Thursday, June 22, 2006

Saungnya Adem, Lauknya Segala Macam.





Saungnya Adem, Lauknya Segala Macam.

Menu pelepas lapar ala Pondok Lauk

Tulisan Hendrika Yunapritta, dimuat di KONTAN –
Majalah Ekonomi & Bisnis, No:37 Tahun X 19 Juni 2006.


Pemilik Pondok Lauk menawarkan berbagai menu seafood dan masakan Indonesia.
Tapi, ia tidak sekedar menjual makanan, namun juga suasana yang adem di tengah keriuhan kota Tangerang.
Tidak sedikit orang yang enggan pergi ke kota Tangerang, kecuali ada urusan yang mendesak. Maklum saja, jalanan yang tidak begitu besar, salah satu sisinya penuh
oleh motor atau mobil parkir, sesak oleh angkot, dan macet tidak ketulungan,
adalah keseharian kota di barat Jakarta ini.
Belum lagi, sengatan matahari terasa terik menggigit kepala.
Wah, amit-amit.

Di seputar Pasar Anyar, situasinya tidak jauh berbeda.
Jalanan satu arah yang sempit, dilalui kendaraan lalu lalang.
Ada banyak tempat makan di daerah itu, salah satunya bernama Pondok Lauk.
Namanya cukup aneh. Dalam bahasa Indonesia, lauk adalah pengiring makan nasi.
Lauk merupakan sebutan untuk olahan tempe, tahu, daging, dan ikan.
Tapi, menurut Djadjang, sang pemilik kedai, di sini lauk berarti ikan.
“Itu bahasa Sunda”, kata lelaki berkacamata itu.

Saat kaki melangkah di area kedai, kita langsung disambut oleh dapur terbuka.
Di situ, berjajar aneka ikan dan bahan makanan dari laut lain, seperti kepiting dan
udang. Ikan serta udangnya diselimuti remukan es batu, untuk menjaga kesegaran. Biarpun begitu, umur persediaan seafood Pondok Lauk tidak sampai
berminggu-minggu. “Tiap hari, kami dapat kiriman dari nelayan di Tanjung Kait”,
tutur Dedy Miharja, saudara Djadjang yang mengepalai bagian dapur.

Sembari menanti pesanan datang, kita akan disuguhi segelas teh tawar dan
camilan berupa kerupuk kanji kecil.
Tradisi ini, kata Djadjang, sudah dilakukan sejak Pondok Lauk berdiri.
“Kerupuk untuk iseng saja, sembari menunggu”, ujarnya.
Djadjang sengaja memilih camilan kerupuk karena menurutnya,
penganan ini banyak disuka orang.

Ada beragam pilihan ikan dan udang, namun yang paling banyak dicari orang
adalah kangkung hotplate seafood, cumi bakar, cumi goreng tepung, serta kepiting
saus padang. Kangkung dalam tumisan ini masih terasa renyah, kendati dimasak
bersama saus seafood yang royal udang dan cumi.

Tidak memakai kepiting laut biasa

Sementara, rasa kepiting saus padangnya tidak terlalu pedas menyengat lidah.
Menurut Dedy, kepiting itu bukan didapat dari laut, melainkan dari peternak
tambak. Ukurannya memang tidak jumbo, tapi rasanya samasekali tidak berbeda
dengan kepiting biasa. “Saya paling anti memasak kepiting yang sudah teler”,
ujar Dedy. Lazimnya, umur kepiting segar cuma sehari, setelah itu, hewan laut
ini sudah teler dan kurang sedap dimasak.

Jangan salah, kendati namanya pondok ikan, di sini Djadjang bukan cuma
menjual olahan seafood semata.
“Supaya ada variasi, jadi menunya macam-macam”, tegasnya.
Misalnya saja, salah satu menu andalan mereka adalah ayam pecak.
Ini merupakan olahan ayam kampung yang dibakar bersama kuah bening
berasa asam manis.
Ayamnya menampakan jejak kehitaman, sementara potongan bawang merah
dan rempah lain menyelimuti tubuhnya.
“Resepnya dari teman yang kebetulan jago bikin ayam pecak”, kata Dedy
mengenai menu yang banderolnya Rp 19.000 untuk porsi separuh ayam ini.

