, udang, cumi ,ikan dan
tentunya baso Belitung yang kriuk2, menjadi penghibur
hati yang tadi sempat mau copot itu.
Restoran besar itu rupanya tempat favorit untuk makan
enak, malam itu teman2 anggota Jalansutra : Grace,
Sienny, Nat dll juga makan malam disitu.
Kami menginap di Pondok Impian, hotel berlantai dan
berbintang dua ini dibangun diatas pantai reklamasi.
Sempat repot minta obat nyamuk semprot karena
tamu tak diundang itu cukup banyak menanti dikamar.
Malam itu laut tampak gelap sekali, tapi tampak bintik2
kecil2 terang misterius bergerak pelan dikejauhan -
rupanya itu orang yang berjalan di laut mencari udang.
Pagi hari baru lah jelas bahwa memang pantai yang
sedang surut sampai ketengah itu landai sekali.
Sebuah perahu yang terkandas sendirian tampak
sungguh mengesankan, terasa cocok sekali dengan
suasana pulau yang serba sepi itu.
Pilihan menginap di hotel yang berada didalam kota
TanjungPandan ini agar bisa mengejar penerbangan
pagi ke Jakarta, dan di airport H.AS. Hanandjoedin
kembali bertemu dengan teman2 Jalansutra yang
juga akan balik ke Jakarta.
Airport kecil ini juga hanya ramai saat Batavia Air
dan Sriwijaya Air datang sekali sehari dari dan ke
Jakarta itu, Airline lain dari Jakarta tidak ada.
Penerbangan dari/ke kota2 lain juga telah ditutup
akibat sepi penumpang.
Setelah tiba di Bandara Soekarno Hatta, barulah saya
"ngeh" kalau bawaan kami bukan saja tas perjalanan
tapi juga box2 karton isi oleh2 bertuliskan macam2:
HIT Pompa Obat Nyamuk -12 pcs, Aqua, BieHun,
sampai Ikan Tuna Kwalitet Istimewa segala, Haiyaa!.
Kerupuk Asli Belitung :
Jl. Gatot Subroto No: 39
TanjungPandan
telp: (0719)21765
HP: 08136712889.
Batu Satam:
Firman Zulkarnaen
Jl. Dahlan Rt 06/03
Pangkal Lalang - Tanjung Pandan.
telp: (0719) 22734
HP: 081 373 734555.
Restoran Sari Laut :
Jl. Wahab Aziz No: 29
(0719) 22257.
Restoran Nusantara Indah :
Jl. Jenderal Sudirman No: 227
Manggar-Belitung Timur.
HP: 0818 0813 5889.