Selain ayam, andalan Pondok Lauk adalah gurame bakar dan gurame goreng
kering. Gurame goreng keringnya berdaging gemuk, nikmat dicocol sambal terasi.
Sedangkan gurame bakar Pondok Lauk cocoknya berjodoh dengan sambal kecap
yang diantar bersama pesanan. Banderolnya Rp 6000 per ons.
Dua hari sekali, menurut Dedy, ia mendapatkan kiriman 100 kilogram gurame
hidup dari Jawa Tengah.

Menikmati menu serba ikan dan ayam, serta telinga dibelai gemericik tetes air
ke kolam, enaknya memang menggelontor makanan dengan es kelapa muda.
Kebetulan, itulah menu minuman yang banyak dipesan di sini.
Yakni, es kelapa muda gula merah. “Gulanya itu dari gula aren”, celetuk Dedy. Sementara, air kelapa yang mengiringi es, masih diimbuhi santan encer nan gurih.

Saban siang, menurut Djadjang, kedainya yang berkapasitas 200 kursi ini
dipadati karyawan yang makan siang.
“Ada yang datang berombongan”, ujarnya.
Sedangkan di malam hari, ia banyak menerima keluarga untuk makan malam.
Dalam hitungan Djadjang, sehari dia melayani sekitar 300 orang.

Nah, sebagai penutup santapan, pelayan Pondok Lauk akan mengantarkan
irisan buah gratis berupa pepaya, melon, dan semangka.

Ikan yang Overweight

Tahun ini, menurut Djadjang, pemilik Pondok Lauk, kedainya sudah berumur
limabelas tahun. Djadjang mendirikan Pondok Lauk pada tahun 1981.
Waktu itu, ia memilih mendirikan kedai masakan seafood karena terinspirasi
dari tempat makan di seputar Dadap.
Tujuannya, kata Djadjang, agar orang Tangerang tidak perlu jauh-jauh pergi
ke Dadap hanya untuk menyantap ikan. Selain itu, “Tempatnya juga harus
lebih bersih daripada di Dadap”, ujar Djadjang yang menanamkan investasi
sekitar Rp 100 juta untuk membikin Pondok Lauk.

Selama duabelas tahun, Djadjang bertahan dengan konsep restoran biasa,
sampai suatu saat ia ingin merombak penampilan Pondok Lauk.
“Soalnya, selain masalah taste dan service, orang mencari tempat makan
karena enviroment-nya beda”, katanya.
Djadjang lantas menggelontorkan dana untuk merenovasi sebagian kedainya.
Hasilnya adalah kolam ikan nan bening, beberapa saung, serta meja di open air.
Djadjang menggunakan jasa konsultan arsitek untuk membuat kolam serta
instalasi hujan buatan.
Jadi, sembari duduk di saung Pondok Lauk, telinga bakal dibelai tetes hujan
tiada henti.

Sedari awal ketika melakukan renovasi, menurut Djadjang, ia ingin agar
kolam ikannya selalu resik dan bening.
Toh, ikan di kolamnya juga tidak untuk dimasak, seperti lazimnya kedai lain
yang dilengkapi empang serta saung.
“Ikan mas ini enggak enak dimasak, karena tubuhnya lemak semua”,
celetuk Dedy Miharja, kepala dapur Pondok Lauk.

Namun, Djadjang juga menangkap kecenderungan pengunjung yang selalu
ingin memberi makan ikan. Maka, ia lantas menyediakan pakan ikan gratis
bagi para pengunjung. “Mulanya, ya orang masukin pepaya segala macam.
Tapi, begitu tahu ada makanan ikan gratis, mereka tidak seperti itu lagi”,
jelas Djadjang.

Makanan ikan gratis adalah berkah bagi pengunjung, terutama yang
membawa anak-anak kecil. Namun, akibatnya puluhan ikan di kolam
Djadjang mengalami kelebihan berat badan alias overweight.
“Selama diberi makan, ya mereka makan terus”, tutur Djadjang yang tidak
pernah menghitung jumlah ikan mas, ikan koi, dan lele yang ada di kolam
Pondok Lauk itu.

Pondok Lauk
Jl. Baharudin No. 34 A
Tangerang
Telp. 5522370-5524443

Wednesday, June 14, 2006

Jika Sate Bercerai dengan Tusuknya.




Jika Sate Bercerai dengan Tusuknya,
demikian judul tulisan Hendrika Yunapritta untuk
majalah Kontan minggu lalu.

Mencicipi sate khas Bang Wahab

Kedai sate kambing Bang Wahab ini selalu dipenuhi pengunjung.
Mereka rela menanti, kendati tempat bakaran satenya cuma
berukuran kecil.
Apa sih, yang bikin para pembeli ini rela mengarungi kemacetan
di Tangerang menuju kedai Bang Wahab?

Dimana pun, yang namanya sate selalu identik dengan tusukan bambu.
Bukan sate namanya, kalau bakaran daging ini tidak ditusuk dalam
sebilah bambu. Eh, tapi ternyata ada loh, tukang sate yang nekat
menanggalkan tusukan legendaris itu.
Cara penyajian sate Bang Wahab yang tanpa tusuk ini memang
tidak biasa.

"Wah, itu sih, sate khas Solo", celetuk seorang teman yang pernah
kuliah di kota tersebut.
Namun, Bang Wahab menampik hal itu. Menurut dia, gaya sate ini
asli bikinannya sendiri. "Yah, biar cepet saja. Bikinnya lebih cepet,
makannya juga cepet", ujarnya.


Biarpun keluar dari pakem karena menjual sate tanpa tusukan,
kedai Bang Wahab ini tidak kekurangan pembeli.
Seperti suatu siang pekan lalu, sekitar pukul 14.30.
Jam makan siang sudah berlalu dan mendung tebal menggayut
di langit, tapi kedai Bang Wahab penuh pembeli.
Deretan mobil yang parkir di sekitar kedai menjadi penanda.
Di dalam ruangan pun hanya tersisa satu meja, dari sepuluh meja
di situ, yang belum dihuni pembeli.
Selebihnya, nampak wajah-wajah sabar menunggu pesanan
mereka tersaji di meja.
Maklumlah, Bang Wahab baru saja membuka kedainya.

Ada tiga pelanggan yang sengaja duduk pas di depan etalase kaca,
yang di dalamnya tergantung beberapa bagian tubuh kambing.
Di dekat situ, bakaran sate menimbulkan aroma yang sedap.
Pembeli bisa memilih dua bagian tubuh kambing untuk sate,
yakni daging plus jerohan atau daging plus hati kambing.


Di balik etalase kaca, nampak kesibukan luar biasa.
Daging serta jerohan mentah dipotong sebesar empat jari,
lalu ditusuk dengan bambu.
Daging dan jerohan itu lantas ditaruh di bakaran sate.
Seorang karyawan Bang Wahab tidak henti mengayun
kipas di atasnya. Sementara, orang lainnya lagi berdiri
di meja dekat situ, menciduk sop kambing yang mengepul
dari dalam panci besar.


Setelah bakaran daging matang, kembali lagi si kambing
mendarat di atas talenan kayu.
Suara pisau pemotong pun nyaring terdengar.
Dengan segera, daging dan jerohan matang tadi menjadi irisan kecil,
porsi sekali suap. Irisan daging itu lantas ditaruh dalam piring dan
disiram saus kacang atau saus kecap.
"Itu tergantung pesanan pembeli. Mau saus kacang atau kecap
dengan cabe", tutur Bang Wahab.

Sate kambing berbalur saus kacang
Barangkali, Anda juga tidak terbiasa menyantap sate kambing
berteman saus kacang. Lazimnya, sate kambing memang dimakan
dengan saus kecap. Namun, di kedai Bang Wahab ini, tak ada
salahnya menjajal hal berbeda.
Menu standar di sini adalah sate kambing saus kacang.
Rasanya ternyata sangat nikmat.
Balutan saus kacang pada daging sate yang matang merata
berpadu dengan pas. Antara manis dan gurih.
Daging satenya sangat empuk dan samasekali tidak berbau prengus.
Lebih enak lagi, karena gigi tidak direpotkan oleh tusukan bambu.


Di masing-masing meja, sudah tersedia sebotol kecap manis, acar,
dan sambal.
Acar serta sambal adalah pelengkap sop kambing Bang Wahab.
Sop ini berisi jerohan kambing, tulang kambing yang masih
berdaging serta sayuran seperti wortel dan kol.
Kuahnya gurih dan tidak eneg. Tambahkan kecap manis, hmmmm ….
Sayangnya, panci sop Bang Wahab tidak ditaruh di atas kompor.
Alhasil, pemesan sop yang belakangan akan mendapatkan
kuah yang kurang panas.


Biarpun kuah sopnya berwarna keruh dan tidak bening,
Bang Wahab bilang, ia tidak menambahkan santan atau susu ke
dalam sop kambing ini.
"Cuma kemirinya memang harus banyak", ucapnya.
Dalam sehari, Bang Wahab memasak dua panci besar sop kambing.
Ia mengaku tidak pernah menghitung berapa porsi sop kambing
yang laku dalam sehari.
"Pokoknya sehabisnya saja", katanya enteng.


Bang Wahab bilang, semua resep sate dan sop adalah hasil
kreasinya sendiri. Ia membutuhkan lima sampai enam ekor
kambing sehari, untuk dimasak menjadi sate dan sop kambing.
Kalau bulan puasa, pembeli di kedainya sangat membludak.
Jadi, sering ia harus memotong satu ekor kambing lagi.
"Semua kambing saya potong sendiri", tuturnya.
Itu sebabnya, Bang Wahab leluasa memilih kambing yang
masih muda, sehingga dagingnya empuk digigit.
"Pokoknya, kambing yang umurnya belon setahun deh!"
ucap Bang Wahab.


Satu porsi sate maupun satu porsi sop harganya sama-
sama Rp 8000. Kedai sate Bang Wahab ini buka dari
pukul 15.00 sampai dagingnya habis.
Kalau pembelinya ramai, pukul 19.30 Bang Wahab sudah
harus berbenah karena dagangan habis.
Biarpun begitu, Bang Wahab tidak tertarik untuk membuka
kedai lebih awal, layaknya kedai sate lain.
"Wah, nanti terlalu capek", tuturnya.


Dari Kerja Sampingan

Sosok Wahab, 58 tahun, pemilik kedai Sate Bang Wahab
acapkali nampak di balik etalase daging kambing di kedai
tersebut. Kendati pengelolaan kedai sudah diserahkan
kepada anak tunggalnya, Wahab kerap memegang pisau
untuk mengiris daging atau memotong sate yang sudah matang.


Wahab sudah lama berdagang sate. "Saya dagang sudah
sejak 1978", ucap lelaki kelahiran Karawaci ini.
Awalnya, Wahab berdagang sate menggunakan pikulan.
Dagang sate, waktu itu, bukan merupakan pekerjaan utamanya.
"Ya, saya kerja macam-macam. Serabutanlah!
Dagang sate itu paling seminggu sekali", ujarnya.
Pikulan sate kambing dibawanya berkeliling seputar wilayah
yang sekarang menjadi Perumnas Karawaci.
"Kalau dulu, masih sepi. Mobil cuma satu dua.
Jalan tol belon dibikin", kenang Wahab.


Lama berkeliling, suatu kali, Wahab mangkal di dekat
lampu merah Cimone.
Saat itu, penggemar satenya sudah lumayan banyak.
Hanya saja, jalan Imam Bonjol masih sangat sepi.
"Paling yang lewat cuma truk tanah", katanya.
Puluhan tahun, Wahab berjualan sate di situ.
Belakangan, ia menempati sepetak warung dari kayu dengan
kapasitas 3 meja kayu kecil di dalamnya.
Penggemar sate Wahab kala itu memang harus rela berjuang.
Mereka mengantri di luar kedai. Belum lagi, parkir mobil
di situ sangat sulit karena lokasinya dekat dengan traffic light
yang padat.


Nah, bulan puasa 2005 lalu, Wahab berhasil memboyong
kedai miliknya ke rumah yang lebih permanen.
Kedai barunya ini mampu menampung sekitar 40 orang
sekaligus. Ruangannya juga masih lapang, meski serbuan asap
memang tidak terelakkan.
"Lebih enak, sekarang parkirnya lebih gampang", tutur Wahab


Setelah bakaran daging matang, kembali lagi si kambing
mendarat di atas talenan kayu.
Suara pisau pemotong pun nyaring terdengar.
Dengan segera, daging dan jerohan matang tadi menjadi
irisan kecil, porsi sekali suap.



Kedai Sate Bang Wahab
Jalan Imam Bonjol No. 47
Tangerang

Thursday, June 8, 2006

Pengembara hebat yang senang berbagi cerita.




Berawal membaca tulisan menarik tentang Ir.B.Kusuma,
seorang pengembara yang bersama istrinya telah menjelajah
sekitar 148 negara, saya akhirnya bisa mengontak beliau
setelah mendapat alamat e-mailnya dari redaksi Intisari.

Setelah sekian kali ngobrol via e-mail, beliau berkunjung
ke Tangerang, dan sempat masuk ke Mesjid Pintu Seribu.
Dan dalam kesempatan itu saya mendapat hadiah beberapa
buku kumpulan tulisan perjalanannya, antara lain :
- Rekaman Wisata merambah dunia.
- Wisata merambah Nusantara.
- Menguak kecanggihan rekayasa konstruksi.
- Cuplikan Kisah Perjalanan seorang pengembara.
- Menguak keindahan arsitektur dunia.

Rupanya sebagai seorang pemerhati pariwisata dan pengagum
keindahan serta hal-hal unik yang ditangkap panca indranya,
beliau selalu mengamati dan merekam apa yang dilihat dan
dialaminya.

Beliau berbagi pengalamannya itu dengan aktif menulis
diberbagai media massa seperti Harian Bisnis Indonesia,
Majalah Industri Konstruksi, Info Alat, Laras , Intisari,
Warnasari, Buletin Warta Nusantara, Majalah Wulan,
Majalah Matra, Tabloid Senior, dll.

Hari Minggu 4 Juni 2006, giliran saya datang kerumah
beliau di bilangan Gandaria Tengah - Jakarta.
Kami asyik berbincang tentang perjalanannya yang terakhir
yaitu ke Burkina Faso, Tunisia, Aljazair dan juga Libya.

Di ruang tamu rumahnya, sekeliling tembok ada lemari
pajangan berisi souvenir yang dikumpulkannya dari
sekian banyak negara yang pernah dikunjungi itu.
Saya ter-bengong2 melihat bukan saja jumlahnya yang
aduhai, juga begitu beraneka ragam-nya souvenir tersebut.

Lemari pertama yang saya lihat isinya gajah melulu
beraneka ukuran, bentuk, warna warni, wah sungguh
luar biasa cantiknya.
Saya makin bengong karena lemari kedua dan ketiga
juga sama - penuh sesak berisi gajah.
Saya akhirnya diajak sampai kelantai dua rumahnya untuk
melihat lemari lainnya yang juga dipenuhi aneka souvenir
mungil yang jelas dipilih dengan cita rasa yang tinggi yaitu :
keramik/porselin, piring, patung/boneka, topeng, miniatur
gedung/menara, dsbnya.

Tentu koleksi itu akan masih bertambah karena beliau
di-usia 70-an tahun, terlihat masih sehat dan energik sekali
untuk bisa menuntaskan pengembaraannya keseluruh
193 negara yang ada di muka bumi ini.

Saturday, June 3, 2006

Ke Bandung lagi ? - berburu makan enak lagi dah.




Minggu 21 Mei 2006, karena berangkatnya terlambat maka
sekitar jam 9 barulah kami tiba di Sate Maranggi Cibungur.

Pesanan saya tentunya sudah pasti adalah Sate Maranggi,
ditemani Sop Dengkul Sapi dan Es Kelapa Muda.(foto)
Gabungan gurihnya sate yang sambalnya bikin lidah kebakaran,
dengan legitnya dengkul sapi dan diakhiri penyejuk berupa es
kelapa muda, membuat kami pasti akan menyempatkan mampir
lagi kesana.

Makan siang di Bandung, sengaja kami cari restoran yang
belum pernah kami datangi.
Kebetulan saat melewati Jalan Setiabudi Bawah, terlihat resto
yang lumayan besar yaitu Restoran Sulawesi.
Walaupun sedang hujan, tetap restoran itu penuh pengunjung,
sehingga kami menuju lantai dua yang ternyata malah viewnya
lebih bagus karena menghadap ke lapangan parkir Rumah Mode
yang terlihat penuh mobil.
Menu yang dipilih tentu Konro Bakar dan Coto Makasar,
cukup cocok bagi lidah saya yang baru pertama kali mencoba
masakan ini.
Saat akan meninggalkan restoran, kebetulan saya melihat
kokinya sedang memanggang ikan yang unik sekali -
bentuknya segi empat.
Katanya ikan ini juga didatangkan dari laut Sulawesi, sayang
saya lupa nama ikan yang disebutkan koki itu. (foto)

Setelah cuci mata di Braga Citywalk - yang ternyata toko2nya
masih banyak yang kosong, maka kami mencari makanan kecil.
Tentu tidak Tiramisu Kukus lagi - kali ini mau nyoba Klappertaart.
Wimpie bilang ada satu toko yang klappertaart-nya cukup beken,
yaitu Evieta di Jalan Imam Bonjol 27.
Maka kami meluncur kesana, dan kebetulan masih ada stocknya,
ternyata memang klappertaart yang satu cupnya dibandrol 9000,-
itu enak sekali.

Akhirnya seperti biasa, sebelum meluncur kembali ke Tangerang
kami mencari tempat makan malam, kali ini Nuke bilang kita
coba makan di Vienna Resto & Lounge, baru buka beberapa
bulan lalu katanya.
Memasuki resto yang terlihat apik & asri, kami disambut para
pelayan yang masih muda2 - berseragam celana hitam dipadu
baju warna merah.
Ternyata resto ini luas sekali, bagian tengah halaman belakangnya
ditata bagus dengan payung2, sedangkan meja-meja diletakkan
di teras sisi kiri dan kanan taman.
Dibagian belakang ada bangunan beratap rumbia dengan latar
belakang hijau rimbun pepohonan - cantik sekali.
Pemain musik berada dibagian belakang resto itu (foto).

Menu cukup bervariasi, selain menawarkan Asian Delight seperti
Soto Banjar, Laksa, kakap dabu2, nasi bakar dan sop buntut,
juga aneka salad seperti Thai Beef salad, Avocado Shrimp salad.
Soup bisa pilih Suppa-suppa, atau Hungarian Goulash Soup,
sedangkan light meal berupa Thai Fish Cakes.

Untuk Main course, pilihan bisa kepada Tournedos Forestiere
yang dibandrol 42K, Beef Fillet Vienna dan beraneka masakan
lainnya.

Tak lama menunggu berdatanganlah pesanan kami, semuanya
ditata dengan apik dan cantik.(foto)
Sayang sekali sempat terjadi salah kirim pesanan Nuke -
yang sempat heran koq pesanannya rada-rada aneh.
Rupanya pelayan menyadari kesalahan itu, dan walau sudah
sempat sedikit di-korek2 Nuke - tetap piring diangkat dan
diganti dengan makanan yang sesuai pesanan.

Catatan :

Sate Maranggi Cibungur :
Jl. Raya Cibungur Purwakarta - (0264)351077.

Evieta Klappertaart :
Jl.Imam Bonjol 27 Bandung - (022)70250108.

Rumah Makan Sulawesi :
Jl. Setiabudhi (sebelah F.O. Rumah Mode).

Vienna Resto & Lounge :
Jl Sukajadi No: 205 Bandung - (022)2031277.